Minggu, 05 Oktober 2014

Apa kabar cinta dalam hatimu?

Aku melihat cinta seperti pelita. Menyala tenang terangi malam, terkadang angin berhembus dan hampir membuatnya mati, atau kadang juga angin mengobarkannya lebih nyala. 
 
Kini pelita itu kehilangan daya, habis kering sudah minyak yang menjadikannya sinar. Cinta itu hampir saja padam… jika saja.. jika saja… aku tak lantas menemukan Mu…


Aku bersyukur menemukannya dalam wujud lain yang berbeda, bukan sesuatu yang mulanya sangat ingin kuingkari pertemuannya. 
Pada mulanya engkau adalah bagian dari malam yang menjadikan hidup ini hitam, sikap yang ditunjukkan lebih banyak berseberangan, ideology yang hampir tak menemukan titik temu. Namun entah, karena itukah aku merasa engkau adalah tetesan lilin panas yang membeku di ujung jariku. Aku merasa panas dan tak mampu melepaskan rasa itu sampai ia dingin sekalipun.
Siapakah engkau gerangan?
Bukan sesuatu yang mudah untuk menemukan dan memutuskan engkau menjadi sesuatu yang “special”. Dimulai dari pengingkaran, rasa benci, dan berbagai penampikan…. Akhirnya hati sekejap berubah menjadi rasa nyaman, menghargai, toleransi, dan sayang. Ketika kelemahan itu muncul dihadapanku, tak ada lagi rasa ingin menunjukkan betapa lemahnya engkau, tersisa adalah kasih yang tiada batas untuk terus memaklumi…..
Benar saja, ketertarikan kita pada seseorang tak akan lama jika hanya didasarkan pada kelebihan, lantas apa yang membuat rasa tertarik ini begitu lama bertahan? Ya, menyukai karakter, menyempurnakan kekurangan dari diri masing-masing…
Jika diibaratkan engkau seperti sosok yang berkarakter jahat, dan jiwaku melihat kejahatan itu sebagai sebuah peluang untuk menjadi baik, begitulah aku menatapmu, engkau manusia yang baik, dan ada banyak peluang untuk terus kita bersama melangkah saling memperbaiki untuk terus jadi baik lagi baik dan terus memperbaiki sampai akhir.
Tapi kini, tapi kini… tapi kini, aku merasa telah semakin berubah, banyak yang berbeda dalam diriku sendiri… mungkin karena uban yang terus tumbuh akhir-akhir ini, usia renta atau pengikisan diri oleh waktu yang tak tentu…. Dalam mataku engkau pun berubah. 
“Bukan kita yang menghendaki perubahan, namun waktu yang memaksa untuk terus bergulir dan meciptakan perubahan-perubahan, kecil atau besar, terlihat atau tak terlihat, diduga atau tak terduga.”
Tak pernah berkurang perasaanku terhadap sesuatu, namun waktu memberiku pilihan, sesuai keyakinanku dan prinsif hidup yang harus kupegang. Rasa yang kumiliki tak hanya soal seseorang, melainkan juga tentang masa depan dan kehormatan (izzah).
“Kamu berhak terhadap sesuatu yang disukai, tapi hak itu tidak harus lantas menjadikanmu lemah. Hidup ini mesti realistis. Tak ada lagi Shah jahan yang membangunkan Taj Mahal untuk istrinya, jangan terus berangan, ini kenyataan.”
Dan rekahan harapan jadi satu-satunya hiburan, doa-doa tak boleh kering, akan selalu doa itu terus diuntai kelangit, dan jadi tangga untuk menemukan cinta Tuhan. 
Sejujurnya aku takut menuliskan semua ini, aku sangat ketakutan, tulisan ini akan mengubah pandangan seseorang terhadap kepribadianku. Namun menulis itu mesti jujur, tak boleh ada yang dikurangi satu senti pun. 
Belajar dari masalalu, bahwa setiap takdir yang terjadi selalu bermula karena keputusan yang gegabah, keputusan bersikap yang terlalu berani. Ya persis seperti menulis ini. Sangat berani, apalagi di media yang setiap manusia bisa mengaksesnya, membacanya, ada yang memikirkannya, ada yang mencibirnya, ada yang diam-diam menyimpannya, ada pula yang merasa satu perasaan, atau juga ada yang tak peduli dan bahkan tak mengerti…………….
Lalu sebaiknya bagaimana?
Aku mendiamkan semuanya, membiarkannya mengalir dan hanyut, lalu tak boleh ada kata::: baik berupa pernyataan maupun pertanyaan. Kita jalani saja, perlahan-perlahan. Jangan membuat riak diatas riak, dunia sudah cukup ricuh dan keruh…………
Adapun tentang jiwaku yang tak pernah kehilangan harap, ada penyerahan diri yang kuat. Tentang cinta yang mulanya kusadari sebagai sebuah fitrah, lalu kuhapuskan layaknya sebuah kesalahan, dan rasa takut yang begitu dalam… 
Diatas semua itu ada Allah, dan satu-satunya janji yang dapat kupercayai dari dunia adalah janji Allah. Barang siapa mengehendaki suatu kebaikan, hendaklah ia mempersiapkan diri untuk menerima kebaikan itu.
Allah, aku menghendaki sebuah keluarga dan keturunana yang salih yang terlahir dari rahim pendosa sepertiku. 
Adalah, satu-satunta tumpuan: Engkau yang mengampuni kelam masalalu, yang memberi jawaban dan menghapus keputusasaan dan kekhawatiran dari hati kami.
Biarkanlah cinta tetap mengalir, dan muaranya adalah Allah.
Siapalah aku, mampu mempertahankan dan menuntutmu untuk tetep menyimpan rasa?
Siapalah aku, aku tak akan mampu membuatmu merubah pikiran, perasaan, dan hati…
Sungguh hanya Allaah yang berhak membolak-balik, hatiku atau hati sesiapapun…
Adapun tentang hatimu. Akan kupahami sebagai sebuah miniature impian. Yang bukan lagi tentang aku didalamnya, melainkan tentang peradaban yang akan dibangun satu abad ke depan. Bukan?