Minggu, 02 Agustus 2015

SALMAN, MENCINTAI KARENA ALLAH

Ku ikhlaskan siang pergi, pun mentari tenggelam Karena… Malam kan datang menjelang, juga bintang bersinar membersamai Lalu hatiku akan damai dan lelap Kesepian bagiku adalah munajat. Tuhan... Memberiku janji Pagi kan hadir kembali untuk tumbuhkan harap dan cinta Salman Al-Faritsi, seorang pemuda Irak yang terlempar ke bumi Madinah. Sungguh mulanya ia putra seorang kaya terhormat, namun karena cintanya akan kebenaran dan ilmu sejak kecil ia telah terpisah dari keluarganya. Ia ikut serta dalam sekelompok pedagang yang kemudian menjualnya menjadi seorang budak pada seorang penduduk Madinah. Apakah ia hina sebagai budak belian? Tidak, sebab cintanya pada kebenaran dan ilmu itulah, ia tetap laksana teratai di permukaan kolam. Indah dimanapun ia hidup dan berbunga, entah selokan kotor nan bau atau danau biru. Sepenggal kehidupannya yang mulia karena kecintaan pada ilmu itulah ia mendapat hidayah islam hingga menjadi anshar yang berbudi. Menyambut Nabi Allah yang mulia dengan sukacita. Suatu hari ia mengundang sebuah cinta pada seorang wanita. Ia telah terbebas dari perbudakkan oleh kebaikan dan cahaya Islam. Sehingga hak baginya untuk mengkhitbah seorang wanita yang akan ia jadikan istri. Begitulah cinta, datang selalu satu paket dengan ujian, likunya tak selalu mulus sesuai yang kita inginkan. Wanita itu tidak berkenan. Bukankah Salman seorang yang salih? Kurang apa padanya hingga wanita itu menolaknya? Ia telah begitu siap, mahar ditangan, tinggal berikrar saja. Penolakan itu terasa lebih menyakitkan, ya lagi-lagi, karena wanita itu menerima sahabat seimannya Abu Darda, seorang anshar pula. Jika ia bukan seorang Salman, tentulah engkau akan merasa sangat disakiti dikhianati oleh sahabat sendiri. Oh lalu timbullah perasaan membandingkan: memperhitungkan lebih dan kurang, kelebihan dia dan kekurangan diri hingga terperosok pada kufur akan nikmat. Tapi tidak dengan Salman, ia merelakan gadis pujaannya, hasil istikharahnya itu menjadi bunga untuk sahabatnya sendiri. Kau tahu apa yang dilakukan Salman? Ia memberikan seluruh mahar yang telah ia siapkan untuk sahabatnya. “Tidak mengapa sahabatku, gunakanlah harta ini untuk maharnya,” ungkapnya begitu tulus. Luka dihatinya ia sembuhkan dengan pengakuan dan kerelaan. Terpujilah sahabat yang salih ini, semoga Allah kini membersamai Salman dengan bidadari bermata jeli yang dijanjikan di akhirat sana. Lalu, tidak sampai di sana ujian untuk Salman. Saat dilihatnya ada garis kekecewaan pada wajah wanita yang dulu ia cintai, ia begitu resah. Lantas ia bertanya, apa yang terjadi dengan rumah tanggamu wahai wanita yang tengah muram? Wanita salihah ini mengeluh tentang rumah tangga dengan Abu Darda, ia berani mengeluh karena Salman adalah sahabat suaminya, akankah Salman bisa menolong? Wanita salihah yang ia cintai mengalami kegoncangan rumah tangga, karena Abu Darda lebih memilih banyak beribadah dibandingkan menyempatkan waktu untuk keluarganya. Apakah Salman mengambil ini sebagai kesempatan? Sebentar, kita tengok kepada kenyaatan kini. Masih adakah jaman saat ini yang tiada tergoda saat pujaan hati yang dulu, kini datang menyapa dan bercerita tentang dirinya? Ia datang mengeluh tentang keluarganya, ia datang mengeluh tentang hubungan yang hampir rapuh. Ada kebiasaan buruk sekarang kini, tak kurang bodoh dari keledai. Kemungkinan itu adalah menertawakan dia hingga puas, siapa suruh kamu tak memilih aku dan bla…blaa… kemungkinan kedua adalah mencari celah untuk kembali dengan mengatakan, “Sungguh bodoh engkau mau diperlakukan demikian oleh dia, sungguh ia telah menyia-nyiakanmu, mari kembali bersamaku dan tinggalkan ia yang tak mengerti kamu…. Ah, ini keterlaluan untuk seorang sahabat. Ada kemungkinan ketiga yang lebih manusiawi tapi menyakitkan adalah mengatakan: itu masalahmu, bukan masalahku. Mengapa engkau memintaku menanggung masalah yang aku tak mau tahu bagaimana cara menanggungnya, pergilah sejauh-jauhnya. Aku berlepas darimu. Tapi ketiga kemungkinan itu tak berlaku untuk seorang Salman. Teramat baik budi pekertinya, betapa jernih cintanya pada Abu Darda dan wanita itu. Abu Darda adalah sahabatnya yang ia cintai, wanita itu pula adalah wanita salihah yang ia kasihi. Ia menunduk terpekur, apa yang harus ia lakukan agar rumah tangga mereka bahagia sentosa. Sungguh pemikiran yang bersih lagi indah. “Baiklah aku akan berusaha,” ujarnya. “Sore nanti aku akan berkunjung ke rumahmu.” Salman berusaha mencari cara. Sore itu Salman berkunjung ke rumah Abu Darda yang disambutnya dengan gembira. Dengan hati-hati Salman meminta, agar ia bisa menginap di kamar Abu Darda yang kini lebih terlihat seperti mushola dibandingkan sebuah kamar. Abu Darda keberatan, tapi sungguh hati seorang beriman, demi saudara tercintanya, ia mengijinkan permintaan Salman yang tidak biasa tersebut. Saat malam telah menjelang, dan mereka selesai menunaikan salat isya, kemudian berdiskusi tentang agama. Abu Darda meminta Salman tidur lebih dahulu karena malam mulai beranjak larut, “Tidurlah saudaraku, hari sudah malam. Biarkan aku bermunajat kepada Allah terlebih dahulu,” “Demi Allah,” jawab Salman. “Aku tak akan tidur selamanya jika engkau tidak tidur bersamaku, sekarang.” Abu Darda terkejut, “Jangan engkau berkata begitu wahai Salman sahabatku, takutlah kepada Allah.” “Aku tak akan mencabut ucapanku wahai sahabatku, hingga engkau mau sama-sama tidur bersamaku.” Akhirnya Abu Darda pun ikut tidur bersama Salman. Saat malam turun, Abu Darda bersiap bangun untuk melaksanakan salat tahajud. Namun Salman lantas mencegatnya, “Hendak kemana sahabatku, hari masih sangat malam, tidurlah lagi di sisiku, masih ingatkah engkau ucapanku tadi sebelum tidur?” Dan Abu Darda mengalah ia kembali berbaring di sisi Salman. Saat waktu subuh akan semakin dekat, Salman membangunkan Abu Darda, “Bangunlah sahabatku, sesungguhnya sisa malam masih ada. Mari salat tahajud bersamaku.” Dengan keadaan segar bugar mereka segera bersuci, dan berdiri mengangkat tangan sembari takbir, lalu rukuk dan sujud mengagungkan asma Allah. Saat pagi telah datang, Salman disuguhi hidangan yang sangat lezat oleh istri Abu Darda. Sate kambing guling, roti yang lembut nan empuk, gandum yang putih telah ditanak dengan matang dan hangat. Adalah kebiasaan bangsa Arab memuliakan tamu, bahkan ada kisah Arab miskin yang menjamu tamu dalam kegelapan. Agar yang dijamu tidak sungkan dan tidak kecewa, dan si penjamu bisa berpura-pura ikut makan padahal tidak. “Silahkan makan sahabatku,” kata Abu Darda dengan wajah yang cerah, ia tak lagi pucat. Tampak lebih bersinar, mungkin karena tidur yang cukup. “Mari,” sambut Salman. “Tapi maaf saudaraku, aku telah berniat berpuasa,” jawab Abu Darda. “Demi Allah sahabatku, aku tidak akan pernah makan lagi, jika kau tak menemaniku makan sekarang.” Abu Darda terkejut, “Jagalah ucapanmu wahai Salman.” Serunya sedikit marah. “Ayolah makan bersamaku, agar aku bisa mencabut ucapanku.” pinta Salman. Abu Darda membatalkan puasanya, ia bersama Salman makan dengan lahap. Istri Salman melihat dibalik hijab dengan senyuman yang merekah. Selesai bersantap, Salman berpamitan. Namun sebelum keluar ia berpesan dengan sangat bijak. “Wahai sahabatku, sesungguhnya ada tiga hak dalam dirimu yang harus kau tunaikan. Jagalah ia, agar semua terpenuhi. Hak itu adalah, hak untuk Tuhanmu, hak untuk keluargamu, dan hak untuk dirimu sendiri.” Kemudian Salman berlalu dengan pengharapan Allah membuka dan memahamkan Abu Darda akan pesannya. Abu Darda seorang lelaki beriman, merasa jika ia melakukan semua ini karena Allah, lantas mengadukan perbuatan sahabatnya ini kepada Rasulullah. Ya, Abu Darda bukan ingin menghakimi Salman, ia ingin mendapat penguatan dai pesan seorang sahabat itu. Kemudian Rasulullah bersabda: Benar kata Salman. Semenjak itulah keluarga itu kembali sentosa, dan cinta sejati dihati Salman terus mencari tempat untuk ia tebarkan dalam kebaikan-kebaikan yang tak henti. Apakah kau dapati secuil saja kebencian dihati seorang Salman yang merelakan wanitanya dinikahi oleh sahabatnya? Tidak. Ia simpan luka itu dan ia bungkus dengan hati-hati dengan cintanya kepada Allah. Oh, inikah cinta kerana Allah itu? Ya benar saat cinta ini menjadi jalan kebaikan untuk ia yang kita cintai, bukan melukai apalagi membenci. Saat seseorang berjiwa besar terluka, ia bangkit dengan kebesarannya dan berkata: Sesungguhnya aku tak rela engkau bersamanya, namun jika dengan itu engkau bahagia, maka aku ridha. Betapa tulus ucapan itu, ia dimulai dengan pengakuan yang agung, jujur tanpa beban. Jika sebagai seorang manusia biasa, ia memiliki perasaan tak rela cinta yang telah dijaganya berlalu begitu saja, ini sangat manusiawi! Namun tidakkah kita melihat ucapan keduanya? Atas nama Allah yang ia percayai dalam jiwanya: Ia ridha dengan ketentuan Tuhan, dengan melihat cinta yang ia jaga bisa bahagia dengan pilihannya. Inilah point beriman kepada takdir Tuhan, keiklasan. “Telah dikhiaskan kepada manusia cintanya kepada apa-apa yang diinginkan, berupa wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, pera, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah lading. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (surga),” (QS. Ali-Imran: 14). Ya Rabb, jadikan hati ini lebih-lebih-lebih condong dalam mencintaiMu dan kehidupan akhirat dibandingkan dunia. Jadikanlah cinta ini sebagai wasilah mendapat cintaMu. Himpunkan kami dalam naungan kasih dan curahan rahmat dan ampunanMu. Jangan tutup hati kami, jangan sumbat pendengaran kami, jangan butakan penglihatan kami dari memahami dan mensyukuri atas segala nikmat yang Engkau curahkan pada kami. Jangan timpakan pada kami hati yang sakit, yang kemudian Engkau tambah-tambah sakit itu menjadi dalam dan dalam di hati kami. Sesunguhnya Engkau Allah, Rabb Yang Maha Lembut, maha penjaga hati kami untuk tetap hidup. Hidupkanlah hati kami dengan cintaMu. Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar