Aku ingin mengatakan kepadamu, kejujuran, bukan dusta. Bahagia itu Sederhana. Akan kubisikkan itu setiap pagi, dan engkau akan percaya, bahwa hati kita telah bahagia melalui cara-cara yang sederhana.
Minggu, 02 Agustus 2015
ROSELA
Aku masih percaya, menulis bisa meredakan segala gelisah dan menumbuhkan banyak sekali harapan. Rasa kehilangan, kepergian, rasa bersalah, penyesalan, keingin tahuan, kebencian, kebahagiaan, kebaikan dan kejahatan. Dalam waktu yang lama, menulis bisa menjadi semacam obat daya tahan.
Diapun percaya, sama sepertiku. Menulis ibarat sebuah jalan menuju pulau kebebasan. Menulis seperti berbicara dengan diri sendiri, tentang banyak konsep kebenaran-kebaikan-kebijaksanaan-keberpihakan-kecenderungan.
Dan setiap orang berkata padaku dan padanya untuk terus menulis. Ya, mungkin saja mereka khawatir, trauma masalalu membuatku dan nya gila, hilang kendali?
Mengapa semua orang meminta terus menulis? Apa yang harus kutulis? Apa yang harus kutulis? Apa yang bisa kulukis dalam kertas? Aku hanya bisa bertanya “apa yang harus kutulis?”
Sampai suatu masa ia baca sesuatu yang menghentakkan pikirannya, “bukan... sama sekali ini bukan soal: apa yang harus kau tulis, melainkan apa yang bisa kau bagi dan mesti dibaca orang-orang?
***
“Aku tahu perpisahan kita sebentar lagi, mungkin ini saatnya kita jujur satu sama lain,” ucapku padanya.
“Jadi selama ini kamu anggap aku berbohong?” bentaknya marah. Tidak terduga, ia mulai berburuk sangka.
“Bukan begitu, mungkin ada sesuatu hal yang kau sulit mengatakannya padaku, aku berharap hari ini kau bisa mengatakannya, aku sudah siap.”
“Maafkan aku...” ia menghela napas panjang-panjang. Aku menerka ia memiliki sebuah rahasia, dan ini waktunya aku akan mengetahui sebuah ganjalan di hatinya. Mari menyimak, ini waktunya menjadi seorang penyimak yang baik, bukan penyela. Siapkan diri, siapkan diri... aku tersenyum dan mulai meyakinkannya.
“Ayolah, ini sudah saatnya, aku tak tahu mungkin tak ada lagi moment terbaik yang akan kita miliki selain hari ini.”
“Baiklah, dengarkan aku,” ucapnya mulai tenang.
“Kau seorang penulis, emmm ya berbakat sekali menjadi seorang penulis!”
“Tidak,” bantahku.
“Tapi kau... memang berbakat...”
“Tidak, aku hanya bermain dengan diriku, aku bukan penulis,”
“Dengarkan aku Rosela...,” ungkapnya tegas. Aku segera insyaf jika aku tak boleh menyela. Baik, diamlah wahai diri, kau tak akan tahu kebenaran jika terus menyela orang lain.
“Kau berbakat menulis. Aku tahu semua orang sering kali berdecak kagum dengan tulisan yang kau buat, walau satu kalimat saja entahlah mungkin tulisan kau memang magis. Aku tahu itu, aku tahu karena kau menulisnya dengan sepenuh hati... kau menulis dengan hati, dan itu... bagus.”
Aku ingin menyela, tetapi aku merasa, bukan ini yang ingin ia ungkapkan. Baikalh tetap diam.
“Kau menulis dengan hati, dan semua tulisan itu pasti berasal dari hatimukan? Tapi rosela bagiku sering kali kau menyakiti. Orang-orang terdekatmu tahu semua isi tulisanmu, dan beberapa tulisanmu seolah-olahah... sudahlah, aku tak pandai berkata-kata.”
Aku menggigit bibirku. Sepenuhnya aku yang menguasai aku. Jangan bereaksi apapun. Tenag dulu... tapi yang ia katakan, yang ia katakan...
“Rosela, kau pandai sekali menulis, kau mampu membuat semua orang setuju dengan pikiranmu, kau mampu membuat yang salah seolah-olah jadi kebenaran dengan polesan sedikit argumentasi dan juga perasaanmu. Aku tak tahu, dari sudut orang lain kadang yang kau tulis seperti membela diri... aku hanya meminta, kau tulis semua dari hati dengan hati, tapi tolonglah jangan tulis semuanya...”
Aku semakin sakit, jiwaku sakit, tapi bibirku terkatup, ada dalam pikirabku yang berkecamuk, tetapi... bukankah aku yang mengatakan telah siap?
“Rosela, tulisanmu akan dibaca semua orang. Apalagi kau sangat senang sekali mempublikasikannya, bahkan yang amat pribadi sekalipun, iyakan?”
Sudah cukup, aku ingin menyela. Ijinkan aku menyela...
“Hanya itu saja Rosela. Apa yang aku ingin utarakan sejak dulu, kini kau sudah mendapatkannya. Aku tak bermaksud menyakitimu, aku sayang padamu.”
***
Perpisahan itu tak terelakkan, aku tak tahu bagaimana bentuk perasaannya menahan gejolak atas semua tulisanku. Ya mungkin bukan hanya dia yang tersakiti saat aku menulis, aku telah menulis nama-nama dalam cerita, dan nama-nama itu menggugatku... bukan nama-nama itu menghakimiku dalam diamnya. Banyak nama itu merasa tersakiti? Bagaimana aku ingat tentang naima, nurul, tiara, laila, ilalang, john, habib, niza, dan tentu rosela....
Sejak itu, aku memutuskan untuk tidak lagi menulis. Aku tak ingin ada yang tersakiti.
***
Ayo menulis lagi, aku dan nya hanya tersenyum ketika orang-orang berteriak di gendang telingaku dan nya untuk menulis.
Bagaimana jika menulis membuatku menyakiti orang lain, bukan mencerahkan orang lain?
Gumamku suatu malam.
Siapa yang tersakiti hemm? Apakah niatmu menulis untuk menyakiti nama-nama?
Tidak.
Lalu jika satu kali ada satu dua orang yang merasa sakit hati dengan tulisanmu, apa kau akan langsung berhenti?
Aku tak tahu, dia orang yang aku cintai, ia telah jujur padaku.
Rosela, dengarlah. Pembaca itu hanya penebak-nebak, termasuk yang dekat yang jauh, kau hanya menghujamkan perasaanmu dan tulisanm mengalir, lalu apa salahnya kau menulis dan membuat pembacanya tersakiti atau terhibur atau tercerahkan? Kau tidak salah, kau berhasil, kau bisa membuat semua orang merasa terlibat!
Tapi, inspirasiku memang datang dari sekelilingku, aku tak bisa menampikkan semuanya!
Rosela, bukankah itu sesuatu yang pasti? Seorang pedagang pasti menulis tentang untung rugi perniagaan, seorang guru pasti menulis tentang apa yang ia kuasai, lalu kau? Sebuah kepastian kau menulis dari apa yang terdekat dan terjangkau.
Jangan bela aku! Aku tak ingin menulis jika menyakiti orang lain! lLebih baik jadi batu saja, batu yang tak bisa bicara, yang tak bisa bergerak, tak mencubit hati orang lain, tapi batu masih bisa jatuh dan terpecah-belah dalam ketakutan pada Allah... aku hanya ingin jadi batu saja.
Rosela! Tuhan telah karuniakan kamu akal sehat, mengapa kau menyalahi dirimu! Tidakkah engkau bersyukur dengan karunia itu? Mengapa kau menjadikan batu seperti pelarian?
Tidak, maksudku bukan pelarian, batu itu hanya umpama. Aku hanya ingin seperti maryam, yang kala ia melahirkan ia bergumam, sebaiknya aku menjadi pohon lalu mati dan terlupakan...
Sudahlah, susah berdialog dengan mu rosela! Kau terlalu membela diri, kau terlalu merasa benar dengan dirimu, kau terlalu menyebalkan dan keras kepala...
***
Akhirnya, semua orang menyerah memintaku dan nya untuk tetap menulis.
Ada dalam diriku yang hilang dan dengan sendirinya. Aku menghilangkan diri tanpa disadari. Menjelamakn diri seperti abu yang diterbangkan angin. Lalu pada ujung hayatku, rosela menjelma batu yang bisu dan tuli. Lenyaplah, 60 tahun hanya waktu singgah sebentar. Sedang beberapa helai tulisannya menjadi perbincangan, andai saja ia tak begitu... andai saja ia tak memiliki pikiran yang salah. Menulislah dengan hati, dengan kejujuran, dengan niat yang baik, pikiran yang baik, bacaan yang baik, maka akan lahir karya yang baik. Baik? Kata itu terlalu abstrak. Tapi kebaikan adalah sesuatu yang menenangkan. Jadi? Hm... Tulislah yang menenangkan. Tuhan semoga memberkati para penulis.
(Az, 22/07/15).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar