Senin, 03 Agustus 2015

CURHAT PASCA YUDISIUM

Apa kabar?
Entah yang keberapa kalinya aku gagal curhat, selalu saja ada gangguan diamna akau tak bisa menulis sepuas hati. Seorang kakak, katakan, senang sekali saat bercakap-cakap, dan seringnya aku tak tega mengehntikkan obrolannya. Padahal aku bisa berkata, leave me alone, i want write something... Tetapi, tak mampu... mungkin itu karena aku sayang, benar? Saat ini ia tengah tertidur, mari kita cek dulu, mungkin ada nyamuk di pipi kiri kanannya? ---------------- Benar, ketiganya sudah lelap. Mataku pun sudah sembab, ingin ditidurkan, tetapi tak ada waktu lagi untuk curhat, selain malam-malam saat semua pembuat gaduh tertidur, hehehe-kejam nian! Lampu kamar kumatikan saja, itu baikkan buat regenerasi kulit mereka? Eli mau menulis apa? Paska yudisium tentu saja. Ada banyak sekali tawaran yang membingungkan. AKu tahu kebingungan itu sendiri tercipta karena aku tak pernah menyiapkan diriku sendiri menjadi apa. Saat ibu memint aku pulang, aku ngangguk saja, karena toh langkah sendiri pun aku tak bisa bayangkan. Mungkin di sana pointnya, saat aku memiliki mimpi untuk bekerja sesaui minatku.. ah, aku sungguh egois dalam hal ini. Tetiba di hari itu, 1 Juli 2015. Entah lah mengapa kakiku melangkah ke arah labschool, aku hanya sedang mencari Mom Desi, dan tertangkap basah masuk ruang kantor labschool, mereka sedang rapat! Pak Aan menyambut dengan sumringah... tanpa ba-bi-bu meminta kesediaan untuk jadi stap pengajar di sana? "Hah?" Tentu saja, kebingunganku tertangkap oleh seorang dosen yang sebenarnya sudah jauh-jauh hari (maksudnya) menyelamatkanku untuk tetap stay in Tasikmalaya.Waktu itu, aku melihat rautnya yang bahagia, dan aku sendiripun sebenarnya bahagia mearasa dihargai, kan sulit cari kerja? betul? Tetapi waktu itu, Pak Aan memintaku pula menghubungi Ibun, agar sama-sama masuk mengabdi di labschool. Langsung saat itu juga aku telpon Ibun dan mengabarkan keinginan Pak Aan. Ibun juga terlihat bingung, sama sepertiku. AKu meminta beberapa orang untuk melihat dengan jernih, bagaimana keputusanku selanjutnya? Tentu yang utama bagiku adalah ijin ibu.... Selain itu, ada hal yang sebenarnya tak usah aku ungkap, bagaimana peluang di labschool ternyata hanya untuk 2 orang saja. Itupun, untuk posisi yang satu harus menunggu beberapa bulan... dan saat itu juga aku tahu bahwa dosen yang bermaksud menyelamatkanku itu tengah berupaya pula memasukkan kawanku. Sekiranya aku masuk? Ah... apalagi saat kuketahui, ibun sudha menyatakan kesiapan, aku tahu apa yang akan terjadi. Seolah-olah semua menyalahkanku, karena aku lama sekali berkeputusan.. tetapi biarlah, mereka tidak ada dalam posisiku saat itu. Busa-busa dijelaskanpun tak ada gunanya... Hingga suatu malam, saat aku sedang online, dosen tersebut mengontakku, bahwa sikap diamku dinayatakn sebagai penolakan atau ketidakminatan dan sebagainya lah... Sudah diprediksi, dan untuk mempertegas diri, aku mengatakan: Maaf, bukankah aku belum memberi jawaban. Jawabanku hari senin, ini Sabtu. Haham, mungkin dengan kata itu seolah-olah aku orang penting ya? Tapi sungguh aku telah mengatakan padanya keputusanku hari Senin. Well, sebenarnya hal itu telah diduga, bahkan sebelum hari itu, aku sedikit curhat pada kakakku yang tengah tidur itu... dan sarannya memang be your self, ada banyak jalan menuju impian. Meskipun jelas-jelas seperti itu, masih saja Pak Aan bertanya kesediaan, dan kadang aku hanya bisa tersenyum. Beberapa dosen lain pun menyampaikan unek-uneknya bahwa aku memang lambat dalam membuat keputusan, tak bisa ambil peluang, dan sebagainya: lebih parah lagi mengatakan aku tak bisa terima saran. Oke Zahraa, tak usah lah sedih dengan kata-kata itu. Hihi, lebai saja, buang waktu saja. Ada banyak hal sebenarnya, menjadi alasan tersendiri: 1. Ibu, aku tahu umur siapa yang tahu. Dua hari ingin kuluangkan khusus untuk ibu dan keluarga, jadi memilih kerja full senin-sabtu bukan yang aku harapkan. 2. Free, dengan jiwa yang kumiliki, bukan tipeku untuk berada dalam kurungan waktu dan tempat. Bekerja part time selalu jadi prioritasku, tak membuatku jenuh pastinya... 3. AKu ingin kursus, kemampuan bahasa asing yang pas-pasan tentu mesti dapat daya dukung penuh. Otakku pasti tidak bodoh-bodoh amat kan? Masa iya, kursus aja gk ada peningkatan? 4. Mendidik dengan gayaku, hehehe, sebenarnya pasti banyak yang komen saat aku bilang, tak mau jadi pendidik, tak mau ngajar! Walau hidup di bimbelan yang nota bene mendidik, aku mengambil bagian kurikulum saja. Otak atik kajian materi, dan sebagainya. Entahlah... jadi saat seorang dosen merekomendasikan aku masuk bimbel lain, aku bingung. Jadi stap pengajar lagi! Biimbelnya islami? Itu daya tarik, lagian aku bosan disebut tak bisa menerima bantuan dan saran. Oke deal, akhirnya aku mnegirim CV ke mumtazaalbiruni. Dan menunggu jadwal keluar.. Wow, iam be teacher? 5. banyak waktu buat menulis. Karena entah apa, aku merasa bahwa jika kita diam saja menunggu panggilan, mana mungkin ada yang telpon. ADa juga, kita kirim lamaran, lalu dag dig dug nunggu terima atau enggak. Itu, aku hanya coba-coba kirim lamaran dan diterima... jadi apa? jadi hantu yang menulis haha(Ghost Writer), menulis setiap hari, jika dihitung 100 artikel mesti ditulis dalam sebulan. hah? Aku sendiri tak percaya aku bisa, tapi, hari tadi adalah hari pertama aku nulis artikel... entahlah bagus apa jelek, yang penting nulis, 5 artikel /hari. Artikelku harus bertema pendidikan islam. Hemmm... dunia kerja, aku seperti romusha ya? tidak juga. Sembari menunggu pengumuman PIMNAS, masih juga ngarep! aku coba-coba berbisnis madu dan fashion. well tahu sendiri aku kan gagal terus kalau bisnis, ujung-ujungnya pasti pelanggan pada gak bayar, terlalu baik dagangnya. Tapi tak kapok-kapok... Tapi semuanya mesti dilakukan dengan diam dan tidak sok sibuk, santai sajalah, nikmati hidup ini. Itu urusan dunia? CUT! Dunia untuk akhirat. Aku tahu, saat ini sbenearnya aku bisa menghidupi diriku, tidak jajan, puasa aja atau apalah, yang penting hidup dengan makanan halal. Tetapi ada soal lain, entah dari mana mulainya, aku slelau jadi tulang punggung dari kehidupan keluarga kakak. :) Jika ada sesuatu yang kurang, dan ingin meminjam, pasti hubungi adik bungsu. Well, tak bisa menolak, tapi juga tak bisa bantu, karena aku hidup cukup, cukup sehari-eun :D Oleh sebab itulah, aku berharap bisa bantu semua orang yang menghubungiku dan bilang, "Teteh boleh gak pinjam uang?" Hah? Ingin seklai bantu!!!!!! Tetapi apa daya, hanya semampunya. Makanya sering sekali berdoa, biar diberi kecukupan agar bisa bantu orang, atau cukupilah kebutuhan orang-orang yag merasa tak cukup. Bekerja, itulah salah satu usahanya! AKu tak tahu, apa yang kukerjakan akan berharga atau tidak untuk masa depanku, terus melaju, jalani dengan senyuman. AKu sering sekali mengatakan: Hidup ini penuh sandiwara, jadi untuk peran apapun yang orang lakoni kepada kita, so hadapi saja dengan senyuman! Begitulah curhatku, aku tahu aku tak bisa lagi menyakiti ibu, harus beri ibu kepastian, besok mungkin pulang dan mengatakan keputusanku... Ya Allah permudah urusanku. Biarkan aku mejadi hambaMu yang penuh syukur. :) (0:06), 4/8/15. Az.

Minggu, 02 Agustus 2015

SALMAN, MENCINTAI KARENA ALLAH

Ku ikhlaskan siang pergi, pun mentari tenggelam Karena… Malam kan datang menjelang, juga bintang bersinar membersamai Lalu hatiku akan damai dan lelap Kesepian bagiku adalah munajat. Tuhan... Memberiku janji Pagi kan hadir kembali untuk tumbuhkan harap dan cinta Salman Al-Faritsi, seorang pemuda Irak yang terlempar ke bumi Madinah. Sungguh mulanya ia putra seorang kaya terhormat, namun karena cintanya akan kebenaran dan ilmu sejak kecil ia telah terpisah dari keluarganya. Ia ikut serta dalam sekelompok pedagang yang kemudian menjualnya menjadi seorang budak pada seorang penduduk Madinah. Apakah ia hina sebagai budak belian? Tidak, sebab cintanya pada kebenaran dan ilmu itulah, ia tetap laksana teratai di permukaan kolam. Indah dimanapun ia hidup dan berbunga, entah selokan kotor nan bau atau danau biru. Sepenggal kehidupannya yang mulia karena kecintaan pada ilmu itulah ia mendapat hidayah islam hingga menjadi anshar yang berbudi. Menyambut Nabi Allah yang mulia dengan sukacita. Suatu hari ia mengundang sebuah cinta pada seorang wanita. Ia telah terbebas dari perbudakkan oleh kebaikan dan cahaya Islam. Sehingga hak baginya untuk mengkhitbah seorang wanita yang akan ia jadikan istri. Begitulah cinta, datang selalu satu paket dengan ujian, likunya tak selalu mulus sesuai yang kita inginkan. Wanita itu tidak berkenan. Bukankah Salman seorang yang salih? Kurang apa padanya hingga wanita itu menolaknya? Ia telah begitu siap, mahar ditangan, tinggal berikrar saja. Penolakan itu terasa lebih menyakitkan, ya lagi-lagi, karena wanita itu menerima sahabat seimannya Abu Darda, seorang anshar pula. Jika ia bukan seorang Salman, tentulah engkau akan merasa sangat disakiti dikhianati oleh sahabat sendiri. Oh lalu timbullah perasaan membandingkan: memperhitungkan lebih dan kurang, kelebihan dia dan kekurangan diri hingga terperosok pada kufur akan nikmat. Tapi tidak dengan Salman, ia merelakan gadis pujaannya, hasil istikharahnya itu menjadi bunga untuk sahabatnya sendiri. Kau tahu apa yang dilakukan Salman? Ia memberikan seluruh mahar yang telah ia siapkan untuk sahabatnya. “Tidak mengapa sahabatku, gunakanlah harta ini untuk maharnya,” ungkapnya begitu tulus. Luka dihatinya ia sembuhkan dengan pengakuan dan kerelaan. Terpujilah sahabat yang salih ini, semoga Allah kini membersamai Salman dengan bidadari bermata jeli yang dijanjikan di akhirat sana. Lalu, tidak sampai di sana ujian untuk Salman. Saat dilihatnya ada garis kekecewaan pada wajah wanita yang dulu ia cintai, ia begitu resah. Lantas ia bertanya, apa yang terjadi dengan rumah tanggamu wahai wanita yang tengah muram? Wanita salihah ini mengeluh tentang rumah tangga dengan Abu Darda, ia berani mengeluh karena Salman adalah sahabat suaminya, akankah Salman bisa menolong? Wanita salihah yang ia cintai mengalami kegoncangan rumah tangga, karena Abu Darda lebih memilih banyak beribadah dibandingkan menyempatkan waktu untuk keluarganya. Apakah Salman mengambil ini sebagai kesempatan? Sebentar, kita tengok kepada kenyaatan kini. Masih adakah jaman saat ini yang tiada tergoda saat pujaan hati yang dulu, kini datang menyapa dan bercerita tentang dirinya? Ia datang mengeluh tentang keluarganya, ia datang mengeluh tentang hubungan yang hampir rapuh. Ada kebiasaan buruk sekarang kini, tak kurang bodoh dari keledai. Kemungkinan itu adalah menertawakan dia hingga puas, siapa suruh kamu tak memilih aku dan bla…blaa… kemungkinan kedua adalah mencari celah untuk kembali dengan mengatakan, “Sungguh bodoh engkau mau diperlakukan demikian oleh dia, sungguh ia telah menyia-nyiakanmu, mari kembali bersamaku dan tinggalkan ia yang tak mengerti kamu…. Ah, ini keterlaluan untuk seorang sahabat. Ada kemungkinan ketiga yang lebih manusiawi tapi menyakitkan adalah mengatakan: itu masalahmu, bukan masalahku. Mengapa engkau memintaku menanggung masalah yang aku tak mau tahu bagaimana cara menanggungnya, pergilah sejauh-jauhnya. Aku berlepas darimu. Tapi ketiga kemungkinan itu tak berlaku untuk seorang Salman. Teramat baik budi pekertinya, betapa jernih cintanya pada Abu Darda dan wanita itu. Abu Darda adalah sahabatnya yang ia cintai, wanita itu pula adalah wanita salihah yang ia kasihi. Ia menunduk terpekur, apa yang harus ia lakukan agar rumah tangga mereka bahagia sentosa. Sungguh pemikiran yang bersih lagi indah. “Baiklah aku akan berusaha,” ujarnya. “Sore nanti aku akan berkunjung ke rumahmu.” Salman berusaha mencari cara. Sore itu Salman berkunjung ke rumah Abu Darda yang disambutnya dengan gembira. Dengan hati-hati Salman meminta, agar ia bisa menginap di kamar Abu Darda yang kini lebih terlihat seperti mushola dibandingkan sebuah kamar. Abu Darda keberatan, tapi sungguh hati seorang beriman, demi saudara tercintanya, ia mengijinkan permintaan Salman yang tidak biasa tersebut. Saat malam telah menjelang, dan mereka selesai menunaikan salat isya, kemudian berdiskusi tentang agama. Abu Darda meminta Salman tidur lebih dahulu karena malam mulai beranjak larut, “Tidurlah saudaraku, hari sudah malam. Biarkan aku bermunajat kepada Allah terlebih dahulu,” “Demi Allah,” jawab Salman. “Aku tak akan tidur selamanya jika engkau tidak tidur bersamaku, sekarang.” Abu Darda terkejut, “Jangan engkau berkata begitu wahai Salman sahabatku, takutlah kepada Allah.” “Aku tak akan mencabut ucapanku wahai sahabatku, hingga engkau mau sama-sama tidur bersamaku.” Akhirnya Abu Darda pun ikut tidur bersama Salman. Saat malam turun, Abu Darda bersiap bangun untuk melaksanakan salat tahajud. Namun Salman lantas mencegatnya, “Hendak kemana sahabatku, hari masih sangat malam, tidurlah lagi di sisiku, masih ingatkah engkau ucapanku tadi sebelum tidur?” Dan Abu Darda mengalah ia kembali berbaring di sisi Salman. Saat waktu subuh akan semakin dekat, Salman membangunkan Abu Darda, “Bangunlah sahabatku, sesungguhnya sisa malam masih ada. Mari salat tahajud bersamaku.” Dengan keadaan segar bugar mereka segera bersuci, dan berdiri mengangkat tangan sembari takbir, lalu rukuk dan sujud mengagungkan asma Allah. Saat pagi telah datang, Salman disuguhi hidangan yang sangat lezat oleh istri Abu Darda. Sate kambing guling, roti yang lembut nan empuk, gandum yang putih telah ditanak dengan matang dan hangat. Adalah kebiasaan bangsa Arab memuliakan tamu, bahkan ada kisah Arab miskin yang menjamu tamu dalam kegelapan. Agar yang dijamu tidak sungkan dan tidak kecewa, dan si penjamu bisa berpura-pura ikut makan padahal tidak. “Silahkan makan sahabatku,” kata Abu Darda dengan wajah yang cerah, ia tak lagi pucat. Tampak lebih bersinar, mungkin karena tidur yang cukup. “Mari,” sambut Salman. “Tapi maaf saudaraku, aku telah berniat berpuasa,” jawab Abu Darda. “Demi Allah sahabatku, aku tidak akan pernah makan lagi, jika kau tak menemaniku makan sekarang.” Abu Darda terkejut, “Jagalah ucapanmu wahai Salman.” Serunya sedikit marah. “Ayolah makan bersamaku, agar aku bisa mencabut ucapanku.” pinta Salman. Abu Darda membatalkan puasanya, ia bersama Salman makan dengan lahap. Istri Salman melihat dibalik hijab dengan senyuman yang merekah. Selesai bersantap, Salman berpamitan. Namun sebelum keluar ia berpesan dengan sangat bijak. “Wahai sahabatku, sesungguhnya ada tiga hak dalam dirimu yang harus kau tunaikan. Jagalah ia, agar semua terpenuhi. Hak itu adalah, hak untuk Tuhanmu, hak untuk keluargamu, dan hak untuk dirimu sendiri.” Kemudian Salman berlalu dengan pengharapan Allah membuka dan memahamkan Abu Darda akan pesannya. Abu Darda seorang lelaki beriman, merasa jika ia melakukan semua ini karena Allah, lantas mengadukan perbuatan sahabatnya ini kepada Rasulullah. Ya, Abu Darda bukan ingin menghakimi Salman, ia ingin mendapat penguatan dai pesan seorang sahabat itu. Kemudian Rasulullah bersabda: Benar kata Salman. Semenjak itulah keluarga itu kembali sentosa, dan cinta sejati dihati Salman terus mencari tempat untuk ia tebarkan dalam kebaikan-kebaikan yang tak henti. Apakah kau dapati secuil saja kebencian dihati seorang Salman yang merelakan wanitanya dinikahi oleh sahabatnya? Tidak. Ia simpan luka itu dan ia bungkus dengan hati-hati dengan cintanya kepada Allah. Oh, inikah cinta kerana Allah itu? Ya benar saat cinta ini menjadi jalan kebaikan untuk ia yang kita cintai, bukan melukai apalagi membenci. Saat seseorang berjiwa besar terluka, ia bangkit dengan kebesarannya dan berkata: Sesungguhnya aku tak rela engkau bersamanya, namun jika dengan itu engkau bahagia, maka aku ridha. Betapa tulus ucapan itu, ia dimulai dengan pengakuan yang agung, jujur tanpa beban. Jika sebagai seorang manusia biasa, ia memiliki perasaan tak rela cinta yang telah dijaganya berlalu begitu saja, ini sangat manusiawi! Namun tidakkah kita melihat ucapan keduanya? Atas nama Allah yang ia percayai dalam jiwanya: Ia ridha dengan ketentuan Tuhan, dengan melihat cinta yang ia jaga bisa bahagia dengan pilihannya. Inilah point beriman kepada takdir Tuhan, keiklasan. “Telah dikhiaskan kepada manusia cintanya kepada apa-apa yang diinginkan, berupa wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, pera, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah lading. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (surga),” (QS. Ali-Imran: 14). Ya Rabb, jadikan hati ini lebih-lebih-lebih condong dalam mencintaiMu dan kehidupan akhirat dibandingkan dunia. Jadikanlah cinta ini sebagai wasilah mendapat cintaMu. Himpunkan kami dalam naungan kasih dan curahan rahmat dan ampunanMu. Jangan tutup hati kami, jangan sumbat pendengaran kami, jangan butakan penglihatan kami dari memahami dan mensyukuri atas segala nikmat yang Engkau curahkan pada kami. Jangan timpakan pada kami hati yang sakit, yang kemudian Engkau tambah-tambah sakit itu menjadi dalam dan dalam di hati kami. Sesunguhnya Engkau Allah, Rabb Yang Maha Lembut, maha penjaga hati kami untuk tetap hidup. Hidupkanlah hati kami dengan cintaMu. Aamiin.

ROSELA

Aku masih percaya, menulis bisa meredakan segala gelisah dan menumbuhkan banyak sekali harapan. Rasa kehilangan, kepergian, rasa bersalah, penyesalan, keingin tahuan, kebencian, kebahagiaan, kebaikan dan kejahatan. Dalam waktu yang lama, menulis bisa menjadi semacam obat daya tahan. Diapun percaya, sama sepertiku. Menulis ibarat sebuah jalan menuju pulau kebebasan. Menulis seperti berbicara dengan diri sendiri, tentang banyak konsep kebenaran-kebaikan-kebijaksanaan-keberpihakan-kecenderungan. Dan setiap orang berkata padaku dan padanya untuk terus menulis. Ya, mungkin saja mereka khawatir, trauma masalalu membuatku dan nya gila, hilang kendali? Mengapa semua orang meminta terus menulis? Apa yang harus kutulis? Apa yang harus kutulis? Apa yang bisa kulukis dalam kertas? Aku hanya bisa bertanya “apa yang harus kutulis?” Sampai suatu masa ia baca sesuatu yang menghentakkan pikirannya, “bukan... sama sekali ini bukan soal: apa yang harus kau tulis, melainkan apa yang bisa kau bagi dan mesti dibaca orang-orang? *** “Aku tahu perpisahan kita sebentar lagi, mungkin ini saatnya kita jujur satu sama lain,” ucapku padanya. “Jadi selama ini kamu anggap aku berbohong?” bentaknya marah. Tidak terduga, ia mulai berburuk sangka. “Bukan begitu, mungkin ada sesuatu hal yang kau sulit mengatakannya padaku, aku berharap hari ini kau bisa mengatakannya, aku sudah siap.” “Maafkan aku...” ia menghela napas panjang-panjang. Aku menerka ia memiliki sebuah rahasia, dan ini waktunya aku akan mengetahui sebuah ganjalan di hatinya. Mari menyimak, ini waktunya menjadi seorang penyimak yang baik, bukan penyela. Siapkan diri, siapkan diri... aku tersenyum dan mulai meyakinkannya. “Ayolah, ini sudah saatnya, aku tak tahu mungkin tak ada lagi moment terbaik yang akan kita miliki selain hari ini.” “Baiklah, dengarkan aku,” ucapnya mulai tenang. “Kau seorang penulis, emmm ya berbakat sekali menjadi seorang penulis!” “Tidak,” bantahku. “Tapi kau... memang berbakat...” “Tidak, aku hanya bermain dengan diriku, aku bukan penulis,” “Dengarkan aku Rosela...,” ungkapnya tegas. Aku segera insyaf jika aku tak boleh menyela. Baik, diamlah wahai diri, kau tak akan tahu kebenaran jika terus menyela orang lain. “Kau berbakat menulis. Aku tahu semua orang sering kali berdecak kagum dengan tulisan yang kau buat, walau satu kalimat saja entahlah mungkin tulisan kau memang magis. Aku tahu itu, aku tahu karena kau menulisnya dengan sepenuh hati... kau menulis dengan hati, dan itu... bagus.” Aku ingin menyela, tetapi aku merasa, bukan ini yang ingin ia ungkapkan. Baikalh tetap diam. “Kau menulis dengan hati, dan semua tulisan itu pasti berasal dari hatimukan? Tapi rosela bagiku sering kali kau menyakiti. Orang-orang terdekatmu tahu semua isi tulisanmu, dan beberapa tulisanmu seolah-olahah... sudahlah, aku tak pandai berkata-kata.” Aku menggigit bibirku. Sepenuhnya aku yang menguasai aku. Jangan bereaksi apapun. Tenag dulu... tapi yang ia katakan, yang ia katakan... “Rosela, kau pandai sekali menulis, kau mampu membuat semua orang setuju dengan pikiranmu, kau mampu membuat yang salah seolah-olah jadi kebenaran dengan polesan sedikit argumentasi dan juga perasaanmu. Aku tak tahu, dari sudut orang lain kadang yang kau tulis seperti membela diri... aku hanya meminta, kau tulis semua dari hati dengan hati, tapi tolonglah jangan tulis semuanya...” Aku semakin sakit, jiwaku sakit, tapi bibirku terkatup, ada dalam pikirabku yang berkecamuk, tetapi... bukankah aku yang mengatakan telah siap? “Rosela, tulisanmu akan dibaca semua orang. Apalagi kau sangat senang sekali mempublikasikannya, bahkan yang amat pribadi sekalipun, iyakan?” Sudah cukup, aku ingin menyela. Ijinkan aku menyela... “Hanya itu saja Rosela. Apa yang aku ingin utarakan sejak dulu, kini kau sudah mendapatkannya. Aku tak bermaksud menyakitimu, aku sayang padamu.” *** Perpisahan itu tak terelakkan, aku tak tahu bagaimana bentuk perasaannya menahan gejolak atas semua tulisanku. Ya mungkin bukan hanya dia yang tersakiti saat aku menulis, aku telah menulis nama-nama dalam cerita, dan nama-nama itu menggugatku... bukan nama-nama itu menghakimiku dalam diamnya. Banyak nama itu merasa tersakiti? Bagaimana aku ingat tentang naima, nurul, tiara, laila, ilalang, john, habib, niza, dan tentu rosela.... Sejak itu, aku memutuskan untuk tidak lagi menulis. Aku tak ingin ada yang tersakiti. *** Ayo menulis lagi, aku dan nya hanya tersenyum ketika orang-orang berteriak di gendang telingaku dan nya untuk menulis. Bagaimana jika menulis membuatku menyakiti orang lain, bukan mencerahkan orang lain? Gumamku suatu malam. Siapa yang tersakiti hemm? Apakah niatmu menulis untuk menyakiti nama-nama? Tidak. Lalu jika satu kali ada satu dua orang yang merasa sakit hati dengan tulisanmu, apa kau akan langsung berhenti? Aku tak tahu, dia orang yang aku cintai, ia telah jujur padaku. Rosela, dengarlah. Pembaca itu hanya penebak-nebak, termasuk yang dekat yang jauh, kau hanya menghujamkan perasaanmu dan tulisanm mengalir, lalu apa salahnya kau menulis dan membuat pembacanya tersakiti atau terhibur atau tercerahkan? Kau tidak salah, kau berhasil, kau bisa membuat semua orang merasa terlibat! Tapi, inspirasiku memang datang dari sekelilingku, aku tak bisa menampikkan semuanya! Rosela, bukankah itu sesuatu yang pasti? Seorang pedagang pasti menulis tentang untung rugi perniagaan, seorang guru pasti menulis tentang apa yang ia kuasai, lalu kau? Sebuah kepastian kau menulis dari apa yang terdekat dan terjangkau. Jangan bela aku! Aku tak ingin menulis jika menyakiti orang lain! lLebih baik jadi batu saja, batu yang tak bisa bicara, yang tak bisa bergerak, tak mencubit hati orang lain, tapi batu masih bisa jatuh dan terpecah-belah dalam ketakutan pada Allah... aku hanya ingin jadi batu saja. Rosela! Tuhan telah karuniakan kamu akal sehat, mengapa kau menyalahi dirimu! Tidakkah engkau bersyukur dengan karunia itu? Mengapa kau menjadikan batu seperti pelarian? Tidak, maksudku bukan pelarian, batu itu hanya umpama. Aku hanya ingin seperti maryam, yang kala ia melahirkan ia bergumam, sebaiknya aku menjadi pohon lalu mati dan terlupakan... Sudahlah, susah berdialog dengan mu rosela! Kau terlalu membela diri, kau terlalu merasa benar dengan dirimu, kau terlalu menyebalkan dan keras kepala... *** Akhirnya, semua orang menyerah memintaku dan nya untuk tetap menulis. Ada dalam diriku yang hilang dan dengan sendirinya. Aku menghilangkan diri tanpa disadari. Menjelamakn diri seperti abu yang diterbangkan angin. Lalu pada ujung hayatku, rosela menjelma batu yang bisu dan tuli. Lenyaplah, 60 tahun hanya waktu singgah sebentar. Sedang beberapa helai tulisannya menjadi perbincangan, andai saja ia tak begitu... andai saja ia tak memiliki pikiran yang salah. Menulislah dengan hati, dengan kejujuran, dengan niat yang baik, pikiran yang baik, bacaan yang baik, maka akan lahir karya yang baik. Baik? Kata itu terlalu abstrak. Tapi kebaikan adalah sesuatu yang menenangkan. Jadi? Hm... Tulislah yang menenangkan. Tuhan semoga memberkati para penulis. (Az, 22/07/15).

ONE DAY, 2017

Seorang wanita dari sebuah bandara kota T, Lanud Wiriadinata, turun tanpa penyambutan siapapun, tanpa dijemput siapapun. Bandara ini sudah cukup sesak. Taksi berbagai perusahaan menawarkan jasanya. Wanita itu menjawab setiap tawaran dengan senyuman saja, sebuah basa-basi untuk menolak. Ia hanya ingin menyusuri kenangan. Kota T adalah kampung halamannya. Dua setengah tahun adalah waktu yang cukup lama untuk meninggalkan semuanya. Pergi menenangkan diri, niatnya waktu itu. Dan satu-satunya alasan adalah menuntut ilmu. Ia berjalan cukup lama, koper berisi beberapa helai baju dan buku-buku ia sorong. Di stopnya angkot 01. Jalanan cukup basah, hujan turun perlahan. Ia buka kaca jendela, agar satu dua rintik bisa menyentuh jemari mungilnya yang gigil. Sepanjang perjalanan itu, tiada percakapan. Ia sibuk menelusuri pikirannya sendiri. Diangkot ini dulu waktu tingkat 1, pelbagai kehidupn telah dilalui. Saat pertama mencari kostan, berteman dengan sebuah geng, geng yang aneh dan lalu berpisah, lalu jatuh cinta, terluka, menjadi mahasiswa yang sok sibuk dan sok kritis, skripsinya yang lama dan tak kunjung usai karena ditengah pata hati, terlambat lulus, dan ah semua kenangan itu... dan orang-orang itu. “Turun dimana Neng?” Dia terkejut dengan penyambutan kata “neng”, hanya ada beberapa orang yang memanggilnya “neng”... itu pun beberapa lainnya memutuskan kembali memanggil nama setelah melewati beberapa kejadian. Mang angkot ini, telah mengembalikan satu dari sekian kenangan, melalui kata... “Neng, hei?” “Iya mang, emmmm Dadaha!” Dulu, seorang dosen sering mengejeknya, bukan mengejek tapi “mungkin” hanya bercanda tentang “Cinta di atas langit Dadaha”, bukan 99 cahaya di langit erofa? Sore ini memang waktu yang pas untuk sekedar duduk di taman Dadaha yang konon katanya sudah dibangun dengan desain yang wah. Berita yang selalu ia ikuti di luar sana, yang lebih menarik dari berita menikahnya princess, atau revolusi dalam negeri, ya itu perkembangan kota ini. Aku membayangkan air mancur yang tinggi, sekelilinggnya koi berenang dengan indah, bunga merah hijau kuning orange atau putih bermekaran. Ini musim semi jika di Jepang, apakah di kota T bisa pula bersemi. Aku berharap yang bersemi bukan hanya bunga, juga hatiku yang lama mati. Ah, aku ini lebai saja... Handphone di saku mantel panjangku bergetar, sebuah pesan masuk, “Selamat datang kembali di kota T, ditunggu di kampus kebanggaan ya.” Aku tahu orang ini salah satunya yang sering memaksaku untuk berbagi cerita, semuanya. Bahkan ia masuk ke daftar orang menyebalkan di beberapa tulisanku, tapi penyambutannya hari ini amat kusukai. Seolah-olah ia membuka pintu rumah saat aku berada di halamannya, seakan-akan ia membuka kedua lengannya saat aku tak tahu harus bersuara ke siapa, ia membuka dunia lama dengan baik. Bagiku sekarang dunia baru. Angkot 01 berhenti, aku dulu sering naik becak di sini. “Neng sudah sampai.” Aku tersenyum, sepatu tinggiku memaksaku membungkuk keluar dari angkot. “Awww,” aku merasakan sakit sekali dibagian kepalaku. Rupanya rambut lurusku menyangkut dikaca-kaca jendela yang tadi sengaja kubuka. “Kenapa neng?” Mang angkot kaget melihat aku meringis, menahan sakit. Sejak kepergianku dua tahun lalu, dan semua luka yang kubawa pergi. Aku memutuskan membuka jilbabku, menjadi orang lain di tempat baru, dengan jeans ketat yang kugunakan, dibalik mantel yang hampir menyentuh lututku, juga hihghills membuatku 10 cm lebih tinggi. “Tidak apa-apa Mang.” Aku menyodorkan uang pecahan sepuluh ribu, entahlah ongkos sekarang berapa. Sejak krisis ekonomi tanah air naik turun, aku tak peduli lagi tentang harga-harga, bagiku yang penting aku masih bisa beli, mungkin itu pikiran yang amat berbahaya? Mang angkot siap mengembalikan lebih uangku, tapi melihat kebaikan dan kenangan itu, aku memutuskan tersenyum saja. “No Mang, gak usah, buat Mamang aja.” “Enggak Neng, ini buka haknya.” “Buat Mang aja, sedkit kok.” “Enggak Neng, ambil saja.” Ia menyorongkan uang itu, “Buat Neng yang baru sampai di kota ini, berhati-hati ya...” Aku tertegun, entah apa yang terjadi dengan kota ini, mungkin kembali jadi kota santri? Atau justeru pesan mang angkot ini memberiku tanda untuk hati-hati karena situasi kota yang rawan? Entahlah. Hawa dingin menusukku, sore hari meniupkan angin yang dingin sampai sumsum belakang. Aku menyorong kembali koper, rintik hujan menemaniku. Dramatis! Aku berharap ada seseorang dari masa dulu yang bisa kukenal dan kuajak diskusi tentang “apa kabarnya?” “Neng, beca?” Mang ini, memanggilku, ah masih juga dengan kata: neng... Mungkinkah hanya orang baru yang memanggilku neng? Aku menangguk, syal yang menutup leher dan mulutku menahan pandanggannya dari melihat sungging senyumanku melihat mamang ini. Mamang ini dulu sering mengantarku ke pusat belanja, sewaktu tingkat 1, mahasiswa baru yang tak tahu arah. “Mang, antar ke taman ini ya.” Mang beca mengerutkan keningnya, “Neng taman ini sedang ditutup.” “Kenapa lho kok?” “Ada pembunuhan dua hari lalu.” Aku membayangkan seorang perempuan tergeletak bersimbah darah. “Seorang anggota geng motor dikoyak-koyak, mengerikan.” Bayanganku rapuh dan pudar, bukan perempuan luka yang mati, tapi seorang geng motor? Entahlah anganku kembali plong, hatiku merasa lebih ridho jika orang seperti itu yang meninggal. “Pemuda itu baik, tapi entahlah mengapa ia gabung di geng motor itu... ia seorang dosen muda, semua orang tidak menyangka.” Aku diam, dan membayangkan seseorang yang mungkin kukenal. Seorang dosen muda, apakah seorang penyair? “Dia penyair, musisi, pelukis, budayawan... hidupnya diabdikan untuk seni dan budaya, sampai-sampai lupa menikah. Tetapi sayang ia meninggal di usia muda, ah bahkan sebelum ia genapkan...” “Mang tahu dekat?” “Minggu ini minggu yang menyedihkan buat Mamang, dia baik, sekali lagi baik, tiap minggu ia akan mampir di warung susu murni di dekat pangkalan. Memesan satu dua surabi, dan bercerita banyak hal kepada kita yang tak tahu apa-apa tentang pendidikan dan negara. Tapi sudahlah, itu takdirnya.” Aku tertekan, dosen muda, belum menikah, penyair, musisi, pelukis? Apakah dia yang dulu juga pernah mampir di warung dekat organ jantungku? Hah! Tidak mungkin, jika iya berita itu pasti sudah sampai. Aku melirik hp canggihku, oh aku lupa belum mengaktifkannya sejak tiba di tanah air. “Mang belok dulu Mang, warung cell.” Aku membeli kartu data, dan memastikan hp canggihku, penghubung seluruh isi dunia, menyala kembali dengan rentetan bunyi notif. “Jadi mau kemana Neng?” Aku tertegun sesaat ketika duduk di jok beca. Kemana ya? Aku ingin singgah di sini sebnetar sebelum memutuskan pulang ke rumah. “Hem.... Warung lesehan saja mang!” Perutku lapar, dan gerimis sore telah membuatnya terasa sempurna, lapar akut. Aku rindu makanan tanah kelahiranku, rasa pedas yang memanggang lidah, atau lalaban yang hijau dan sambal yang segar. Tapi rasa penasaranku tentang si terbunuh membuat semuanya terasa tidak enak algi... Aplikasi line ku berbunyi, aku lirik, teman semasa kuliah. Mengabarkan berita duka cita... tentang sahabat kami yang terbunuh. Aku terhenyak. Dugaanku? Dua tahun setengah, aku pergi mengejar impian masterku di negeri jiran. Sembari mengobati luka hati yang kuderita. Kini kembali dengan hati yang lebih siap, dengan harapan yang masih menggunung, juga sepucuk rindu yang tak pernah diperlihatkan... namun, apalah artinya itu? Jika selama itu aku membohongi jiwaku? Dan takdirku terus bergerak, mengambil semua yang kucintai? Dugaanku? Bukan berita itu yang melukaiku sampai berpikir ulang tentang sesalnya niat kepergianku, tapi satunya lagi. Aku bersyukur saat terbunuh itu adalah A, dan bukan B. Hah, benar orang-orang baik selalu meninggal lebih cepat. Berita selanjutnya, masih dari teman semasa kuliah. “...dalam walimatul ursy B dan C...” Aku mengatupkan bibirku, menggitnya erat, menyibak rambutku yang mulai basah. Aku keluar dari becak, meninggalkan koperku, dan berjalan jauh ke tengah-tengah kota. Menjadi orang lain, bukanlah pilihan, cinta takkan kembali dengan menjadi orang lain. Rambutku merah? Mungkin Tuhan tak suka. Aku master dengan lulusan terbaik, menjadi hilang akal sehatku cukup dalam 1 menit? *** Rupanya yang berlari hanya pikiranku saja, aku masih mengotak-atik tuts keyboard notebookku. Guncangan pesawat tak menyurutkanku untuk tetap menulis, dasar kepala keras! Aku sering mengataiku sendiri dengan itu, bukan keras kepala. Hehehe. Ah! Keluargaku pasti sudah menunggu di bandara yang baru saja dibuka itu, bukan saja keluarga, kabar kepulanganku membuat si idaman hati, yang dua bulan lalu mengkhitbahku menyempatkan diri menyambut pula. Padahal ia sendiri sedang sibuk menyiapkan diri untuk turnamen di Sentul, Bogor. Dasar! Membuatku malu saja. Ia pasti datang dengan gayanya yang kontoversi. Rambut cueknya, mata tajamnya, dan pakaian koboi sekenanya, jauh sekali dari formalitas. Tapi entahlah, justeru nyaman melihatnya demikian. Seperkian menit lagi lepas landas, suara peringatan mengencangkan sabuk pengaman sudah berlalu. Aku berkemas, diluar sana titik hitam kepala (mungkin salah satunya kepala ibu), aku merindukan kota ini, kota yang segera memelukku dengan penerimaan seperti penerimaan ibu akan kembalinya seorang anak yang lebih memilih terus belajar daripada bekerja dan bersuami. Ah ibu, pilihan ibu, seorang pembalap ya bu. Az. (20/07/15)

Senin, 27 Juli 2015

SIDANG SKRIPSI (2)

Masih juga belum baikan, tapi harus tetap banyak bersyukur dan bersabar. Ketika seorang hamba sakit, satu kesakitan itu dihitungnya satu penghapus dosa. Mungkin ada dalam diri kita yang hanya bisa bersih, jika kita mengalami sakit. Aku melihat temanku rona wajahnya memerah, sangat merah. Humaira, mungkin aliran darahnya naik ke kepala, karena panik, dag-dig-dug. Ia tengah menanti giliran untuk masuk ke ruang sidang. Denga sedikit bercanda, kusapa saja, biar sedikit cair dan tak gugup, “Teh, eta pipi meuni beureum, cantik teh, kemerah-merahan, humaira....!” Dengan masih gugup ia menjawab, “Teteh oge sami, beureum, hehehe... duh kumahanya engke?” Well, temanku yang satu ini, memang parnonya lebih akut, banyak cemasnya, dan itu hanya ada dalam kepala, realitanya tidak seperti yang ia pikirkan. Bolak-balik penuh kecemasan, tapi sepertinya ia mulai mampu menguasai dirinya. Dengan langkah yang pasti, ia masuk ke ruang sidang. Dan aku menyimaknya di luar dengan hati-hati. Semua berjalan baik-baik saja... Tuh kan! Air mengalir, waktu bergulir, jalan terbentang, semua pada tempatnya, tak ada yang terjadi, selain isi kepala yang terlalu banyak menerka. Aku sendiri bolak-balik di koridor, Dr. Arli masih asyik dengan Teh Mira, Drs. Edi juga bolak-balik bertanya ke kang Indra. Tak kunjung usai, keluhku... Entah mengapa kondisi seperti itu seharusnya membuatku lebih banyak persiapan, tapi ada rasa hati ingin segera selesai saja, as soon as posible! Akhirnya yang ditunggu, kunjung selesai pula. Ibu Arli mempersilahkanku, dan meminta jeda untuk menunggu Pak Ed yang masih di ruangan sebelah. Bismillah, rasa tegang sedikit demi sedikit pudar, aku merasa bahwa ini adalah untuk belajar, untuk jujur pada proses, untuk siap hadapi apapun. Pak Din membantu Bu Arli menghadirkan Pak Ed yang sudah sumringah siap sedia dengan pertanyaan, pernyataan, dan lain sebagainya (mungkin). Menuliskan bagian ini, sedikit sulit, karena intinya berada pada titik lemah skripsi yang dibuat. Pak Ed mempersilahkan ibu Arli memimpin persidangan. Sebagai terdakwa yang sakit gigi, aku diminta menjelaskan penelitianku selama 7 menit saja. Mungkin tidak sampai 7 menit, aku sudah terdiam, dan ibu mulai bertanya kepada.... “Apa itu sastra? I not found it, saya tak menemukan definisi sastra dalam skripsi ini.” Memang beruntung, subuh tadi sempat baca buku Wellek dan Waren tentang Teori sastra, dan halaman satu itu percis sama dengan pertanyaan ibu. What the meaning of....? “Sastra adalah kegiatan kreatif, hasil seni, keindahan. Di skripsi itu ada di bab II tentang apa itu sastra anak.” Itu sastra pengertian siapa? Dan sebagainya.... Terus bergulir pertanyaan, hingga pada satu tanya ini: Apakah skripsi, termasuk sastra? “Skripsi termasuk karya ilmiah yang mesti ditulis dengan bahasa formal dan ilmiah. Bahasa sastra dan bahasa formal ilmiah tentu berbeda.” “Apakah bahasa skripsi ini sudah ilmiah?” Wew, ini jebakan bathman. Entahlah, apakah skripsiku karangan bebas atau memang ilmiah, aku tak mengerti dengan gaya penulisanku. Seharusnya seorang profesional bisa membedakan, dimana dia menulis karya ilmiah dan dimana ia menulis karya sastra yang estetis. “Peneliti masih belajar bu,” ucapku. “Ini banyak kata sambung di depan kalimat, ini misal kata “sehingga”,.. tapi tidak tahu ya, saya bukan ahli bahasa.” Pertanyaan kembali tentang latar belakang dan bab II. Ibu lalu persilakan Pak Ed. Aku tak tahu apa yang akan terjadi padaku, sebisa mungkin fokus pada sikapku, agar tidak menyebalkan. Sambil membolak-balik buku produk, Pak Ed mulai membuka persidangan babak 2. “Ketika anda membuat biografi seseorang, anda mesti hati-hati, berbagai unsur budaya dan sejarah akan bersatu padu dengan ketokohan itu. Saya jadi ragu setelah baca buku ini, apakah buku ini fiksi karangan anda atau memang fakta?” Jleb. Masih belum paham, kemana angin berlabuh, kemana arah pembicaraan Pak Ed. “Misal ini UIN, anda tahu istilah UIN ada tahun berapa? Dulu baru ada istilah IAIN. Mengapa di buku ini istilah UIN suda ada sejak Acep kecil? Saya kenal Acep, kita satu daerah, walaupun ya mungkin beliau tidak kenal saya. Dulu pernah bareng ngaji/sekolah... (kira-kira begitu redaksinya).” Ya, ini kekurang hati-hatian peneliti. Saat wawancara pak Acep menyatakan UIN dan meralat kembali dengan IAIN, tapi peneliti menuliskan di naskah lengkap dua-duanya. Transkrip wawancara tersedia di lampiran. Lanjut kembali dengan ungkapan kecewa beliau, membaca judul skripsinya saya membayangkan isi skripsinya tentang para sastrawan... kan sastrawan lokal banyak, mengapa kok isinya satu dan fokus AZN saja? Lebih baik jika anda keukeuh ingin menggunakan data-data ini, anda rubah redaksi judul skripsi. Terus saya juga terganggu dengan kata lokal, saya tahu eksistensi Pak Acep, dan beliau kalau dalam pandangan saya sudah bukan lokal lagi, tapi internasional. Lokal di sini itu kurang tepat, terlalu ambigu maknanya. Bla-bla-bla... sampai dibantai pula teori-teori di bab II, dan tentang sastra anak berserta hubungannya dengan buku cerita anak. “Intinya buku yang Anda buat itu buku cerita anak, bukan buku sastra anak! Jadi yang di BAB II fokus ke variabel yang anda teliti. Apa coba variabel penelitian anda?” “Buku cerita anak, sastrawan lokal...” jawabku. “Nah, ituh!” Bu Arli dengan sedikit tersadar, ikut menimpali, “Iya pak Ed, tadi saya ke bawa arus loh. Saya malah bertanya sastra. Padahal lihat judulnya kan buku cerita anak. Hehe...” Coba anda sebutkan variabel penelitianya, mana variabelnya, tidak ada di skripsi Anda ini. Hukhukhuk, dengan sedikit memberanikan diri, “Dalam penelitian kualitatif, variabelnya diletakkan pada definisi operasional pak,” ucapku. “Maa coba tunjukkan ke saya mana DO nya?” Tanganku bergetar, ada kok, tapi sudah saya bolak-balik kok tetep gak ada, cek di daptar isi kok gak ada, ada deh di bab II atau bab III. “Mana?” ulang bapak, seolah ingin menunjukkan kalau.... ah sudah, fokus eli, lebih tenang eli. “Ini pak, halaman 38.” Jawabku. “Variabel itu beda dong dengan DO. Coba anda jelaskan operasional itu apa?” Aku jadi inget pak prof waktu bertanya apa itu teori, ya Allah tolong hambamu... T_T “Operasional, yang dioperasikan.... yang di...” “Nah kalo ini bukan yang dioperasikan, ini mah kamus leksikal. Variabel itu nanti yang akan jadi batasan penelitian!” Sebenarnya perkataan ini sudah kutelan beberapa bulan terakhir dari Dr. Dian, tentang DO yang kubuat. DO oh DO! Dan itu memang sudah jadi batasan, dan dijadikan instrumenku. Ah sudahlah... itu tak penting hari ini, membela diri hanya akan memperlihatkan ketakberdayaan saja, semakin runyam kan. Aku membiarkan semuanya dengan berbagai tafsirnya, toh ini kesalahanku. “Oh ya, coba anda buka halaman 1, itu redaksi itu menurut siapa?” Menurut Brucher dalam Musthafa, pak? jawabku tak paham. “Coba anda bandingkan dengan yang di bawah, yang kata Huck.” Menurut Braser dalam Musthafa menyatakan bahwa.... Huck dalam Musthafa menyatakan bahwa... “Bandingkan, jadi yang benar itu yang bawah. Dan di skripsi anda ini, saya menemukan banyak seperti itu. Kalau anda teliti mungkin skripsinya tak akan setebal ini.” ucap belia sambil tertawa kecil. Aku ikut tersenyum saja, oh masa banyak yang begitu, nanti di cek ah, tak berani bertanya balik, coba tunjukkan mana saja pak? Duh kurang ajar tenan ini anak mungkin jadinya. Well setelah di cek di bab I dan bab II, hanya itu satu-satunya redaksi yang double-double... hehehe :P geli jadinya... Selama persidangan berlangsung, guru besar lainnya bolak-balik ke ruangan, beliau bagaikan kekuatan bagiku, entah... "Sudah itu dari saya, rubah redaksi judul menjadi: pengembangan buku cerita anak tentang sastrawan Acep Zamzam Noor sebagai bla bla bla.... Nilainya nanti ya!" kata Pak Ed. “Ini lembar revisinya,” Bu Arli menyerahkan secaraik kertas dengan tulisan, revisi lihat skripsi. Aku keluar dengan syukur, walau babak belur aku sudah cukup bahagia sudah melewati hari ini. ya Allah, nuhun.... Pak Ed keluar ruangan mengikutiku, “Ini lembar revisinya,” ucap beliau. Dengan santai beliau menulis revisinya dengan tersenyum-senyum: “Eta ge pami bade di turut, mangga..” Ya Allah, benar sudah kini aku teh, sungguh terlihat keras kepala dan menyebalkan. Ampun Gusti. Dibalik semua penguji itu, ada banyak hikmah dan pelajaran bukan? Aku tak ingin melewatkan satu hikmahnya, sekecil apapun. Hidup kita tak selamanya benar walau berusaha terus dalam koridor yang benar, kita membutuhkan orang lain untuk menjelaskan pada kita letak hidup yang sebenarnya, mawas diri, mengedepankan sikap, dan penghargaan, itu. Ujian sidang skripsi, hanya satu kali dalam hidupku, dan hari itu beliau-beliau telah berhasil mewarnai satu hariku dengan warna yang mencolok dan berbeda. Semoga semua guruku bahagia, dan seperti pinta beliau dulu di tahun 2012, semoga selamat di dunia dan akhirat. Semoga semua orang selalu dalam naungan berkah dan rahmat Nya. Jazakumullah. Az (11/07/15)

MARYAM

“Aduhai celaka, alangkah baik seandainya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tak berarti, lagi dilupakan.” (QS Maryam: 23) Untuk Maryam yang tak akan dilupakan oleh Tuhan bahkan saat dirinya ingin dilupakan. Untuk juang yang menyisakan perih dalam pelajaran yang agung, Tuhan mengabadikan namanya dalam satu surat kitab suci mulia. Untuk Maryam, yang cintanya menghaluskan semesta, menundukkan langit, dan menjadikan dirinya rendah tunduk pada ketentuan Rabbnya. Adalah hakikat angin untuk pergi lalu dan lalang. Adalah hakikat daun untuk busuk, tua dan jatuh. Adalah kematian, sebagai hakikat tinggi semua yang hidup. Adalah keberadaan sebagai hakikat dari penciptaan. Sedang aku lupa, hakikatku sendiri..... Bukan aku yang Maryam. Dia adalah seseorang bernama Maryam, perempuan tentu saja, aku laki-laki. Bukan maryam yang itu, ini adalah Maryam lain. Sedang ceritanya selalu mengikutiku, kemanapun aku pergi, ada suara-suara memanggil, pilu. Apa sebab ia memangil? Mungkin ini tentang kepergiannya yang tak kuketahui, di sana ada separuh dosa dan sesal yang kusembunyikan. *** Suatu hari dengan menangis Maryam menemuiku, memintaku melakukan sesuatu yang tak bisa kulakukan saat itu. “Tolong lah aku, Ndra,” ia sering memanggilku Ndra, padahal namaku bukan itu. Sejak kali pertama kita berpapasan, dan ia mengikutiku dan memanggil-manggilku dengan “Ndra” sementara namaku bukan itu. “Kenapa? Minta tolong kok ke aku? Aku bukan dewa loh...,” seperti biasa aku bercanda dengan antusias kepadanya. Entah ada sebagian dari hatiku yang cenderung kepadanya. Cenderung sayang. Dia menggigit bibirnya kuat. Setelah lama kutunggu, yang keluar bukanlah kata. Ada seorang perempuan menangis dihadapanku, itu serba salah. “Hei kok nangis?” ujarku tidak enak. Airmata itu ia usap, dan mulai menenangkan diri, bibirnya yang mengatup kini bergerak-gerak lambat ingin mengucap sesuatu yang berat. “Aku mengandung, Ndra.” Kabar ini bagiku seperti sayatan yang diberi garam. Perih! Maryam mungkin bisa melihat bagaimana aku begitu terpukul. Kecenderungan hati itu, tak menyisakan lagi harapan. “Setahun lalu aku menikah dengan pemuda bernama Andra. Kami menikah diam-diam, hanya keluargaku yang tahu,” perempuan itu berkata lirih. “Lalu? Mengapa kau bersedih? Apakah suamimu meninggalkanmu?” Maryam, perempuan itu menangis lebih hebat lagi. Ia menggelengkan kepalanya. “Andra tak mungkin meninggalkan kami.” Ucapnya seolah berteriak. “Tentu saja, karena kau begitu baik hati dan tak bisa bedakan mana lelaki yang culas!” ujarku geram. Maryam tak lagi menjawab. Kesimpulannya membuatku menyesal telah berkata demikian keras, “Kamu tentu tak bisa menolongku.” Perempuan ternyata memang sulit ditebak, ia tak lagi menjelaskan “apa yang bisa kulakukan” untuknya, kemudian pergi meninggalkanku yang diliputi rasa bersalah. Esok harinya aku berusaha menemuinya dengan niat minta maaf, tapi dua jam aku berdiri di depan rumahnya tak menghasilkan apa-apa, selain desau bambu dan gonggongan anjing kampung. “Mencari Maryam?” Aku mengangguk. Senang ada seseorang yang bisa menjelaskan kepadaku perihal perempuan yang entah mengapa aku begitu mengkhawatirkannya. “Dua hari lalu pergi, entah kemana. Mungkin nanti siang atau sore kembali. Mungkin pulang ke rumah orang tuanya di kota T.” Semua serba mungkin, aku tak bisa percaya. “Apakah Maryam sering keluar begini?” Aku berpendapat jika sudah kebiasaannya, kata “mungkin” bisa saja menjadi “kebenaran”. “Tidak, biasanya ia senang tinggal di rumah. Dan orang tuanya yang akan mengunjunginya.” Aku tahu, jika kata “mungkin” itu terlalu abstrak. Dengan masigul kutatap lagi daun pintu rumahnya, siapa tahu, tiba-tiba saja ada yang menggerakannya dari dalam. Rupanya itu hanyalah inginku, tidak akan pernah ada pintu yang terbuka jika penghuninya pun tak ada. Tapi siapa tahu? Angin bisa saja menggerakannya bukan? Sesampainya di kosanku, aku berusaha mencari tulisan-tulisan Maryam yang berserakan dimana-mana. Benarkah aku Andra? Ternyata Andra itu suaminya? Apakah aku suaminya? Sering dalam tulisan itu Maryam berkata panjang-panjang, jika aku adalah Andra, bukan namaku sekarang. Sikapku mengingatkannya pada Andra, bahkan kebiasaanku berpakaian adalah jelmaan Andra, bahwa caraku berjalan, berbicara, dan manatapnya adalah milik Andra. Apakah aku Andra? Sungguh, aku lupa. Siapakah aku? Kepalaku oh berputar! Pusing tujuh keliling. Aku membiarkan diriku tenggelam, lalu mata terpejam lelap karena rasa mual pun menyeruak. Semenjak itu, aku tak berani lagi bertanya, siapakah aku? Kepalaku oh berputar. Tak ada lagi pertanyaan. Mungkin saja aku lupa, dan akan selalu lupa. Juga maryam yang telah pergi dengan sisakan sesak dadaku. Sedang benci dari keluarganya tak lagi dapat kuhapuskan, aku yang telah meinggalkannya? Benarkah? Aku kebingungan, tentang diriku, akan selamanya menjadi manusia yang tak tahu asal-usul. Jika saja, aku tak temukan jawaban. Tentang kejadian di masa itu. Apakah lupa itu hanya dapat terjadi karena benturan keras? Apakah lupa bentuk amnesia itu hanya karena kecelakaan? Sedang aku baik-baik saja, tak ada yang kurang, tak ada yang sakit, tak ada kecelakaan. Sebuah handphone namak di bawah kertas-kertas. Apakah ini handphoneku? Tentu saja, karena ada di dalam lemariku. Lemariku, ini daerah terlarang. Aku berusaha mencari-cari jawaban di sana, apakah aku melupakan sesuatu, atau meninggalkan sesuatu. Setahun ini, aku lupa bahwa dunia telah maju, dan handphone adalah kebutuhan yang telah menjadi primer. Lalu dimana nomor handphone keluargaku? Tak pernah ada kecuali satu nama di daftar panggilan: Maryam. Nama yang tak pernah kutambahkan sebagai kontak, tapi ia telah ada. Apakah ini tanda? Aku dan maryam adalah (pernah) dekat? “Mengapa aku tak menghubunginya sekarang?” “Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau..........” *** Jika semua telah sampai pada hakikatnya, lalu apa yang tersisa? Apakah lupa, jika Tuhan adalah satu-satunya yang menciptakan hakikat? Itukah sisa dari segala hakikat? Kau lupa? Ah Tuhan. Bukankah tak pernah lupa, tak melupakan, tak mungkin dapat dilupakan? Bulan berlalu dan aku melakukan semua rutinitas sebagai seorang perantau yang bekerja penuh waktu di sebuah lembaga swasta. Lembaga dengan cabang dimana-mana. Suatu hari nama Maryam berkedip masuk ke kotak masuk, rupanya itu pemberitahuan dari operator saja, bahwa panggilanku beberapa kali di minggu ini sampai ke nomor Maryam. Itu tandanya: sudah aktif! “Maryam!” aku kegirangan. Lambat suara itu hadir, tersedak oleh perasaan yang campur aduk. Suara berat memulai percakapan itu. “Ini Bapak, Ndra..” Dengan kegamangan aku menerima dipanggil sedemikian. Dengan masih terguguk suara berat itu melanjutkan kata-kata, singkat saja. Isinya beruapa kenyataan bahwa Maryam tak akan dapat lagi kutemui, selamanya dalam wujud yang bisa terindrai. “Bukankah engkau suaminya? Mengapa kau tidak bertanggung jawab!” bentaknya diujung berita. Aku suaminya? Aku sendiri lupa bagaimana caranya aku menjadi seorang suami dari perempuan yang meluluh lantakkan kecenderungan itu. “Aku bukan Andra Pak. Aku Nurdin!” “Ya, jelas persis kau Andra. Lihat ini nomor siapa, hah?” Aku tercekik, dari mana nama Nurdin kuperoleh? Aku hanya menerka-nerka, saat bekerja orang-orang memanggilku Nurdin. *** Adalah Maryam, istriku, yang telah membawa semuanya pergi. Juga Imran, bayi kecil kami yang juga ia bawa pergi. Kenangan itu kabur, entah sejak kapan dan mengapa aku terkena penyakit lupa ini. Sedang Maryam adalah istriku, tak mungkin aku lupa. Tak mungkin! Tetapi itulah manusia. Aku pun manusia. Hanya Tuhan yang tak pernah melupa. Tasikmalaya, 15 April 2015

Kamis, 09 Juli 2015

SIDANG SKRIPSI

sedang tidak enak badan, tapi ingin menuliskan sesuatu tentang skripsi. buakn lagi tentang bagaimana menyusunnya, tentang bagaimana proses sidang itu berlangsung. Jika aku mesin, ini cerita akan kuulang-ulang diceritakan... kepada sesiapa yang ingin tahu. Enam hari sebelum sidang skripsi, aku bersama teman iseng-iseng membayangkan proses persidangan. maklum, kita terlalu parno.. dan dari obrolan itu sepakat dengan tips-tipas menghadapi penguji: 1. Pura-pura sakit, bleh meriang flu, sakit gigi, atau batuk-batuk. Mana ada penguji yang tega nahan tersangka sampai 1 jam 2 jam, kan tersangka mau ke dokter segera gituloh, walaupun gak ke dokter ya kan harus istirahat. 2. Tips 2 ini cukup manusiawi, bagaimana kalau pas sahur kita makan jengkol atau pete, terus jangan gosok gigi, nah nah kan berhadapan, penguji gak mau dong bau terus menerus, alhasil sidang akan cepat berlalu. Bisa sih, tapi bisa dipastikan nilai atittude kita C, hehehe.. 3. Tips ketiga adalah menjawab pertanyaan dengan semanis mungkin tanpa pembelaan untuk hal-hal teknis, dan pantang menyerah untuk masalah yang bisa ganggu kontent, misal mempertahanakan rumusan masalah :D kan kalo masalah penomoran halaman mah, bukan esensi. Harus manis nih, kalo bisa angguk-angguk kepala dan mencatat semua perkataan penguji. hahaha... 4. Tips ke empat, menjawab sebelum dikasih pertanyaan. begini, coba anda.... langsung kita jawab, "saya bersedia pak." haham tips ini apasih gaje. Begitulah kita menciptakan tips menghadapi ujian sidang skripsi. Entah karena kualat atau apalah, setelah percakapan malam itu, dinding mulutku bengkak, sariawan, dan sariawannya suhbanallah sebesar naudzubillah, kalo kesentuh gigi samping, rasanya ingin teriak sekuat-kuatnya............. sakitttttt banget! Seumur hidup baru mengalami sariawan separah ini. Dan kata orang ini bisa disebabkan: 1. Setres 2. Kurang tidur 3. Kurang minum 4. Kurang makan buah dan sayur... Pokoknya gitu lah, berbagai cara dilakukan. Sempat terbesit, apakah ini karena efek menggunakan akawa gigi juga ya? Sejak Juni saya berniat merapihkan gigi, dan benar saja, setiap mau bicara saya harus buka mulut hati-hati, kalu tidak kawat gigi bisa nyangkut di lubang naudzubillah itu... Ibu bilang, ke dokter, buka lagi saja kawatnya! Ada 4 hari tiap mau buka saum, bangun tidur, atau mau sahur pasti nangis dulu, apalagi pas gosok gigi, cireumbay.... Sakitnya gak ketulungan, sampai suatu hari berdiri di depan cermin dan berkata, aku gak sakit, kamu sakit ge aku kuat, tapi tetep we bari ceurik... da sakit. LOL. Bapak bilang, coba pakai harangasu, harangasu abu hitam dari sisi-sisi hawu... yeuh kolot jaman baheula mah pake harangasu. Oke... dengan mata terpejam, kuoleskan harangasu ke dinding mulut tepat ke lubangnya, dengan air mata bercucuran akhirnya si harangasu menempel tepat. jedad jedud berkurang, setelah itu tetep sakit lagi... Ibu bilang aku salah memakinya, harusnya pas mau tidur, terus biar sama kapasnya saja. oke, demi sidang lancar, saya coba lagi, walau tahu sakitnya kaya gimana... oles harangasu pakai kapas, ditempel di lubang sebelum tidur bari cireumbay! Pas bangun tidur, memang enak dingin, dan pipiku chubby kan, nah nah sebelum makan tentu kapas di lepas dong, lalu satu dua.. tiga.. kapas di tarik.. "AWWWWWWWWWWWWWWWWWWWWWWWWwwwwwwwwwwwwwwwwwwww!" seperti dicubit didaerah yang luka. menjerit sekuat tenaga, sakit broh! Ibu kaget, kenapa? kulihat lubang di dinding mulutku semakin dalam dan merah. Kata ibu, atuh da kapasnya di bawa tidur! Ibu!!!!! kan ibu yang bilang... Dengan santai ibu bilang, 5 menit saja, kapasnya ambil lagi.. Ah sudahlah... Hari selas sidang, tapi sariawanku tak kunjung menunjukkan tanda sembuh, aku tak bisa berkata, meminta atu berbicara dengan isyarat, atau menulis. dan sebalnya orang-orang malah ketawa, atau ngajak bercanada yang bikin posisis mulut pipi dan wajah berkerut, itu sakit loh. jadinya sering menyepi dan nangis sendiri deh... Hari Senin kembali ke tasik, ibu menyelipkan harangasu di balik tasku, anggo nya kata ibu. Senin itu aku mau ketemu OM Pidi, mau simulais sidang, dan memang walau terbata-bata aku bisa ngomong dan menjawab pertanyaan om pidi. Om Pidi bilang, itu sih kamu pakai kawat segala ih, buka kali lah Li... duh! Akhirnya pulang dari Om Pidi, karena tak kuat dengan sakit, dan harangasu tak mempan, oh ya sempat juga pakai osari yang dari madu dan kurma itu loh, GAK MEMPAN, ngajeletot tapi terus aja nyut nyut.. memutuskan ke dokter gigi, dokter gigi yang biasa merawat tak bisa datang ya sudah datang ke dokter gigi lain, dan alhasil dibuka lah dua kawat yang dekat dengan lubang naudzubillah itu. Apakah jadi plong? Mendingan, tapi tetap sakitnya tak bisa dihilangkan terutama ketika berbicara. Besok sidang tapi aku gak bisa bicara? bagaimana bisa, ya ALlah sebuhkan abi ya Allah.. itu doa yang tak henti-henti. Tahu gak? Selama sakit sariawan, saking panasnya mulut kalo tidur ingin sekali dikipasin, sampai selalu nyiapin kain khusus jika aku posisinya ke kanan atau kiri, siapain buat ngeces! Hahaha jorokkan, but that true! Hari H tiba... ini tulah kayanya, aku beneran sakit, sariawanku jedud-jedud, mungkin ini puncaknya. Dengan masker pink, aku siap di sidang... penyidangnya: 1. Prof. Cece 2. Dr. Karlimah 3. Drs. Edi Hendri Tahu kan ketiganya, guru-guru besar idealis yang aku akan mendadak ciut, dan bisa membuat berat badanku turun drastis. Ya Allah, abi ingin hari ini lancar dan abi bisa bicara kalo ditanya ituh ya Allah plis ya Allah... itulah nikmat bisa bicara itu, jaga lisan makanya sist bro! Ternyata prof Cece memsiahkan diri, ia menyidangku sendirian, eh dibantu dua asdosnya Pak Opik dan Om Pidi. ENtah karena situasi yang dibuat merinding, parnoku kambuh, dan jawabanku entah apa, menguap kemana semua isi skripsiku, dan yang pasti aku merasa suaraku bergetar hahahha,, sampai ketika akan berkata olehnya.. kok aku malah bilang olehna, aku berpikir huruf Y nya kemana ini? Aku ulangi katana, aduhhh kok ngilang sih.. hahaha. akhirnya aku diam, sambil pengen nangis gitu juga, hahaha, maklum gigi juga sakit karena kawatku membuat formasi baru pasca dibuka 2 biji... lah kompleks we, hari itu :D teori apa yang anda gunakan? tanya pak Prof. Tarigan pak dan wellek dan Waren. mengapa bukan teori anda? Anda tahu apa itu teori? Sist bro, aku diam loh ditanya gituh beberapa detik, aku tak mau dong asal bunyi, sambil mikir masa perkuliahan dulu tahun 2011, pak didi yang bilang apa bedanya asumsi sama teori. AKu jawab sambil dagdigdug, "Asumsi yang sudah terbukti kebenarannya pak." "Iya itu teori, tepatnya teori itu itu sesutau yang bisa menjelaskan, menerangkan, terus apalagi ayo? aku melongo.... "Menemukan.." bukan itu, "memprediksi!" ucap prof, mungkin jengkel padaku yang belet.. :( Apa yang anda ketahui tentang kebenaran? Hah? Ini apa pula? Jika berjata tentang kebenaran, maka sumber kebenaran yang bersifat postulat adalah kebenaran Tuhan, ucapku datar dan sok tahu, hahahha... iya itu, benar, dan sumber itu apa? setelah itu adalah hadist ucapku lagi hahaha.. iya apa itu sumbernya? aku masih aja loading. "Alquran dong!" ucap prof gereget, hehe peace Pak. Panjang dan lebar lagi pertanyaan, tentang narasumber skripsiku sastrawan Acep Zamzam Noor, mengapa anda memilihnya? apakah anda memilih be,iau karena anda merasa harus memperkenalkan beliau atay karena masalah? Karena masalah dilapangan pak, jelasku datar. bagus, ucap prof lagi. Ya ALlah untung mulutku gak salah jawabm ya Allah, terima kasih. Kenapa tidak membuat biografi ANda saja? Aku tercekat, biografi diriku sendiri? Siapalah aku mah pak, apalah-apalah, jawabku. Pak Prof marah. Kamu ya, tidak bersyukur, kamu itu.... (bahasa pak prof asalnya anda jadi kamu?) kamu harus syukuran! Jangan pesimis, jangan down, potensi kamu bla... bla... kamu itu pasti banyak yang suka ke kamu... sudahlah skripsi kamu sudah oke, saya mau pesan ke kamu, tanggal 25 Juli saya juga pergi dari kampus, begitu juga kamu, anggap ini petuah ya, kalau jodoh itu jangan standar tinggi.. bla-bla-bla... Hidup ini mana tahu, nih dua orang ini, mereka gak tahu mulanya akan jadi dosen, ujarnya melirik pak opik dan om P, dia liriknya pada pak Opik, hanya seorang mahasiswa yang suka di masjid ngawurukkan barudak, gak tahau hati saya tersentuh saja dan nawarin dia ngajar di kampus. Tuh hati saya yang bergerak saya gak tahu, itu kehendak Allah... kamu juga... saya jadi meleleh mendengarnya, banyak yang diceritakan beliau tentang jodohnya, ibu. Dan itu berujung pada pertanyaan penutup, jadi kesimpulan yang tadi saya omongkan apa? "jangan mencari yang sempurna pak! ucapku polos dan bingung. Ah kamu, bukan itu... kamu Pidi, apa? Om Pidi tersenyum sama-sama bingung wajahnya, "Harus saling melengkapi pak, ucapnya mantap. nah itu: SALING MELENGKAPI! Sampai saat ini, itu yang aku ingat dari sidangku dengan beliau. Sok ada yang mau nanya, tawar pak prof pada dua asistennya. Pak Opik mengambil buku produkku, ini puisi siapa? karya peneliti pak, karya siapa tanya pak prof ingin tahu juga? Annisa Zahraa pak. jawabku. Dan om Pidi meledak tawanya, begitu juga pak prof yang memandangku dengan aneh. Coba bacakan! perintah Pak Opik. Guys, bayangkan gigiku yang sakit ngomong aja, mesti baca puisi, sumpeh itu mau nangis saja, sambil minta ampun, takut-takut air liurku yang panas keluar bak lahar tak tertahan. Ya Allah........... Akhirnya kubacakan puisi, dan diujung sesi tepuk tangan untuk tangisku yang tak bisa ditahan, sakit bro! bukan menghayati puisi :( Setelah ditanya bertubi oleh Pak Opik, gak bertubi juga ketang, pak prof memperlihatkan nilai yang kuperoleh, nih buat kamu, saya berani nagsih dan memperlihatkan ke kamu, sudah tanpa revisi! Aku melongo dan setenagh bahagia juga... sidang itu tak semenyeramkan awalnya. Saat pak prof mempersialkan duduk, dan bertanya, siapa nama Anda? hah, ini serius nih ucapku sambil degdegan. Semua aman pada akhirnya. Keluar dari ruangan sidang, mencari WC, pakai masker lagi.. siap diuji lagi dengan dr. arli dan drs. edi. ______________bersambung dulu ya_______________-

Minggu, 31 Mei 2015

Welcome Juni 2015

Di bulan ini...
Berapa hari lagi daftar sidang...
Berapa hari lagi sidang...
Berapa hari lagi...
Dan bulan depannya...bulan Juli..
Apa kah yang akan Tuhan Kehendaki akan diri ini...

Wahai Juni, seperti isi surat Umar terhadap Nil. Jika engkau bukan ciptaan Allah maka janganlah kau bergerak, namun jika engkau menggulirkan hari-harimu karena kehendak dan perintahNya, maka bergeraklah dengan mudah dan lancar.

Masih tahun lalu, Juni lalu, saat KKN, dan kenangan lalu, telah jadi latar belakang dari sebuah proposal kehidupan. Kini, hendak kujalani, dan yang kini adalah latar belakang pula untuk depan yang mungkin masih berupa misteri.

Adakah Juni kini, saat semuanya telah jauh lebih berubah. Aku memutuskan menari saja dengan laurnya, merasa nyaman dengan zonanya, ada masanya muda harus berkarya, tak boleh lagi begini.
Baru saja kemarin memimpikan ingin mengunjungi ITB, tanggal 4 Nanti Allah jalankan takdirku mengunjunginya. Jika saja impian itu sudah begitu ingin dialami, begitu jelas tergambar... semuanya manjadda wajada...

Termasuk dengan hal satu itu yang aku inginkan, mandiri dan bisa berdiri dengan kaki sendiri.

Oh Tuhan Juni, rahasiakanlah apa yang membuatku malu..
Oh Tuhan Juli, lindungilah diriku, dan tuntunlah diri ini menemukan kebenaran dan keridhoanMu...
Oh Allahku, sekiranya jatah usiaku di dunia ini masih ada, sebelum sampai nafas ini terhenti, perbaikilah akhlakku, perbaikilah Rabbku berilah aku kesempatan membahagiakan hati saudariku tanpa menyakitinya... jadikan diri ini cukup atas dunia dan hak-hak manusia.

Jauhkan mataku dari memandang yang tak mesti, jauhkan telingaku dari mendengar berita yang mengusik imanku, jauhkan kaki tanganku dan tubuhku dari melakukan sesuatu yang tak Kau sukai.

Jika saja Juni ini tak ada bedanya dengan mei, april, maret, ....

Biarkan sekali ini, aku jadikan juni sebagai satu penanda.

Dengan perantara Musa, kumohonkan pada Mu sebuah kebaikan padaku bulan ini.
Dengan perantara Yunus, sungguh kuakui diri ini telah menganiaya diri sendiri.
Dengan perantara saudara-saudara Yusuf, bahwa kuakui pula aku telah melakukan kesalahan, dan aku ridho terhadap apa yang akan diputuskan atas takdirku.

Karena engkau maha pengampun lagi penyayang....

Selasa, 12 Mei 2015

Tamu Masa Depan

"Saat usia ibu 22 tahun 8 bulan, ibu memutuskan untuk berdiri," ucapku memulai cerita.
"Apakah selama ini ibu hanya duduk-duduk?" tanyanya heran.
"tentu saja, ibu tidak duduk jika Allah tak hendaki, nak. Ibu duduk karena belum siap. Di usia itu ibu merasa siap, karena kuliah hampir selesai, dan tuntutan untuk lain hal telah tuntas."
"bagaimana ibu berdiri dan ayah dapat melihat ibu?"

Aku tersenyum, anakku terlahir sebagai anak yang kritis dan jenius. Tentu kekritisan ini dari Ayahnya.
"Apakah kamu dapat melihat cahaya dengan jelas di siang hari? Tat kala ada matahari?"
"Tentu tidak, apalah artinya.."
"Begitulah, ayah menemukan ibu saat malam itu ada satu cahaya saja."
"Apakah cahaya itu milik ibu?"

Aku lagi-lagi tersenyum.
Mengingat rangkaian masalalu, yang mungkin saja saat ini terasa misterius.
"Ayahmu orang yang baik, pekerja keras, bisa melihat masa depan dengan jelas, walau pun saat itu posisi ia tak jelas."

"Ibu, apakah ayah pun adalah cahaya. Dan ibu bisa menyambutnya waktu itu?"
 Aku ingin tertawa. Tapi niatku diurungkan, tentu saja karena anakku ini bertanya dengan mata serius.
"Tentu. Ayahmu seperti bulannya saat malam, sedang ibu hanya kunang-kunang betina, yang cahayanya hanya cukup untuk menerangi diri sendiri."
"Aku ingin seperti ayah." uacapnya semangat.

Aku memeluknya, terharu. Ya, tiada kebahagiaan yang Allah karuniakan sebagai penghapus duka selain buah hati dan keluarga yang mencintai.

Tetiba. Anakku melepaskan pelukannya, berlari, dan berteriak"Abbu...!"

dari kejauhan pula kulihat samar-samar, seorang lelaki yang dipanggil abu oleh seorang putra yang tadi memelukku, dan mengaku sebagai anakku, berdiri tegak sempurna.

Mataku yang kabur, dan pendengaranku yang terbatas, tak sampai menerka dengan tepat. Mereka menjauh dan masuk kekehidupanku masa kini. Aku semakin samar, dan bayangan mereka gelap.

Ia adalah suami terbaik.  Entah siapa.



Kamis, 23 April 2015

Cinta

Berdiri diantara dua pilihan
Memilih A atau B
Jika A inilah akibatnya..........
Jika B inilah jadinya.............
Bagaimana jika A dan B, akhirnya berlalu?
Tolong jangan sampai...

Kucoba melakukan istikharah
Tetap saja, hatiku condong pada keduanya,
Akhirnya aku memutuskan
Bagaimana jika menanti saja,
Siapa diantara dua itu yang sabar, lalu salah satunyaberlalu
dan aku akan menjaga satuya..
ah lalu bagaimana jika keduanya sepakat untuk berlalu?

Berdiri diantara dua pilihan
Memilih M atau N
Jika M, dia begini, lebih, kurangnya kutimbang
Jika N, begitu, lebih, kurangnya kuhitung
Siapa yang salah tiba-tiba perasaan ini muncul begitu saja?

Tentu karena mata ini sebelumnya tak kujaga,
tentu karena komunikasi ini sebelumnya tak kubendung
ini akibatnya,
saat cinta telah tumbuh dari mata ke hati,
tak ada hati yang jernih lagi untuk menumbuhkan cinta dari mata

Oh lupa,
Takdir akan membawaku, pada siapapun.


*Maafkan jika diri ini penyebabnya.

Assalamualaikum sahabat, hari ini kita bahas puisi di atas ya :)

Jika saya ada diantara pilihan itu, dan sama-sama mengetahui bahwa posisi saya ada di A atau M atau B atau di N. Langkah terbaik adalah: mundur karena Allah. Jadi ingat iwan fals: aku bukan pilihan.

Tuhan memberikan ujian pada hambanya, sesuai tingkatannya. Saatnya kini kita menjadi dewasa, dan mampu mengendalikan semua yang terjadi. Apa yang bisa dilakukan?

Pertanyaan bagus, berarti fokus pada solusi:

Bismillah mudah-mudahan ini solusi yang tepat untuk siapapun, tanpa ada yang tersakiti.
  1. Cinta itu mampu dibangun, oleh sebab itu pilihan terbaik adalah menikah.
  2. Bagaimana jika SIM belum di dapat, maka "berpuasalah" sembari terus memantaskan diri kita di hadapan Allah.
  3. Berdoalah untuk satu kata: suami, bukan satu nama. Itu!

Jika mampu meyakinkan keluarga, segeralah menikah, karena itu akan menjaga kesucian hati, memperbaiki keluarga, menjaga warisan keturunan, dan kehormatan. Bagaimana jika keluarga belum mengijinkan? Bertawakallah pada Allah. Berpuasalah, menundukkan pandangan, dan tutup telinga dan mata, murnikan hati.

Ingat sayang, janji Allah: Barang siapa yang melepaskan sesuatu karena Allah, maka Allah akan menggantinya dengan yang jauh lebih baik. Percaya gak? Yakin gak?

Kemudian Allah pun berjanji bahwa: Laki-laki yang baik untuk wanita yang baik.

Jadi percayalah: Terus menerus belajar untuk lebih baik dari hari ke hari, in sya Allah, akan dipantaskan dengan yang baik pula. Berlalulah, mendayunglah, lurus ke depan, jangan hiraukan, percantik akhlak, banyak yang harus diperbaiki. Tidak sekedar dzahir tetapi juga batin.

Yakin sama Allah, berdoalah untuk lulus ujian ini, dan mendapatkan jodoh terbaik, yang bisa mencintai dan melindungimu dengan tanpa keinginan untuk melihat wanita lain. Bukankah itu keinginan setiap wanita?

Tetaplah pada jalan dakwah, lalui semua dengan kesabaran, perbaiki shalat, dan belajar menerima kenyataan, cintai setiap orang, hiduplah dengan bahagia.

Az.


Rabu, 15 April 2015

MAWAPRES: Sekilas Dulu dan Kini (Ada Harapan)

10.20.
Duduk di depan laptop merah. Melihat apa yang akan kubagikan lagi, tentang pemikiran-pemikiran di masa kini di dalam otak yang terbatas.

Saat kemarin menghadiri final mawapres (mahasiswa berprestasi), ada sedikit kenangan tentang satu tahun lalu. Bukan perkataan: bahwa akupun pernah berdiri di sana, dan merasakan gelisah dan kekhawatiran akibat gegap gempita penonton, bukan itu.

Saat memasuki aula, bertemu dengan Ibu Juni dan mengatakan bahwa apapun putusannya, kami pun (waktu itu ada vira) adalah mawapres bagi beliau. Mungkin itu sanjungan yang tepat tak tepat.

Memang, antara 4 kandidat di tahun lalu dan kini ada 3, semua orang selalu saja berbeda. Baik jalan hidup (termasuk prinsip dan sebagainya), skill (kemampuan), maupun pengalamannya (baik di dalam maupun diluar).

Setiap orang selalu dengan ciri khasnya, ada tiga kandidat hari ini yang akan di”bantai” oleh para doktor penguji (calon doktor juga ada). Tiga kandidat itu menampilkan diri dengan kapasitasnya masing-masing. Toh, jika pada akhirnya, setiap pertandingan akan ditunjuk satu yang mewakili sebagai pemenang, itu bukan berarti dua orang dibelakangnya tidak berkualitas. Ketiganya telah menampilkan yang terbaik dari potensi dirinya.

Banyak sekali potensi di seorang manusia, termasuk potensi akal, hati, fisik, dsb. Akan tetapi potensi dalam bidang tertentu itu, Tuhan bagi-bagi, pada passionnya masing-masing. Ada yang unggul di bidang bahasa, bidang akademik, organisasi, karya tulis, pengalaman, dan lain-lain. Allah bagikan itu merata, pada yang bekerja keras dan yang mau belajar.

Mr. D, sesaat setelah mengumumkan siapa yang akan mewakili Tasikmalaya menuju Bandung, menulis sesuatu di dinding grup UPI Tasik. Sebelumnya, saat pengumuman itu, kami menyaksikan betapa galaunya beliau, dan sangat hati-hati dalam menyampaikan juara. Walaupun sebenarnya kami sudah dapat menebak siapa yang akan keluar sebagai pemenang, ada desas desus bahwa 2 finalis mendapat nilai sama, entahlah itu benar atau tidak, nilai kami pun tidak diumumkan dengan jelas. Begini tulisnya (panjang x lebar).

Tulisan Mr. Dindin (Dosen Matematika UPITas; setiap tahun jadi penjaga gawang yang mengumunkan pemenang), waktu mawapres tahun lalu. Intinya adalah bahwa jika saja ke lima orang ini bisa dimerger dalam satu tubuh. Itulah mawapres UPI Tasik yang perfect (katakanlah demikian).

“SELEKSI MAWAPRES TAHUN 2014 BERAKHIR DENGAN TETRA JUARA”

Saya cari-cari tulisan itu di beranda grup VISI MISI UPI 2015. Jika saja tak ada facebook yang bisa menampilkan kapan terjadinya, mungkin sudah lupa. Mawapres tahun lalu, sama-sama dilakukan bulan April.

Sungguh tulisan Mr. Dindin ingin saya kutip, tapi entah kenapa, jadi ingin semuanya saya tulis di sini, boleh ya plagiat pak. Jika tak ditulis berasa tak lengkap. 

“Konsep Baru
Saya bersyukur sekali bisa menyaksikan dan terlibat pada seleksi Mawapres 2014 ini. Tahun ini berarti tahun keempat kita melaksanakan kegiatan tersebut di kampus ini. Tahun ini memang saya terlibat baik sebagai juri maupun sebagai panitia, tapi hanya tahun kedua dan ketiga (2012 dan 2013) saya berperan sebagai pembimbing kemahasiswaan. Ketika tahun 2011 saya mengajukan kepada pimpinan kampus untuk melaksanakan seleksi Mawapres di tingkat UPI Kampus Tasikmalaya, itu merupakan perjuangan yang sangat hebat. Sekarang saya bisa tertawa dengan lepas bahwa seleksi Mawapres akan menjadi tradisi yang hebat di kampus ini. 

Sekarang tim panitia semakin lengkap. Dengan pembimbing kemahasiswan yang baru (Pak Resa Respati) dan tim pembina kegatan2 kemahasiswaan lainnya, kegiatan ini bisa lebih meriah tahun ini. Apalagi tahun ini merupakan tahun pertama yang melaksanakan sistem final, gagasan yang kami munculkan supaya kegiatan bisa lebih meriah. Pada dasarnya aspek yang dinilai pada seleksi Mawapres masih sama yaitu : IPK, KTI dan presentasinya, kemampuan berbahasa bahasa Asing dan prestasi ko/eksra kurikuler. 

Semua Peserta Perempuan

Tahun keempat pelaksanaan seleksi Mawapres ini, memang ada yang baru seperti tahap final tersebut, tetapi ada hal yang spesial yaitu dari kesembilan peserta semuanya adalah PEREMPUAN. Entah kenapa, mungkin sebagai hampir kebalikan tahun kemarin yang semuanya laki2 kecuali satu orang perempuan. Maka saya acungkan jempol kepada sembilan peserta tersebut karena memang butuh keberanian dan persiapan untuk mengikuti kegiatan ini. Kegiatan seleksi mawapres bukanlah kegiatan instan, tetapi kegiatan yang harus disiapkan semenjak mereka menginjakkan kaki di kampus. Maka saya sampaikan rasa bangga saya kepada kesembilan peserta yaitu : Ade, Eli, Medita, Vira, Eva, Siti Hajar, Widya, Reni dan Aprilia. Selama saya kuliah S1 saya tidak pernah merasakan momen seperti ini, maklum dulu kegiatan Mawapres dilakukan secara tertutup bahkan di tingkat universitas sekalipun.

Finalis dari 3 menjadi 4

Sejak awal panitia telah menetapkan bahwa akan ada 3 orang peserta yang akan masuk ke final. Akan tetapi setelah seleksi tahap awal yang melibatkan 5 orang juri (Pak Yusuf, Bu Seni, Pak Resa, Bu Desi dan saya sendiri) diputuskan bahwa ada 4 orang mahasiswa yang diloloskan ke tahap final. Tahun ini memang lebih sulit mencari juara urutan pertama dan berikutnya karena masing2 punya keunggulan dan kekurangan yang justru kekurangan salah satu peserta menjadi kelebihan peserta lain dengan bobot yang berbeda tetapi sangat tipis. Keempat finalis yang masuk final yaitu : Ade, Eli, Medita dan Vira memiliki keunggulan masing-masing sebagai finalis. Diantaranya ada yang memiliki kelebihan pada karya, inisiatif dan prestasi dalam mengembangkan kegiatan kemahasiswaan di kampus sehingga bisa memberikan inspirasi pada mahasiswa lainnya bagaimana berkiprah di kampus, diantaranya ada yang memiliki jejak rekam prestasi pada kegiatan internasional, diantaranya juga bahkan memiliki performance yang mengesankan ketika menyajikan karya tulis mereka. Andaikan keempat orang bisa digabungkan maka pofil mahasiswa berprestasi sangatlah lengkap

Saya sering menyampaikan bahwa kegiatan Mawapres ini harus berdampak kepada gairah berprestasi di kampus ini terutama bagi angkatan2 berikutnya. 

Final yang Berbeda

Panitia memutuskan bahwa untuk tahap final kita akan mengundang juri teatnya panelis yang berbeda, hanya Bu Desi yang tetap diundang karena diharapkan mampu mengeksplorasi kemampuan berbahasa Inggris para finalis. Juri yang lainnya yang diundang adalah Bu Karlimah, Pa Dian, Pak Edi dan Pa Syarif. Kelima panelis final ini diharapkan bisa melihat perbedaan keunggulan para finalis sehingga mampu memilih siapa juara dan yang berhak mewakili ke tahap final di tingkat universitas.

Seperti yang kita saksikan, kegiatan final ini memberikan kejutan2. Pertanyaan dari para panelis sangat menggigit sehingga mampu menunjukkan perbedaan masing-masing finalis. Keunggulan2 masing yang sudah terlihat pada saat penyisihan benar2 mereka tunjukkan disini. 

Penentuan juara pada final kali ini adalah berdasarkan penilaian kelima panelis ditambah dengan dengan pilihan dari pimpinan kampus serta juri tahap penyisihan dan panitia yang memiliki hak dan menentukan siapa yang terbaik.

Hasil Terbaik

Pada awalnya siapun yang memiliki hasil pilihan tertinggi dari semua voter, ia akan menjadi juara pertama dan jumlah berikutnya juara 2 dan seterusnya. Akan tetapi di luar dugaan, kami harus memutuskan sesuatu yang berbeda tahun ini dimana kami tidak menentukan juara untuk seleksi Mawapres kali ini. Kami hanya menentukan siapa yang akan mewakili kampus Tasikmalaya di tingkat universitas. Memang keputusan yang sedikit aneh mungkin tapi paling adil karena keempat Finalis ini bisa saja mewakili UPI kampus Tasikmalaya di Bandung. Suara terbanyak yang diperoleh oleh Saudari Medita dari para panelis dan voter yang terdiri dari pimpinan yang hadir dan para juri lain dan panitia mengantarkan ia mewakili kampus UPI Tasikmalaya ke Bandung. Tetapi tetap kami menentukan tidak ada juara 1 dan seterusnya. Saudari Medita memperoleh apresiasi tinggi pada tahap penyajian KTI di final serta kemampuan berbahasa inggris dari 2 orang panelis. Kitapun memiliki 3 juara lainnya : Eli memperlihatkan keunggulan pada bidang kegiatan kemahasiswaan terutama ko/ekstra kurikuler; Ade memperlihatkan keunggulan dalam kegiatan internasional, sementara Vira mempelihatkan gagasan terbaik pada KTI nya yang memiliki topik yang paling sesuai dengan topik Mawapres pada pedoman dari Dikti. 

Tapi begitulah akhirnya, keempatnya secara bersamaan menjadi juara atau TetraJuara. Dengan bigitu profil mahasiswa berpretasi ada pada keempat finalis ini ditambahkan dengan para peserta yang lainnya. Andaikan keempat Finalis ini bisa dimerge layaknya file PDF, maka itulah profil terbaik mahasiswa berprestasi UPI Kampus Tasikmalaya yang harus menjadi bancmark pada kegiatan seleksi Mawapres 2015 dan seterusnya. 

Saya ucapkan selamat kepada mereka berempat dan semua peserta Mawapres 2014, karena kalian telah menunjukkan bahwa kampus ini ADA untuk menghasilkan mahasiswa berprestasi. Mari kita siapkan bersama-sama wakil kita nanti di Bandung mudah2an bisa menunjukkan prestasi yang membanggakan kampus. 

Mempersiapkan Mawapres 2015

Saya ucapkan selamat pula pada Pak Resa, ini merupakan tugas awal yang hebat karena tim panitia Mawapres lebih lengkap dan bertenaga. Kita juga harus menyiapkan Mawapres 2015 supaya lebih baik, dengan persiapan panitia dan peserta lebih baik. Bisa saja ada hal-hal baru. Hal-hal baru yang pernah terlontar adalah bagaimana kalau peserta seleksi Mawapres terdiri dari dua angkatan yaitu tingkat 2 dan 3; serta ada nominasi-nominasi lain mahasiswa berprestasi pada bidang-bidang tertentu seperi bidang seni, keagamaan, dan olahraga. Yang pasti harus lebih rame. Oh iya, tadi juga diusulkan ada tim khusus untuk mengarahkan topik2 pada KTI bagi para calon peserta. Tentunya kegiatan Mawapres ini harus mampu menggerakan kampus dari segala sisi : (1) kegiatan kemahasiswan harus lebih rame, (2) kultur menulis dan kegiatan ilmiah harus semakin intens (Bu Seni menginginkan sekali adal UKM LEPPIM di kampus ini; serta (3) kultur berbahasa inggris/asing sebagai pengantar ilmu pengetahuan juga harus semakin meningkat dengan mengoptimalkan lab bahasa. 

Akhirnya, saya sampaikan bahwa saya tidak menyembunyikan rasa bahagia saya bahwa kampus ini semakin bergairah dengan prestasi para mahasiswanya. Semoga tahun depan bisa lebih hebbbatttt. Wassalam.

Begitulah tulisnya panjang lebar, dan alhasil tulisannya yang mantap itu, mendapat respon yang positif dari dosen lainnya, juga mahasiswa. Termasuk prediksinya untuk mawapres tahun depan. Tapi, semanat dan cita-cita memang membutuhkan kekonsistensian. Saat kemarin mawapres di helat, konsepnya tetap sama, bahkan cenderung apa yang di usulkan pak dadan tahun lalu untuk membuat kategori pemenang mawapres, tak ada.

Apalagi usulan Pak Ghulam, untuk menyiapkan setiap mawapres agar lebih bisa dihargai dan diberikan lahan untuk berkontribusi. Itu baru sekedar ide, buktinya belum bisa dipercaya. Usul Mr. D sendiri agar disiapkan talent scouting, disiapkan calon mawapres menguasai bahasa, tidak terlihat. Ya, semua butuh waktu dan dana, sepertinya.

Tahun ini pun Mr. D seperti biasa menulis, hanya sedikit, tentang definisi mawapres dalam kacamata beliau. Mungkin karena kurang terlibat, tahun ini tulisannya tidak semantap tahun lalu.

Tapi diluar itu, mawapres tahun ini, telah membangkitkan gairah mahasiswa. Tidak bisa dihitung mahasiswa yang hadir, berdesakan, berdiri, dan bertepuk tangan, mengusulkan dan memberi dukungan. Sehari kemarin, UPI Tasikmalaya hidup dengan keilmiahannya. Presentasi ilmiah dari 3 kandidat membuat kami berdecak kagum, apalagi disampaikan dalam b. Asing, yah walaupun kami tidak paham semua isi KTI nya, setidaknya penonton belajar, dan yang penting finalis pun belajar banyak dari hari kemarin. Catatan untuk menutup tulisan ini: Mungkin bisa sidang skripsi dilaksanakan secara terbuka, ini untuk DPS. Agar budaya ilmiah kampus bisa didongkrak, mungkin menakutkan bagi kami mahasiswanya, tetapi semua kenangan itu akan jadi nilai tersendiri, pengalaman berharga yang tak dilupakan seumur hidup kami.

Sekian.

Az (16/04/2015)

Minggu, 12 April 2015

Perjalanan Tiada Ujung Az!

Catatan ini sebagai oleh-oleh dari sisa kenangan, diskusi, dan perjalnan spiritual dan pemikiran dari sejak masuk UPI sampai kemarin di nurul fikri, cilembang, Bandung 10-12 April 2015.

LDK. Sejak awal masuk UPI, mencari-cari UKM keagamaan, dan tidak ada, waktu itu masih ingat, saya mengechat sebuah akun “kalam divan”. Menanyakan kondisi UKM kerohanian di UPI Bandung. Dan di sana ada, sedikit curhat saya pun menginginkan jika saja di upi tasik ada,, dan akun bernama kalam divan pun (entah siapa adminnya) mendoakan supaya di UPI Tasik pun segera berdiri sebuah UKM keagamaan.

Rupanya percakapan di tingkat 1 itu tidak ada kelanjutannya, doa sekedar doa...

Waktu tingkat 2 sangat tertarik dengan kegiatan dari sebuah program: Tutorial. Seperti sebuah UKM kerohanian, Tutorial bisa mewadahi kegiatan keagamaan, bahkan sempat waktu tingkat 1: PT membuat acara gebyar: UPI islamic Fair. Menghadirkan Oki Setiana Dewi sebagai pemateri dari bedah bukunya, melukis pelangi.

Sebenarnya waktu tingkat 1, ada perekrutan dari organisasi ekstra kampus (KAMMI), ada beberapa kawan yang ikut, walaupun pada mulanya tidak tahu itu merupakan tahap 1 dari kaderisasinya. Sayang sekali, karena banyak halangan bahkan tahun berikutnya tidak bisa ikut. Mungkin juga sudah qodarullah... sehingga Allah membuat saya bisa belajar banyak dari semuanya.

Kegiatan Tutorial adalah pilihan saya satu-satunya untuk mengembangkan minat saya di bidang kerohanian. Mungkin sedikit terlambat, waktu SMA saya bukan anak rohis, jadi ketika ikut tutorial, ada sedikit minder: da aku mah apa. Walau begitu, tetap yakin: kalo mau berubah mah harus kandel beungeut we...

Waktu tingkat 3, saya mulai berpaling. Merasa jenuh, kegiatan Tutorial waktu itu ada kantin, kajian rutin, itu paling. Fokus ke UKM menulis, dan meminta maaf atas ketidakfokusan. Teman-teman yang lain pun sama. Banyak dari senagkatan saya yang mundur perlahan, menjauh dan menjadi tidak aktif. Merasa bersalah juga, karena waktu itu saya terpilih menjadi koordinator akhwat angkatan binder 2011. Harusnya bertanggung jawab atas masalah itu.

Berkecimpung di UKM Menulis berakhir di tahun 2014. Sebelum itu,penghujung 2013  dalam hati saya berazam ingin sepenuhnya mengabdi di Tutorial, di kerohanian.

Kondisi tutorial sendiri tengah berguncang, kegiatan-kegiatan tidak sepenuhnya bisa dilaksanakan sebagaimana laiknya UKM, kami sadar itu  karena status tutorial di dalam kampus hanya sebagai asistensi mata kuliah, yang semua kegiatan harus berdasarkan pada dosen pengampu mata kuliah PAI.

Ketika hendak mengadakan binder 2013, dalam sebuah rapat serius terjadi percakapan. Pada mulanya binder ingin dilaksanakan di Ciando, tetapi pembina menginginkan di dalam kampus, dari masalah itu kami menjadi melek dengan posisi saat ini, tutorial bukan lagi ranah yang bisa mewahai kami, walau bukan hanya itu permasalhannya. Mungkin banyak, entahlah, karena saya sendiri tidak terlalu aktif, tidak tahu banyak yang terjadi antara pembina dan pengurus, sejauh itu yang saya tahu baik-baik saja.

Saat diadakan mUBES, dan terpilih Cecep AH sebgai ketua, terjadi banyak perombakan dalam setruktur. Struktur Tutorial dirampingkan mengacu pada AD dan ART.  Kabinet menjadi ramping.

Dan saat MUBES itu, pembina menyampaikan posisi tutorial, dan mendukung pendirian UKM keagamaan. Dan sejak itu mulailah kami membentuk TIM addhock untuk persiapan peluncuran komunitas keagamaan yang “mungkin” akan lebih bmampu mewadahi keinginan kami dengan lebih leluasa.

Tim addhock terdiri drai pengurus tutorial diantaranya: kang ilham, kang rijal, teh asih, teh ai nur (ayay), teh astri, saya sendiri dari tingkat 3, vira, iman, adik tingkat, via, annisa anita, erni, fida, asep, ahmid, dll.

Tim mulai dibagi-bagi, dari koordinator samapai bagian lainnya, ada yang merumuskan ad-art mengacu pada ad art UKDM UPI, ada yang fokus ke syiar membuat akun fb blog dll, ada yang fokus ke atas (menghubungi pejabat UPI Kampus), dan merekrut.

Dari sekian minggu kerja TIM, kami melauncing UKDM dengan sebuah acara yang bisa dibilang “ilegal” karena tidak diketahui siapa pembinanya.

Ketika saya meminta Pak Syarif sebagai pembina, beliau mengatakan tahun ini beliau belum siap, karena tengah membina BAQI, UKM keagaaman yang konsen di baca tulis AL-Quran. Kehadiran BAQI sendiri, meruapakan sesatu yang surprise: kejutan, karena sama sekali kami tidak pernah di ajak atau mungkin diberi tahu. Tidak mengapa, ya kerana sepertinya bibit muda (tingkat 1) akan lebih bisa dikondisikan, dibanding pemain lama. Maaf bahasanya (^^)

Akhirnya dengan prosesi peluncuran balon, dan dihadiri UKM Aksara waktu itu: kita keukeuh launcing UKDM. Walau pun setelah upload foto kegiatan, banyak komentar miring dan sebagainya. Banyak ide muncul dan penentangan, mengapa ada uKDM jika sudah ada tutorial? Mengapa tidak digabungkan? Well, tahu sendiri Tutorial sudah tak bisa lagi wadahi aspirasi kami, dan mengapa tidka digabung, sebenarnya itu pun harapan kami, bisa gabung dengan baqi, tetapi langkah ke sana seolah belum terbuka, terkait masalah namapun, baqi tidak mungkin diangkat sebagai nama UKDM, karena konsentrasinya, jika digabung paling bisa namanya At-Tarbiyah, UKM At-tarbiyah. Nama itu lebih umum untuk menayungi beberapa konsentrasi.

Kajian UKDM yang pertama bersama ustadz, diliput media, hal ini menimbulkan banyak reaksi juga, termasuk pembimbing kemahasiswaan dan beberapa dosen. Walau kajian ini sebelumnya sudah di konfirmasikan ke pembimbing UKDM yang bersedia: Bapak Oyon.

Wah tulisan saya jadi kemana-mana. Sejak itulah saya mulai menegmbangkan diri secara penuh ke UKM baru ini. Diposisikan dalam bidang Kajian yang terpisah dari Syiar (biasanya bersatu) menjadi pelajaran yang berarti.

Dari sana saya mulai belajar, bahwa tidak smeua pengetahuan bisa diterima, apalagi jika pengetahuan itu bisa membuat orang lain menjadi ragu akan keyakinannya. Saya sendiri memang suka kajian yang bisa memperbarui iman, tetapi hal ini tentu tidka baik untuk awam.

Di perankan dalam divisi kajian adalah sesuatu yang strategis, dalam divisi ini ditentukan siapa pemateri dan bahasan materi. Ada sebagian ketakutan beberapa orang bahwa UKDM yang baru berdiri ini di boncengi oleh kepentingan satu organisasi eksternal. Tidak ada seperti itu, jika memang ada itu tentu ada sanksi, lagi pula masalah pilihan individu itu diserahkan pada individu yang diajaknya dan mengajaknya. Di UKDM sendiri sebagai divisi kajian, saya berusaha menghilangkan paradigma itu. Maka untuk menguatkan itu, pada ujung tahun 2014, saya belajar mengkaji HTI, puncaknya saya ikut ICMS di Jakarta. Nekad!

Dari sana, saya mengalami sesuatu yang luar biasa. Mulai dari dianggap orang sesat karena (terlihat) masuk HTI, dianggap radikal, dan sebagainya. Sampai-sampai, setiap kali disudutkan. Well, saya pun menjadi dilematis, masa-masa itu sungguh berat, dan membuat saya jengkel orang-orang yang merasa paling benar dengan keyakinan harokah (gerakannya). Tetapi waktu berlalu, saat intinya sudah saya dapat, melalui diskusi dengan pak dindin, pak opik, via dan teh ani kakak tingkat di HTI, saya menghilangkan rasa dilema dan sebagainya. Menetralkannya, dan berusaha jadi manusia yang bermanfaat saja.

Dan dari pengalaman itu, saya belajar lebih bijak tentang gerakan-gerakan islam di tanah air. Seorang dosen mengusulkan saya ikut HMI, agar lebih bisa objektif. Karena KAMMI sendiri, walau bukan anggota atau pengurus, saya orang yang bisa dikatakan simpatisan aktif, acara-acara kammi sering dijadikan sarana menambah ilmu, dan beberapa aksinya yang “mewakili aspirasi saya”, saya ikuti.

Mungkin saat seseorang mengatakan “saya harus berdiri dengan tegas di satu harokah, tidak bisa kaki ini diinjakkan pada dua atau lebih keyakinan.” Ingin juga menjawab, tapi ah senyumin saja, mungkin karena itu pula saya menjadi bagian orang yang Cuma bia ngomong, aslinya tidak aktif dimanapun. Pikiran ini sudah jauh lebih moderat dari yang seharusnya. Dan wadah yang bisa menerima saya dengan keyakinan ini::::, sampai saat ini adalah UKDM.

Di UKDM, saya berteman dengan orang-orang dari berbagai paham, katakan bisa salafi, ikhwan, bahkan yang gak memiliki gerakan, ah saya mah NU saja, gak ngerti nu kararitu, dll.

Di sana, harus dihargai semuanya, tidak boleh ingin terlihat menonjol dsb, walaupun saat jajak pendapat akan terlihat apa yang dikatakan adalah hasil dari pemahamannya.

Wah bahasannya menjadi jauh. Saat kebenaran terus dicari-cari, mencari yang paling benar, yang tersisa hanya kebingungan. Saya tidak mengerti mengapa umat ini tergolong begitu banyak, al-quran menyebutkan sampai 73 golongan, sedangkan yang selamat hanya 1, yakni yang lurus pada wasiat rasul, tali agama ini adalah al-quran dan sunnah.

Saat dihadapkan pada dilema yang lebih problematik, saya menemukan masalah yang menyangkut akidah, bahwa ada nabi yang Allah utus setelah Muhammad, yakni nabi isa, nabi isa sudah turun, begutilah pendapatnya, katakan itu aliran ahmadiyah. Saya ingin menjerit, sekuat-kuatnya, ada juga pemikiran itu ya, lengkap lagi dengan buku-bukunya, dan masih ada orang yang pintar dan sangat pintar baik hati lagi mau mengikuti pemikiran seperti ini. Mengada-ada!

Saya tidak mau mendebat, sudahlah biar Allah saja yang jadi saksi antara kami, sempat terjadi diskusi tetapi hasilnya adalah rasa sesal yang dalam. Allahku, maafkan diri ini, bersitegang satu sama lain bukanlah solusi. Islam itu damai, jika peringatan sudah disampaikan, lakum diinukum wal yadin...

Satu lagi yang membuat pikiran ini menjadi pusing, aliran syiah. Penganar mata kuliah di SPAI tidak cukup untuk memahami syiah. Dimulai dari sejarahnya sampai bahayanya. Buku-buku syiah yang saya temukan di perpustakaan, telah mebuat saya menajdi jengkel juga, saat ada pembedaan perlakuan pada sahabat dan ahlul bait Rasulullah.

Walaupun begitu tetap berusaha mencari “ikan dalam air jernih”. Melihat jika syiah sangat pandai sekali dalam menyusun buku, kadang sepikiran dengan seseorang, kok aliran sesat bisa masif begini, buat bukunya tebal-tebal, welehhhh...

Saat kemarin di Nurul Fikri mengikuti mukhoyyam tarbawi 2, pengetahuan berlimpah ruah. Selama ini problem LDK hanya di dalam kampus, sedang LDK yang lain sudah move on, dan mulai memperhatikan suadara di Palestin bumi syam dan skeitarnya.

Lalu syiah dibedah langsung oleh ahlinya, seorang syeikh yang di datangkan dari Mesir, syeikh Ibrahim, dan terbukalah hijab. Saat ada pertanyaan ciri-ciri syiah yang bisa terlihat oleh mata, syeikh menjawab, orang syiah memandang sholat jumat hanya sunnah. Jadi bisa terlihat orang syiah kadang tidak melakukan sholat jumat, walaupun pada dasarnya ia taat dalam urusan solat. Hah? Kami jadi ingat sesoerang, sambil tersenyum.........

Di Nurul Fikri pun dihadirkan syeikh Mustafa An-Nubany, seorang syeikh dari Palestin. Kami menjadi sadar bahwa umat islam itu satu di seluruh dunia, visi misi kita satu, ah selama ini kami sibuk dnegan persoalan pribadi. Sedih kadang, nasionalisme sempit yang menjadikan kami tak lagi memiliki rasa satu tubuh dan jiwa. Kami hanya peduli dengan diri sendiri. Sedih we pokonamah.

Dari sana memang tak banyak yang dapat diceritakan, seolah jiwa ini terus bergerak, dan kebanggan menjadi seorang muslim terasa sangat dalam, alangkah indah jika perasaan itu dimiliki smeua orang. Islam adalah agama terbaik, agama yang Allah ridhoi. Jangan membuat kebengkokan di dalamnya. Cukuplah agama ini, rahmatan lil alamin. Ya Allah jagalah hati kami.

UKDM ke depan menjadi wahana yang memiliki potensi tersendiri. Terimakasih UPI tasikmalaya. Allah sekolahkan saya di universitas ini dengan hikmah yang luar biasa, saya menjadi banyak belajar, bahkan untuk sesuatu (kehidupan) yang kekal. Allahu akbar, maafkan diri ini.

Terkadang kelelahan dan rasa sakit hati muncul, tetapi jangan pernah berpikir keluar dari jamaah, dan menghindari keterlibatan. UKDM adalah jamaah yang tepat, ayo saling menguatkan. Dakwah tak bisa tegak hanya dengan 1 orang.

Sedikit berbincang dengan beberapa pengurus UKDM baru, UKDM ke depan akan rutin menyalurkan donasi ke Palestin tiap satu bulan sekali, ayo jadilah orang yang memiliki saham atas tegaknya (kembalinya) al-aqso, dan menjadi bidan dari khilafah rasyidah. Allahu Akbar!

Semoga tulisna ini bermanfaat. Maaf nama-anama yang saya sebutkan, maaf juga untuk nama-nama yang tak saya sebutkan, mohon maaf atas segala khilap.

Satu kata penutup ini menjadi pelipur lara saja: Jangan bunuh karakter seseorang dengan membandingkan ia dengan orang lain. Karena setiap orang telah Allah bekali dengan karaker masing-masing. Cukplah Allah jadi penilai. Sebaik-baik manusia di sisi Allah adalah yang bertaqwa.

Penutup untuk diri sendiri sepertinya. Haha yang sudah dibandingkan. Wew ah. Az (13/04/15)