Minggu, 02 Agustus 2015

ONE DAY, 2017

Seorang wanita dari sebuah bandara kota T, Lanud Wiriadinata, turun tanpa penyambutan siapapun, tanpa dijemput siapapun. Bandara ini sudah cukup sesak. Taksi berbagai perusahaan menawarkan jasanya. Wanita itu menjawab setiap tawaran dengan senyuman saja, sebuah basa-basi untuk menolak. Ia hanya ingin menyusuri kenangan. Kota T adalah kampung halamannya. Dua setengah tahun adalah waktu yang cukup lama untuk meninggalkan semuanya. Pergi menenangkan diri, niatnya waktu itu. Dan satu-satunya alasan adalah menuntut ilmu. Ia berjalan cukup lama, koper berisi beberapa helai baju dan buku-buku ia sorong. Di stopnya angkot 01. Jalanan cukup basah, hujan turun perlahan. Ia buka kaca jendela, agar satu dua rintik bisa menyentuh jemari mungilnya yang gigil. Sepanjang perjalanan itu, tiada percakapan. Ia sibuk menelusuri pikirannya sendiri. Diangkot ini dulu waktu tingkat 1, pelbagai kehidupn telah dilalui. Saat pertama mencari kostan, berteman dengan sebuah geng, geng yang aneh dan lalu berpisah, lalu jatuh cinta, terluka, menjadi mahasiswa yang sok sibuk dan sok kritis, skripsinya yang lama dan tak kunjung usai karena ditengah pata hati, terlambat lulus, dan ah semua kenangan itu... dan orang-orang itu. “Turun dimana Neng?” Dia terkejut dengan penyambutan kata “neng”, hanya ada beberapa orang yang memanggilnya “neng”... itu pun beberapa lainnya memutuskan kembali memanggil nama setelah melewati beberapa kejadian. Mang angkot ini, telah mengembalikan satu dari sekian kenangan, melalui kata... “Neng, hei?” “Iya mang, emmmm Dadaha!” Dulu, seorang dosen sering mengejeknya, bukan mengejek tapi “mungkin” hanya bercanda tentang “Cinta di atas langit Dadaha”, bukan 99 cahaya di langit erofa? Sore ini memang waktu yang pas untuk sekedar duduk di taman Dadaha yang konon katanya sudah dibangun dengan desain yang wah. Berita yang selalu ia ikuti di luar sana, yang lebih menarik dari berita menikahnya princess, atau revolusi dalam negeri, ya itu perkembangan kota ini. Aku membayangkan air mancur yang tinggi, sekelilinggnya koi berenang dengan indah, bunga merah hijau kuning orange atau putih bermekaran. Ini musim semi jika di Jepang, apakah di kota T bisa pula bersemi. Aku berharap yang bersemi bukan hanya bunga, juga hatiku yang lama mati. Ah, aku ini lebai saja... Handphone di saku mantel panjangku bergetar, sebuah pesan masuk, “Selamat datang kembali di kota T, ditunggu di kampus kebanggaan ya.” Aku tahu orang ini salah satunya yang sering memaksaku untuk berbagi cerita, semuanya. Bahkan ia masuk ke daftar orang menyebalkan di beberapa tulisanku, tapi penyambutannya hari ini amat kusukai. Seolah-olah ia membuka pintu rumah saat aku berada di halamannya, seakan-akan ia membuka kedua lengannya saat aku tak tahu harus bersuara ke siapa, ia membuka dunia lama dengan baik. Bagiku sekarang dunia baru. Angkot 01 berhenti, aku dulu sering naik becak di sini. “Neng sudah sampai.” Aku tersenyum, sepatu tinggiku memaksaku membungkuk keluar dari angkot. “Awww,” aku merasakan sakit sekali dibagian kepalaku. Rupanya rambut lurusku menyangkut dikaca-kaca jendela yang tadi sengaja kubuka. “Kenapa neng?” Mang angkot kaget melihat aku meringis, menahan sakit. Sejak kepergianku dua tahun lalu, dan semua luka yang kubawa pergi. Aku memutuskan membuka jilbabku, menjadi orang lain di tempat baru, dengan jeans ketat yang kugunakan, dibalik mantel yang hampir menyentuh lututku, juga hihghills membuatku 10 cm lebih tinggi. “Tidak apa-apa Mang.” Aku menyodorkan uang pecahan sepuluh ribu, entahlah ongkos sekarang berapa. Sejak krisis ekonomi tanah air naik turun, aku tak peduli lagi tentang harga-harga, bagiku yang penting aku masih bisa beli, mungkin itu pikiran yang amat berbahaya? Mang angkot siap mengembalikan lebih uangku, tapi melihat kebaikan dan kenangan itu, aku memutuskan tersenyum saja. “No Mang, gak usah, buat Mamang aja.” “Enggak Neng, ini buka haknya.” “Buat Mang aja, sedkit kok.” “Enggak Neng, ambil saja.” Ia menyorongkan uang itu, “Buat Neng yang baru sampai di kota ini, berhati-hati ya...” Aku tertegun, entah apa yang terjadi dengan kota ini, mungkin kembali jadi kota santri? Atau justeru pesan mang angkot ini memberiku tanda untuk hati-hati karena situasi kota yang rawan? Entahlah. Hawa dingin menusukku, sore hari meniupkan angin yang dingin sampai sumsum belakang. Aku menyorong kembali koper, rintik hujan menemaniku. Dramatis! Aku berharap ada seseorang dari masa dulu yang bisa kukenal dan kuajak diskusi tentang “apa kabarnya?” “Neng, beca?” Mang ini, memanggilku, ah masih juga dengan kata: neng... Mungkinkah hanya orang baru yang memanggilku neng? Aku menangguk, syal yang menutup leher dan mulutku menahan pandanggannya dari melihat sungging senyumanku melihat mamang ini. Mamang ini dulu sering mengantarku ke pusat belanja, sewaktu tingkat 1, mahasiswa baru yang tak tahu arah. “Mang, antar ke taman ini ya.” Mang beca mengerutkan keningnya, “Neng taman ini sedang ditutup.” “Kenapa lho kok?” “Ada pembunuhan dua hari lalu.” Aku membayangkan seorang perempuan tergeletak bersimbah darah. “Seorang anggota geng motor dikoyak-koyak, mengerikan.” Bayanganku rapuh dan pudar, bukan perempuan luka yang mati, tapi seorang geng motor? Entahlah anganku kembali plong, hatiku merasa lebih ridho jika orang seperti itu yang meninggal. “Pemuda itu baik, tapi entahlah mengapa ia gabung di geng motor itu... ia seorang dosen muda, semua orang tidak menyangka.” Aku diam, dan membayangkan seseorang yang mungkin kukenal. Seorang dosen muda, apakah seorang penyair? “Dia penyair, musisi, pelukis, budayawan... hidupnya diabdikan untuk seni dan budaya, sampai-sampai lupa menikah. Tetapi sayang ia meninggal di usia muda, ah bahkan sebelum ia genapkan...” “Mang tahu dekat?” “Minggu ini minggu yang menyedihkan buat Mamang, dia baik, sekali lagi baik, tiap minggu ia akan mampir di warung susu murni di dekat pangkalan. Memesan satu dua surabi, dan bercerita banyak hal kepada kita yang tak tahu apa-apa tentang pendidikan dan negara. Tapi sudahlah, itu takdirnya.” Aku tertekan, dosen muda, belum menikah, penyair, musisi, pelukis? Apakah dia yang dulu juga pernah mampir di warung dekat organ jantungku? Hah! Tidak mungkin, jika iya berita itu pasti sudah sampai. Aku melirik hp canggihku, oh aku lupa belum mengaktifkannya sejak tiba di tanah air. “Mang belok dulu Mang, warung cell.” Aku membeli kartu data, dan memastikan hp canggihku, penghubung seluruh isi dunia, menyala kembali dengan rentetan bunyi notif. “Jadi mau kemana Neng?” Aku tertegun sesaat ketika duduk di jok beca. Kemana ya? Aku ingin singgah di sini sebnetar sebelum memutuskan pulang ke rumah. “Hem.... Warung lesehan saja mang!” Perutku lapar, dan gerimis sore telah membuatnya terasa sempurna, lapar akut. Aku rindu makanan tanah kelahiranku, rasa pedas yang memanggang lidah, atau lalaban yang hijau dan sambal yang segar. Tapi rasa penasaranku tentang si terbunuh membuat semuanya terasa tidak enak algi... Aplikasi line ku berbunyi, aku lirik, teman semasa kuliah. Mengabarkan berita duka cita... tentang sahabat kami yang terbunuh. Aku terhenyak. Dugaanku? Dua tahun setengah, aku pergi mengejar impian masterku di negeri jiran. Sembari mengobati luka hati yang kuderita. Kini kembali dengan hati yang lebih siap, dengan harapan yang masih menggunung, juga sepucuk rindu yang tak pernah diperlihatkan... namun, apalah artinya itu? Jika selama itu aku membohongi jiwaku? Dan takdirku terus bergerak, mengambil semua yang kucintai? Dugaanku? Bukan berita itu yang melukaiku sampai berpikir ulang tentang sesalnya niat kepergianku, tapi satunya lagi. Aku bersyukur saat terbunuh itu adalah A, dan bukan B. Hah, benar orang-orang baik selalu meninggal lebih cepat. Berita selanjutnya, masih dari teman semasa kuliah. “...dalam walimatul ursy B dan C...” Aku mengatupkan bibirku, menggitnya erat, menyibak rambutku yang mulai basah. Aku keluar dari becak, meninggalkan koperku, dan berjalan jauh ke tengah-tengah kota. Menjadi orang lain, bukanlah pilihan, cinta takkan kembali dengan menjadi orang lain. Rambutku merah? Mungkin Tuhan tak suka. Aku master dengan lulusan terbaik, menjadi hilang akal sehatku cukup dalam 1 menit? *** Rupanya yang berlari hanya pikiranku saja, aku masih mengotak-atik tuts keyboard notebookku. Guncangan pesawat tak menyurutkanku untuk tetap menulis, dasar kepala keras! Aku sering mengataiku sendiri dengan itu, bukan keras kepala. Hehehe. Ah! Keluargaku pasti sudah menunggu di bandara yang baru saja dibuka itu, bukan saja keluarga, kabar kepulanganku membuat si idaman hati, yang dua bulan lalu mengkhitbahku menyempatkan diri menyambut pula. Padahal ia sendiri sedang sibuk menyiapkan diri untuk turnamen di Sentul, Bogor. Dasar! Membuatku malu saja. Ia pasti datang dengan gayanya yang kontoversi. Rambut cueknya, mata tajamnya, dan pakaian koboi sekenanya, jauh sekali dari formalitas. Tapi entahlah, justeru nyaman melihatnya demikian. Seperkian menit lagi lepas landas, suara peringatan mengencangkan sabuk pengaman sudah berlalu. Aku berkemas, diluar sana titik hitam kepala (mungkin salah satunya kepala ibu), aku merindukan kota ini, kota yang segera memelukku dengan penerimaan seperti penerimaan ibu akan kembalinya seorang anak yang lebih memilih terus belajar daripada bekerja dan bersuami. Ah ibu, pilihan ibu, seorang pembalap ya bu. Az. (20/07/15)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar