Kamis, 02 April 2015

Setelah Menunggu

Hujan telah turun, dan lembah bukit basah. Rumput bergeliat, biji bijian gembira, sebentar lagi, hijau jadi warna dominan.

Aku duduk di depan notebok, menerawang isi hatiku. Apa yang tengah berkecamuk ini? Mengapa rasanya perih sekali? Apa yang tengah terjadi?

Terkadang cerita hidupku yang amat panjang menyiksa sebagaian mimpi yang juga belum kugenapkan.

Ada lagi tentang tulisanku, sebuah novel yang kuendapkan, daun subuh dan gerimis, telah peroleh pencerahan. Akhirnya benar, kutemukan satu titik yang mulanya aku hanya anggap ada di dunia fiksi. Sudah siapkah aku tuliskan lagi?

Aku tak mampu. Tak mampu menuliskannya hari ini, dengan hati yang masih lebam, mungkin 3 bulan nanti akan mulai kurangkai. Tetapi.. buat apa? Buat apa menyimpan sesuatu yang menyakiti pembaca sekalian?

Aku harus menarik lagi, hanya jangan terburu-buru menentukan akhirnya, apalagi setelah malam ini kuketahui, bahwa ada semacam "konfirmasi yang belum juga clear".

Mengapa aku pandai sekali bermain peran di sana, dengan tertawa dan berkata ringan-ringan...

Tuhan, jika saja aku bisa meluruskan jalan yang bengkok, aku ingin jalanku tak pernah menyimpang pada hati yang sulit.

Tuhan, jika saja hati ini terlalu lelah, aku memohon padamu kuatkan lagi, hingga akhir nanti, aku tersenyum dan berkata: ini hikmahnya.

Mengapa terkadang ketulusanku akan sesuatu hal seolah tiada artinya sama seklai? apakah ini berarti aku tak pernah tulus?

mengapa terkadang keikhlasanku akan sesuatu hal, seolah tiada harganya? apakah ini memang berarti aku tak pernah benar-benar ikhlas.

Kini dunia seoalh tertutup, aku tak mengijinkan lagi sesuatu merusak duniaku lagi. Mengusik hatiku lagi, tiada yang berhak.

Dan saat hujan telah turun, dan daun mulai bergeliat hijau, aku tak mengenal lagi siapa gerimis yang telah meninggalkanku, atau aku yang tak lagi perduli tentang musim yang akan terus berganti.........

Untuk sebuah kenanagan yang tak ingin dikenang, anakku, ini ibu menulis, dengan sesal yang tak ada dua. Maafkan ibu. Tak akan lagi begini, ini adalah akhir dari kata "aku percaya", tidak ada lagi selain melupakan dan berdiri pada kaki sendiri. Anakku... maafkan ibu.

Az. (2/4/15).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar