Selasa, 12 Mei 2015

Tamu Masa Depan

"Saat usia ibu 22 tahun 8 bulan, ibu memutuskan untuk berdiri," ucapku memulai cerita.
"Apakah selama ini ibu hanya duduk-duduk?" tanyanya heran.
"tentu saja, ibu tidak duduk jika Allah tak hendaki, nak. Ibu duduk karena belum siap. Di usia itu ibu merasa siap, karena kuliah hampir selesai, dan tuntutan untuk lain hal telah tuntas."
"bagaimana ibu berdiri dan ayah dapat melihat ibu?"

Aku tersenyum, anakku terlahir sebagai anak yang kritis dan jenius. Tentu kekritisan ini dari Ayahnya.
"Apakah kamu dapat melihat cahaya dengan jelas di siang hari? Tat kala ada matahari?"
"Tentu tidak, apalah artinya.."
"Begitulah, ayah menemukan ibu saat malam itu ada satu cahaya saja."
"Apakah cahaya itu milik ibu?"

Aku lagi-lagi tersenyum.
Mengingat rangkaian masalalu, yang mungkin saja saat ini terasa misterius.
"Ayahmu orang yang baik, pekerja keras, bisa melihat masa depan dengan jelas, walau pun saat itu posisi ia tak jelas."

"Ibu, apakah ayah pun adalah cahaya. Dan ibu bisa menyambutnya waktu itu?"
 Aku ingin tertawa. Tapi niatku diurungkan, tentu saja karena anakku ini bertanya dengan mata serius.
"Tentu. Ayahmu seperti bulannya saat malam, sedang ibu hanya kunang-kunang betina, yang cahayanya hanya cukup untuk menerangi diri sendiri."
"Aku ingin seperti ayah." uacapnya semangat.

Aku memeluknya, terharu. Ya, tiada kebahagiaan yang Allah karuniakan sebagai penghapus duka selain buah hati dan keluarga yang mencintai.

Tetiba. Anakku melepaskan pelukannya, berlari, dan berteriak"Abbu...!"

dari kejauhan pula kulihat samar-samar, seorang lelaki yang dipanggil abu oleh seorang putra yang tadi memelukku, dan mengaku sebagai anakku, berdiri tegak sempurna.

Mataku yang kabur, dan pendengaranku yang terbatas, tak sampai menerka dengan tepat. Mereka menjauh dan masuk kekehidupanku masa kini. Aku semakin samar, dan bayangan mereka gelap.

Ia adalah suami terbaik.  Entah siapa.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar