Selasa, 15 Maret 2016

Yang Tercecer tentang LPDP (Tanya dan Jawaban)

Karena pertanyaan selalu butuh jawaban. Dan kebanyakan jawaban itu ada di dalam diri kita sendiri...
_Apa yang harus disiapkan untuk ikut program LPDP? + Siapkan diri dan keyakinan yang besar. Download panduannya, buat akun LPDP nya. Akun hanya bisa dibuat 1x pastikan ingat email dan paswordnya. Bila akun sudah ditangan, masuk (log in) lengkapi data pribadinya, setelah selesai klik daftar dan lengkapi datanya, mau daftar ke UNIV mana hei, prodi apa? _Apa yang harus saya sediakan sebagai syarat masuk LPDP? + Persiapkan semua berkas yang di syaratkan, 1. Surat rekomendasi 2 buah (ada formatnya di panduan LPDP). Minta kesiapa? Ke siapapun, boleh tokoh masyarakat, boleh tokoh di kampus misalnya direktur atau dosbing, boleh pak RT? Boleh. Yang jelas tokoh ini kenal kamu minimal 1 tahun lah.. dan tahu baik buruk kamu. Hehe (pilihlah tokoh yang ngerekomendasi itu yang sayang banget ke kamu, cielah). _Kalau sudah siap? + Scan dan pdf kan, lalu unggah dong. 2. Setelah itu kamu bisa sambil usahakan diri untuk dapat sertifikat TOEFL. Dari mana? Bukan nyuri atau toefl nembak ya, bisa ikut test di lembaga terpercaya, misal di ELTI Gramedia (iklan nih), untuk LPDP reguler usahakan dapat 500, afirmasi 400. Kalo merasa pas2an (kaya aku), ikut toefl preaparation, dan budgetnya juga lumayan 1,4 juta (sudah plus testnya ya), yah kalo mimpi ya kamu harus kejar, bisa pinjam dulu dari mana saja asal niat bayar dan halal, hemmmm atau kamu minta diajarin sama seseorang yang baik hati.. _Kalau sudah ada? + Tinggal scan dan upload juga dong. Selanjutnya kamu urus SKCK dan SKBN dan SKS, kalau afirmasi urus juga surat SKTM. -Apa tuh? + SKCK (kasih tahu gak ya, kalo gak salah surat keterangan catatan kepolisian), dari mana dapatnya? Dari kapolres, kalo sudah ada tapi kadaluarsa dari polsek saja perpanjang. Syartanya apa? Datang ke desa bilang mau buat SKCK, lalu ke kapolsek, lalu ke kapolres. Bawa apa? Asli dan fotokopinya: KK, KTP, Foto 4x 6 10 buah atau lebih, hehe, dan uang). _Kalo SKBN? + SKBN (surat keterangan bebas narkoba) dari mana perolehnya dari RSU bisa, tapi aku rekomendasi ke kapolres saja (ingat ya kapolresnya harus yang sama dgn domisili kamu, termasuk SKCK juga). Apa syaratnya: FC KTP, foto 4 x 6 (4buah), dan uang 125rb kurang lebih. Kalo SKS (surat keterangan sakit, eh sehat) kamu minta aja ke puskesmas yah, biar gratis eh bayar 20rb sih, atau dokter yang buka praktik. _Aku ikut afirmasi, SKTM gimana ya? +SKTM (surat keterangan tidak mampu, tidak mampu melupakanmu, yailahhhhhh), datang aja ke desa, bilang mau buat SKTM lalu dirujuk deh ke pak camat... _ada lagi? + Ya ada, kamu scan semua sertifikat yang dianggap oke, lalu perkecil ukurannya dengan cara uplaod di Fb lalu unduh lagi (wkwkkwkw) dan semuanya pdf kan ukuran maks 1mb. Zaman lalu aku dibantu sama seseorang nih masalah ini, thankyu sekali. _Selain itu ada lagi yang amat penting? +Wah iyah, jangan lupa kamu buat esai 3 buah dan maks 700 kata. 1) tentang studi plan kamu, 2) tentang sukses terbesar kamu 3) tentang kontribusi kamu buat indonesia. Jangan lupa konsultasikan ke orang lain ya tentang tulisan kamu ini, biar lebih bagus, hubungi saja dosen kamu atau ya seseorang yang sayang kamu... _Oke deh, aku kayaknya udah siap segalany anih, ada lagi? + Bubuhi surat pernyataan LPDP (ada di panduan), surat bayar listrik di scan juga (kalo prabayar buat surat pernyataan), slip gaji ortu/suami, dan surat izin belajar dari atasan (kalo udah kerja). _Setelah itu sudah? + Buka akun kamu, klik daftar, terus isi semua pertanyaannya, karena lumayan panjang ngisinya, termasuk aktivitas kamu, daftar sertikita prestasi dan sebagainya.. lalu upload semua berkas tadi dan kamu tinggal submit semua data, slinggg terkirim, dan kamu udah daftar LPDP. _terus? + Tunggu pengumumannya, lihat di jadwal tanggalnya, dan banyak berdoa, saum sunnah, shalat malam, minta yang terbaik, dan banyaklah sedekah, (wah jadi ustadzah). _walah ribet banget ya, males ah! + Ya, kalo cuma dibaca dan dipikirkan saja dikepala ribet banget, tapi kalo kamu jalani satu persatu, kamu bakal kaget karena tiba-tiba kamu begitu bisa dan mampu lewati segalanya. _yah, nanti yah, aku save aja percakapan ini, tapi ya nanti ah praktiknya, abis aku banyak yang belum... +Terserah kamu, tapi kamu bakal nyesel kalo menunda, lebih baik kamu lakukan apa yang bisa kamu lakukan saat ini, misal bikin esai... _Oke deh, tapi bantu aku ya? +ya, apa yang bisa aku bantu? _Jelasin giman cara aku daftar LPDP! +Sengkklek! Tahu ah. Hehehehe.... ‪#‎BolehShare‬, ‪#‎bolehcopas‬ ‪#‎bolehketawa‬ ‪#‎Bolehgaksuka‬ ‪#‎BolehMiris‬

Jumat, 11 Maret 2016

Sepenggal LPDP (Catatan 3)

Bagaimana wawancara LPDP? Memakai bahasa Inggris atau tidak?
Sebenarnya tergantung PTN yang kita tuju, kalau misalkan PTN nya LN (luar Negeri) ya otomatis kita akan dijajal dengan kemampuan bahasa asing. Walau begitu, kadang yang universitas tujuannya dalam negeri (DN) sekalipun, sering ada penguji yang menggunakan bahasa asing, mungkin untuk menguji mental pelamar, atau ya untuk mengetahui kemampuan bahasanya, apakah ia siap dikirim ke LN? Jadi teringat, sebelum berangkat, lagi-lagi Mr. D memberi saran, “Kalo ada pewawancara yang bertanya siap atau tidak jika kuliah di LN, jawabnya “iya” yah!” Waktu itu masih protes? Kenapa harus iya, kan kalo gak mampu bisa repot sendiri kan? Bahasa itu bisa dipelajari, kalo sudah dicemplungkan ke sana, masa gak bisa terus menerus? Kesiapan kita menandakan kita siap belajar. Mungkin itu maksud saran beliau... Jadwal wawancara ku cek di email LPDP, jelas menunjukkan pukul 09.30, yah berarti besok minimal jam 8 sudah harus berada di lokasi. Hari ini menginap di siapa? Pertanyaan ini beberapa hari lalu sudah diantisipasi. Seorang teman di GMT mengontak adik kelasnya yang kebetulan dekat dengan lokasi wawancara, katakan Teh Selma di Turangga. Jam 17.30. Hujan rintik-rintik. Abi dan beliau salah paham, abi menuju ke kostannya, eh beliau malah menjemput abi di GKN, akhirnya gak ketemu dong. Bingung juga, harus turun di jalan Turangga. Dan ternyata turangga ada 2, barat dan timur, sebelah mana ya? Tepat ketika adzan tiba, abi menemukan petunjuknya, berhenti di jalan Turangga no sekian, dan tanyakan kosan bu popon, masuk saja ke kamar karena gak dikunci pesannya. Ternyata oh ternyata kosan bu popon pun ada 2, dan abi tersesat di kostnya bu popon yang salah, walau tak apa karena di sana malah kenalan dengan teh Selva. Teh selma mencari-cari, padahal sebelumnya kita ketemu loh, waktu beliau parkir motor dan abi menanyakan arah kiblat untuk solat magrib (solat di kamar teh selva) karena teh selva sedang ke luar sebentar. Waktu itu teh selma jawab dan anteng saja, tidak peduli abi kok nanya arah kiblat, kaya orang baru... Selesai solat teh selva datang, dan teh selma terus menghubungi via WA dengan kepanikan luar biasa, takut abi salah kosan salah kamar dan sebagainya... akhirnya kesalah pahaman terurai. Teh selma menjemput ke kosan teh selva, balik lagi.... Loh kok malah bahas orang tersesat ya, yang jelas di kamar teh selva dan teh selma abi melihat daftar buku yang abi inginkan... Dunia sofi 1 dan 2... dan sebagainya.... Alhamdulillah dapat beristirahat. Sedikit banyak cerita dengan teh Selma, sebelum tidur berbagi banyak hal, mencari solusi dari beberapa masalah sehari-hari. Beliau sebagai seorang akuntan mengamini, kesamaan harta dan ilmu = jika harta atau ilmu berada pada orang yang salah, maka ia akan membawa kerusakan yang lebih signifikan. Maka pastikan ilmu dan harta dikuasai oleh orang yang beriman. Esok harinya, abi dapat informasi dari seorang ibu yang sudah lebih dahulu di wawancara (beliau s2 entah s3 farmasi di UI), bahwa rangkaian wawancara adalah menguji kemurnian karya tulis (3 esai yang kita tulis), baiklah sambil gulutak-gulutik dibaca lagi esai-esainya, studi plan, sukses terbesar,dan kontribusi. Selesai baca karya tulis, dilihat lagi tulisan data diri, di dalami, mana yang diupdate, reviewer pasti mengenali kita lewat data diri kan? Tak lupa juga mencari tahu lebih banyak tentang jurusan S2 yang akan kita ambil, semisal dosennya siapa, mata kuliahnya, jumlah SKSnya, sampai thesis yang akan dilaksanakan apa? Wah pokoknya parno setengah aneh. Dengan iseng teh selma mengajukan pertanyaan. Jawab ya teh: Apa alasan terkuat teteh ingin melanjutkan S2? Abi menghuleng sementara, mungkin ini pertanyaan utama, abi sendiri bingung, “iya kenapa ingin S2 ya?” jadi ingat pertanyaan pernah abi renungkan, kenapa ingin S2, buat apa? Ya karena Allah... (sambil bingung), abi merasa tidak memiliki ilmu... abi harus bermanfaat untuk orang lain, tapi ilmu abi kok gak ada, bagaimana bisa bermanfaat? Terus tantangan mendidik anak sangat beragam, tapi kemampuan yang ada pada kita terbatas.... S2 ya untuk menmabah ilmu... ehhhh, apalagi ya teh? Abi gak tahu, ucapku putus asa. Tidak ada sedikitpun jawaban ilmiah yang logis yang bisa abi tuturkan, itu malah semacam curhat atas ketidak-mampuan abi.... Teh selma tersenyum, suka jawabannya teh: 1. Merasa belum cukup ilmu pendidikan (anak), 2, ingin menjadi salah seorang kontributor dlm perbaikan pendidikan anak, ya sesuai passion teteh... 3. Menambah keilmuan dan networking, dan 4. Membahagiakan orang tua.... Abi merasa tercerahkan... mungkin harus meluruskan niat dan memperjelas alasan lagi. Pertanyaan ke 2 ya teh, kata teh selma... 2. Apa energi terbesar yang teteh miliki jika S2 teteh mengalami hambatan (tantangan) luar biasa? Abi bengong, gak tahu masa depan studi abi gimana, yang penting jalani, nikmati, da ada Allah yang Maha Besar. Ucapku polos-polos saja. Teh selma tersenyum lagi-lagi, “Bagus teh!” ucapnya, “tapi lebih baik lagi kalo ada alasan teteh yang berhubungan dengan jawaban ke 1 tadi tentang mimpi teteh tentang pendidikan,” ucapnya. “Misal?” ucapku tak paham. “Ya misal, saya akan teringat wajah anak-anak yang sedang menunggu saya. Maka saya harus segera menyelesaikan studi dan pulang menemui mereka, dan mengaplikasikan apa yang saya ketahui dalam mendidik mereka dengan sepenuh hati...” Abi terbengong dengan kalimatnya... membayangkan wajah anak-anak yang mungkin sedang menunggu abi pulang dan selesai S2 tepat waktu? Allahu Akbar, malu.. abi malah sering memikirkan diri sendiri saja. Ingat kawan GMT yang berseloroh, kalo di asramanya ada yang lagi malas maka tegurannya adalah, “Ingat ummat sedang menunggu antum!” Ummati, ummati, ummati.... Teh selma menjelma jadi seorang viewer plus memberi jawaban alternatifnya. Siap teh, abi siap di wawancara hari ini, apa adanya! Trettt tidak terasa kita melakukan audiens cukup lama, jam 07.00 teh selma sudah mau berangkat, kita keluar kostan, jalan kaki, sebelum berpisah kita sepakat untuk berfoto bareng.... dan itu akhir dari pertemuan kita sampai saat ini. selalu menyisakan pedih, ada satu hal yang tidak ingin abi lewati, meminta nasihat terakhir sebelum berpisah... beliau menceritakan pengalamannya dan intinya adalah: Kalo kita merasa lemah, sakit, dsbnya, yakinlah teteh, kalo Allah itu maha kuat, dan Allah akan menguatkan kita. Jika kita lelah dan lemas karena saum, yakinlah kita tak akan mati karena saum karena Allah langsung yang menguatkan tubh kita walau tanpa makan dan minum. Abi jadi ingin nagis #baper kalo sudah begini..... Kita berpisah, jam 08.30 abi tiba di GKN. Melakukan absensi dengan deteksi kartu peserta. Satu jam menunggu dengan ditemani buku EREBOS karya Ursula P. Mata sudah kesemutan, ketika nama sendiri disebut mesin pengumuman. Bismillah, terasa panas dingin, beberapa WA masuk, kujawab saja, mohon doa, ini detik-detik mau wawancara... Sliingng, riviewer memanggil namaku... abi masuk ke ruangan dengan perasaan yang tidak tahu bagaimana rupanya. Ya Allah plis jangan pakai bahasa Inggris ya Allah... Tiga orang penguji duduk di hadapanku, dua orang ibu, dan satu orang bapak. Seorang ibu menyodorkan alat perekam, berkedip merah. “Ibu Eli?” tanya bapak itu. “Ya, betul.” Ucapku, mudah-mudahan tidak kentara kalau sedang panas dingin. “Perkenalkan, saya Mr. X dari Universitas Brawijaya, Ini Ibu Y dari IPB, dan itu Ibu Z dari UI.” Saya mengangguk. “Boleh saya ajukan pertanyaan pertama? Eli ya, kamu dari PGSD ya, melanjutkan pendas, apa motivasi kamu ikut LPDP?” Abi merasa lupa dengan semua jawaban yang sudah disusun sedemikian rupa dengan teh selma, yang terbayang di kepala adalah pendidikan, entahlah kenapa abi jadi merasa lebih bisu dari apapun. Abi bingung menemukan kalimat pertama.... yang keluar malah problematika pendidikan anak sd, abi melihat pendidikan ada yang harus dibenahi (sambil merutuk diri mengapa malah tema ini yang muncul, Allahu akbar, apa abi ini seorang eli mau membenahi pendidikan, waduhhhh!!!!) “Lho emang pendidikan dasar ada masalah apa?” Tanya ibu Y. “Anak-anak terlahir dengan firah dan potensi masing-masing, tapi pendidikan sekarang terkesan di sama ratakan dan kurang menghargai fitrah tersebut.” “Tapi itukan tuntutan kurikulum?” “Di sana pointnya, hal tersebut akan jadi tantangan, (ujarku semakin kurang ajar, astagfirullah.....), bagaimana mengemas kurikulum itu agar sesuai dengan fitrah atau potensi masing-masing anak? Oh gitu ya... Ibu Y melanjutkan pertanyaannya. “Eli sejak kapan Eli yatim piatu?” Allahu Rabbi... Sejak mula saja, perasaan abi sudah tak karuan, tak bisa lagi menyembunyikan, kebahagiaan, kesedihan, cape, lelah, haru, nelangsa dan sebagainya datang memutar banyak kenangan masa kecil, masa lalu, masa-masa yang terus memaksa diceritakan dengan detail... Mungkin ini sesi wawancara terkacau... jika mendengar lagi rekamannya abi kayanya mau menghilang saja dari peredaran, atau membuat liang saja, terbata-bata, suara bangau serak dan cengeng... menjawab setiap pertanyaan yang terus menggali hal-hal yang sudah tak ingin diungkit lagi... Jika ayah meninggal sejak usia 4 tahun siapa yang menanggung nafkah keluarga? Jumlah kakak? Bagaimana nasib kakak sekarang? Siapa yang membiayai sampai bisa sekolah sekarang? Perubahan apa yang sudah Eli lakukan di sekitar? Berapa orang yang sudah terinspirasi? Allah... Pertanyaan jebakan semua... :’( Dan disesi pertanyaan terakhir, ibu Z yang dikenalkan Mr. X, sebagai psikolog memberi pertanyaan: Dari hati eli yang paling dalam, ingin menjadi apa eli ini? Ingin jadi apa? Ingin jadi Ibu Rumah Tangga. Hahahha.... Ibu Rumah Tangga yang bisa menginspirasi para ibu lain, jika pendidikan dalam rumah adalah pondasi dan AMAT SANGAT penting (efek ikut grup HEBAT di WA), ditularkan melalui/oleh abah fikri. Hah? Menjadi inspirasi para ibu? Gugulitikan da sigana itu reviewer.... “Baik Eli, kamu tahu gak simbol laki-laki dan perempuan? Coba gambar di sini.” Ibu Z menyodorkan sehelai kertas di hadapanku. “Pelajaran IPA ya? Kalo gak salah begini...” aku menggambarkan tanda feminim dengan lambang O dikasih pita seperti tambah, dan maskulin dengan O yang diberi tanda panah di atasnya. Ya benar seperti itu, tapi itu bukan pelajaran IPA, tahu maknanya? Enggak tahu... ucapku terang saja tak tahu maknanya apa siapa pembuatnya kapan tercetusnya lambang tersebut... tidak tahu. Lihat ini lambang laki-laki, panah ini diibaratkan panah atau tombak untuk berburu, tugas alaki-laki adalah mencari nafkah berburu... lalu ini lambang perempuan, kamu tahu ini gambar apa? Pita! Tebakku asal. Bukan, ini adalah cermin, tugas perempuan adalah mempercantik diri di depan cermin. Jadi klop, selesai suaminya berburu, keadaan cape setelah cari nafkah, dan datang ke rumah di sambut istri yang cantik, yang rajin dan pandai berdandan untuk suaminya. Begitulah peran perempuan dan peran laki-laki secara fitroh. “Sekarang banyak tertukar ya bu? Desus LGBT, menyalahi fitroh berarti.” “Ya sekarang kebalik, laki-laki bawa cermin, perempuan bawa panah. Dunia sudah terbalik-balik...” Aku ikut berkomentar, “Mungkin perempuan bawa panah saat ini sudah banyak bu, tapi laki-laki bawa cermin masih jarang sepertinya.” “Walah Eli, kamu sekarang tinggal di mana say? Kalo di kota besar kaya Bandung Jakarta, laki bawa cermin itu buanyaaakkk, ke salon dandan lah, perawatan lah....” “Di Rancabango Bu, hehhee” Ibu Y nimbrung, “Oh jadi sekarang tinggal di Racabango? Saya ada saudara di sana, eli tahu pesantren jjdjdbjsbcjksy gak?” “Enggak tahu bu!” “Oke terimakasih ya, Mr. X ada yang mau ditanyakan lagi?” ucap Mrs. Z. “Enggak, udah tadi, cukup.” Oke, kata Mr. X, semoga sukses ya!” Aamiin, ucapku sambil pamitan, suaraku masih serak bangau. Walau dengan ingsrek-ingsreukan, lega sudah selesai... dan para calon yang mau diwawancara pada shock lihat aku, “kenapa mbak? Are you okey?” Gak diapa-apakan? Gimana di sana, baik-baik saja? Dengan anggukan aku jawab, baik, gak ada apa-apa. Mereka masih saja tak percaya, sampai abi jawab lagi, “serius, gak kenapa-kenapa...” Entah nanti bagaimana hasilnya, Allah tahu yang terbaik, kita tunggu tanggal 10 Maret 16. Lulus tidak lulus, Allah tahu yang terbaik untuk hambanya, sejauh ini tetaplah berbagi, tetaplah belajar, tetaplah belajar, tetaplah belajar.... Jangan ingin terus sempurna, jangan ingin terus benar dan takut salah, jangan menuntut diri untuk hal-hal yang fantastik, belajarlah dari segala hal yang telah dilewati... sederhanakan sikap, akui kekurangan, hargai kelebihan, minta nasihat, minta maaf, memaafkan, melapangkan seluas-luasnya... mendoakan yang terbaik untuk semua orang dan segalanya. Allahumma auji’ni an askuro ni’matakallati an’amta alayya walidayya, wa’an ‘amala solihang tardo wa adkhilni birohmatika fi ibadikas sholihiiin.... Ya Allah, pangeran abdi, ilhamkankan kpadaku untuk sennatiasa mensyukuri nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orangtuaku, dan agar aku dapat beramal dengan amal yang Engkau ridhoi, dan dengan rahmatmu masukan aku ke dalam golongan orang-orang yang shalih... Alhamdulillah bi ni’matillah... Az. (25/02/16)

Sepenggal LPDP (catatan 2)

Pukul 10.00. Karena menunggu cukup lama, akhirnya memutuskan keluar ruangan menyisir gedung GKN, menemukan toliet, menemukan mushola, menemukan dapur, dsbnya. Puas urusan sisir-menyisir kembali ke ruangan yang semakin sesak saja. Di layar monitor yang besar tertera kelompok yang sedang LGD 4A dan 4B. Untunglah masih belum! Begitu duduk, layar monitor berkedip, announcer nyaring menyatakan, kelompok 5A dan 5B untuk segera menuju lokasi esai! Akhirnya beberapa dari yang sesak itu bangkit, meninggalkan ruangan menuju lobi. Rupanya ruang esai ada di aula utama, samping pintu masuk. Sambil menunggu kelompok 4A dan 4B keluar, kita berada di ruang tunggu. 10 menit ini dimanfaatkan untuk kita persiapan, mengeluarkan papan jalan pulpen dan kartu peserta, yang always ditunjukkan ditiap tahapannya. Masih juga belum keluar, akhirnya kita melingkar dan mulai saling menyapa dan berkenalan. Rupa-rupanya penerima afirmasi grup 5B ini rata-rata memang freshgraduate dan 80%nya lajang, mjomblo, alias belom nikah. Saling tukar nama, dan mendoakan. Grup 5A juga melingkar dan rata-rata mereka ibu-ibu dan bapak. Kayanya mereka afirmasi yang ke LN, soalnya ketika mau menulis esai ada salah satu dari mereka yang mengatakan mau ke prancis, jadi tulisannya dia mesti pakai inggris or prancis. Dengan muka yang sumringah, 4A dan 4B keluar aula utama. Terlihat di dalam kursi berdert rapi. Para juri dan pengawas duduk di depan. Wah aulanya luas! Hanya itu yang terpikirkan. Kita digiring masuk (adeuh kaya domba yah, digiring), dipersilakan masuk! Memilih bangku yang sesuai lah dengan keinginan kita. Ibu pengawasnya menyampaikan agar kelompok 5A di sebelah kanannya dan aku bersama kelompok 5B berada disebelah kirinya. Seperti duduk di kursi baris ke dua, cukup nyaman untukku. Bismillah. Dihadapanku ada dua lembar kertas, kertas ke 1 lembar jawaban, dan kertas ke dua pastinya soal (posisi kertas kedua masih tertutup). Ibu pengawas mulai memandu. Bahwa jatah pengerjaan soal hanya 30 menit (yang berarti mesti selesai sampai jam 12.15 WBBI), kemudian tulis identitas beserta kode soal. Sip! Sudah! Silakan buka soal dan pilih soal sesuai penguasaannya. Soal! Soal yang tertera di kertas itu hanya ada 2 butir. Dan harus memilih satu butir saja untuk dikupas selama 30 menit. Soal ke 1. Bahkan sebelum lonceng bonus demografis dibunyikan, pemerintah harus mulai mempersiapkan diri untuk meningkatkan kualitas pendiidikan supaya SDM lebih berkualitas secara pengetahuan dan teknologi. Soal ke 2. Tentang pariwisata! (entah apa, karena sekilas saja, soal no 1 sudah langsung kusukai), wong ilmu kita seputar pendidikan hihihiks. Butuh waktu yang cukup lama untuk merenungkan, untungnya pernah membuat tulisan tentang bonus demografis ini. Sambil mengais ingatan, aku mulai berpikir dari mana ke mana arah tulisanku, kalimat seperti apa sebagai pembukanya? Apakah informasi ini akurat? Coretan di paragraf awal akan selalu ada pastinya. Oke kita kenalan dulu saja dengan apa atuh bonus demografis ini. Tulisanku diawali oleh sebuah wacana Indonesia di tahun 2025. Pengulasannya, dampaknya, dan baru masuk ke peran pemerintahannya. Entahlah kenapa isu-isu mendesain peradaban tiba-tiba muncul. Mulai tertarik membhas dan mengaitkan isu bonus tersebut pada pendidikan anak di rumah (home education), membahas masa aqil baligh, peran pemerintah terhadap pendidikan rumah, kurikulum sekolah, sekolah sebagia mitra, peran pemuda dan terakhir menyinggung tentang lulusan: yang tentunya berkualitas SDM tidak sekedar mumpuni dalam IPTEK, tetapi juga memliki karakter, keimanan, patuh pada pranata agama sosial. Karena masih terbayang-bayang kalimat Prof. Dr. Hamka, akhirnya esaiku dipungkas dengan perkataan beliau yang terkenal: “Jika ilmu tanpa iman, bagaikan lentera di tangan pencuri!” Ya intinya, bonus demografis itu mesti disiapkan oleh pendidikan yang tidak sekedar menghasilkan SDM SDM yang kulaitas IPTEKnya cumlaude, melainkan juga SDM yang berkarakter mulia, yang bisa memanfaatkan ilmunya untuk kebajikan kebaikan. Lah jadi ingat ceramahnya Ustadz Resa Respati, M.Pd. Saat pembahasan kenapa ada peluru dan nuklir? Peluru ada untuk melukai menmebus kepala orang, nuklir juga ada untuk diledakkan dan meneror orang. Yah itulah jawabannya, karena orang berilmu yang tak tahu untuk apa hasil temuannya itu digunakan, atau yah hasil temuannya diselewengkan oleh orang yang berkepentingan dunia itulah... nuklir kalo dijadikan listrik kan manfaat daripada bikin kerusakan di muka bumi. Jadi pertanyaan yang mesti kita teliti dengan baik adalah: ada ditangan orang seperti apa IPTEK itu akan berguna dan bermanfaat? (itu sih diskusi hebat dikepala penulis esai saja). Kertas jawaban sudah duluan ditarik oleh Ibu Pengawas). Kita keluar tepat pukul 12.15, istrirahat sampai pukul 13.00 dan nanti akan melanjutkan LGD. Kita ber-9 (jika benar), menuju mushola dan menunaikan solat. Selesai kita kembali berkumpul, melanjutkan perkenalan, dan Agus Ramelan menginisiasi untuk membuat grup WA, foto bersama, dan merencanakan strategi cerdas ketika LGD agar semua bisa lolos! Kita berfoto dong dan mulai menyusun rencana hehehe (Mr Cece S yang paling di tuakan (kelahiran 1984) dan sudah menikah kita sokong jadi kepala suku). Sekitar 20 menitan kami dipanggil untuk memasuki ruangan, dan dipanggil nama satu persatu untuk di kursi yang sudah di tentukan. Nama yang pertama di sebut: Agus Ramelan, kemudian Cece S, lalu Dayat, lalu Eli, lalu Nurholis, lalu Susi, Raven, Rahmi, dan Santi. Kita diberi satu wacana yang harus dibaca dalam 3 menit, kemudian wacana tersebit didiskusikan dalam waktu 30 menit. Wacananya apa? Wacana yang dibahas di sana tentang bela negara. Bela negara itu bukan wajib militer. Bersifat sukarela, sesuai profesi, untuk meningkatkan rasa cinta tanah air, nasionalisme, patriotisme, dsbnya. Pertanyaan diujung wacana. Jika anda semua diminta oleh kementerian pertahanan untuk merekomendasikan sebuah program bela negara, program apa? Begitu singkat dan intinya. Pertama, karen akita sudah menyusun rencana busuk di luar ruangan, Mr. C lagsung menawarkan diri sebagai modeartor, yang kita amini bersama. Diskusi dimuali dari general Statemnet oleh Mrs. Santi dan Mr. Dayat. Dilanjutkan tuktek diskusi oleh peserta termasuk aku dan yang lainnya, yang tiap orang tentu sama Mr. C dikasih kesempatan 2 kali ngomong per orang, maksimal 3 menit ngomong, cikiciw! Akhirnya lancar sudah, program kita disimpulkan oleh Mr. Agus Ramelan dalam bentuk bagan, dan diringkas ulang oleh moderator. Entahlah, kita berharap yang baik-baik saja, semoga kita ber-9 dapat bertemu kembali di PK (Persiapan Keberangkatan) yang artinya kita lulus. Oh ya, ada informasi penting saat kita nunggu test esai: Bapak yang menagrahkan kita masuk (menggiring itu lho), sedkit berbincang tentang LPDP. Beliau berkata, “Kalo misal LPDP S2 lulus, kalian kalo udah beres S2, bisa langsung S3 dengan LPDP lagi tanpa seleksi, tinggal serahkan LOA saja.” Mr. Agus Ramelan, langsung meresponnya dan bilang (ekspresi shock): “Teteh hidup ini kok mudah banget ya?” Aku bingung deh jawab apa, “Yah, Allah ingin kasih jalan yang paling baik buat hambanya! Banyakin syukuran ini...” Sebenarnya LPDP tidak syeram sebagaimana yang kita bayangkan mungkin ya. Syaratnya yang paling sulit (bagi abi, yang englishnya gak bagus), ya itu TOEFL, sertifikat bahasa. Lain-lainnya bisa kita usahakan, esai, SKS, SKBN, rekomendasi, ijzah. Hanya harus ada TOEFL saja. Jadi yang berminat LPDP tahun ini (masih terbuka 3 gelombang lagi), persiapkan sertifikat bahasanya (TOEFL), untuk afirmasi minimal 400, untuk LPDP biasa (reg) minimal 500. Itu saja! Lebihnya in sya Allah lancar. Pastikan sertifikatnya dikeluarkan dari lembaga yang terpercaya. Jam 13.30 kita keluar ruangan, dan diarahkan kembali ke ruang pertama kita berkumpul, ada yang langsung pulang ada yang harus tahap berikutnya. Aku sendiri jam 14.00 tahap perivikasi dokumen. Oke nunggu! Ngaret satu jam, akhirnya memutuskan solat ashar lebih dahulu, dan 14.45 baru dipanggil: Eli Nurlela Andriani ke meja 4. Ya, perivikasi dulu dengan ibu-ibu usianya 40 tahunan. Selesai perivikasi, pulang dan menunggu hari esok untuk wawancara. Di luar hujan deras ternyata, akhirnya hanya duduk di parkiran, sambil mendoakan yang terbaik untuk langkah-hari –ini yang sudah dilewati. Tring Trong! WA grup LPDP afirmasi membunyikan notif, sebuah pesan baru: “Teman-teman wawancaraku in english! Hikshiks.” Tulis dayat. “Aku meja 13. Berhati-hati ya, ini pertanyaannya...” Eah aku langsung pejamkan mata sambil komat-kamit, besok abi pakai bahasa apa ya Allah please, bahasa Indonesia plis!.... Bersambung ke catatan LPDP ke 3 ya...

Sepenggal LPDP (Catatan 1)

Kepalaku berdenyut-denyut, rasa kesemutan menjalarinya, lalu merembet ke bagain lain, tangan kaki, sekujur tubuh. Wajahku panas, parahnya lagi perutku seperti dikocok, perih dan sakit...
Ini hari kamis, 11 Feb, 2016. Keletihan kelesuan membuatku merasa, betapa nikmat menjadi sehat itu. Sebenarnya ini hanya masuk angin biasa, harusnya aku terbiasa, tetapi tetap saja, merindukan seseorang yang bisa membuatku lebih baik dalam keadaan seperti ini. Ema, apa kabar ema? Rasanya tak sanggup lagi bohong, jika aku sungguh kuat (menguatkan diri) tanpamu. Kerinduan seperti ini selalu datang dan meminta airmataku jatuh, walau sudah ditahan-tahan. Dua tahun dan 6 bulan, waktu yang sudah cukup lama, dan aku berhak merasakan rindu sampai separah ini. Allah.... Dua hari ini, kemarin dan hari ini, aku terpaksa membolos dari sekolah. Sesungguhnya, tidak hadir di sekolah membuatku menjadi manusia yang kurang baik, ada banyak amanah yang kutinggalkan, anak-anak, PSB, ekskul, edit soal, dan satu lagi janjiku menuliskan sebuah materi tentang “seandainya”, terbengkalai semua. Amanah yang Allah titipkan padaku, tidak tertunai dengan baik. Mudah-mudahan Allah memaafkanku, mudah-mudahan. Kepala terus berpikir (memikirkan) apa yang telah kulewati dua hari ini, tidak tampak normal. Satu hari sebelum keberangkatannya, adalah sisa usahaku yang terakhir untuk mendapatkan surat keterangan penerima bidik misi dan surat keterangan bebas narkoba. Bagaimana memulai cerita ini? Perjalanannya terlalu panjang. Setelah usahakau datang ke klinik, ke dokter dan RSU nihil (bolak-balik), berangkatlah siang harinya ke KAPOLRES KOTA Tasikmlaya, dan ternyata tidak bisa, karena domisiliku di kabupaten. Waktu menunjukkan pukul 13.30, dan satu-satunya jalan terakhir adalah datang ke Mangunreja singaparna. Semoga belum tutup, aku berangkat menuju ke sana, dan sampai 14.30 an. Alhamdulillah Allah permudah prosesnya. Bada ashar, SKBN sudah ditangan. Bagimana dengan surat bidikmisi? Seorang teman di kampus membantuku mendapatkannya, lagi-lagi Allah membantuku, Allahu Akbar, segala puji hanya untuk Allah. Tepat jam 17.00 datang ke kampus, bertemu Mr. D, meminta bekal nasihat: “Jad diri kamu apa adanya Li, percaya diri, jangan menutupi kelebihan, jangan mengada-adakan yang tida ada dalam diri kita! Yang topi berpikir mah, searching saja ya!” Aku tahu kata-kata itu singkat, tapi harus memaknainya sepanjang perjalanna pulang. Perjalanna belum sleesai. Sore harinya melanjutkan the journey, Tasik-Ciawi, 17.30 s.d 18.30, hujan-hujanan. Jika didramatisir, itu sungguh seperti film. Tokohnya berputar tiada lelah, menantang hujan, petir, angin badai... tapi aku bukan lakon di film, biasa saja... tiada petir, ada angin dan hanya basah, sisanya lelah. Itu saja! Esok harinya, subuh jam 4, aku sudah dibangunkan, “Dek bangun!” Aktivitas pagi pun dimulai, teh journey akan dilanjutkan 05.00 pagi, sudah tancap gas menuju bandung! Hari ini jadwal perivikasi, wawancara, esai dan LGD untuk beasiswa LPDP ku. Sempat-semparnya aku mengetik sttaus di BBM, “Subuh tanpa gerimis, jalan tiada ujung, harap tiada pupus, bismillah, laa haula wa laa quwwata!” Tulisna itu sungguh mmberi energi tersendiri. Subuh hari yang berembun, aku menyusuri takdirku, melihat masalaluku, tersenyum padanya, menginsyafi segala kebodohanku, lalu menatap ke depan, jalan yang kutempuh kini betapa panjang.... dan harapanku pada Nya tak akan pernah berhenti, masa depan yang kuperjuangkan untuk siapa? Entahlah, aku tak tahu, misi hidupku. Misi hidup spesifik itu.... hanya saja, lakukan yang terbaik hari ini, biar esok jadi apa dan untuk siap, adalah rahasiaNya. Perjalanan yang amat menegangkan, jadwal kedatanganku harusnya 07.30. Tapi aku dan kakak masih di jalan Soeta, masih belum belok ke buah batu lalu ke jalan lengkong dan asia afrika. Tiba di GKN asia afrika, pukul 08.00 kurang sepluh atau 15 menitan, dan ada seorang ibu pula yang sama dneganku hendak perivikasi. Baru tiba, diantar suaminya. Seorang ibu yang entah siapa namanya, ibu hamil, yang kuketahui akan mengambil S3 di UI. Kami masuk sambil berkenalan, masuk ke balrom, menju tangga yang diarahkan panitia. Tangga yang mengarah ke bawah, ground floor. Ibu itu berkata, “Jadwalnya hari ini ya?” Hah? Saya belum cek email 2 hari ini. ternyata setiap orang itu di kasih jadwal masing-maisng, yang sudah dikelompokkan. Saya cemas, bagaimana kalu jadwal saya adalah esok? Harusnya sya tidak datang hari ini dong! Buru-buru cek email, dengan kendala Hp yang lowbatrre (karena semalam di gunakan terus oleh ponakan) dan kuota yang tet tot. Ma sya Allah, harus sabar. Saya belum melakukan registrasi perseta yang ditandai dgn alat pemindai. Oke fiks kan dulu jadwalnya. 15 menit kemudian saya tahu, hari ini saya da jadwal perivikasi, esai dan LGD, dan besok wawancara. Alhamdulillah! Segera mengabsen, dan duduk manis menunggu giliran. Cukup lama, ruangan mulai sesak. Esai dan LGD adalah tahapan pertamaku, sedikit berbeda dengan kawan yang lain. Kawan di sini para bapak ibu. Aku kebagian esai jam 11.30 an, LGD jam 13.00, dipotong dulu waktu solat. Ingat kondisi perut belum di isi, dari subuh mula... kalo ada ema pasti ada yang merhatiin makan inih! Akhirnya memutuskan asaja tidak makan minum hari ini... Esai apakah yang harus saku kerjakan nanti? Bisa tidak ya, rasanya otakku mandeg tidak tahu apa-apa. Rasa penasaran... kami dikumpulkan dalam satu kelompok 5B. Kelompokku ternyata khusu afirmasi, dan kegembiraanku adalah mereka smeua sangat welcome, apalagi alumni bidikmisi merasa satu hati, ada satu kelompok yang dari UPI, Agus Ramelan, ya aku tahu dia, bingo! Dia salah satu peserta PMW yang senagkatan denganku... dari UPI dia hendak lanjut ke ITB, ambil elektro. Aku sendiri? UPI ke UPI dan PENDAS. BAGAIMANA ESAI? TEMA APA YANG KUTULIS? Bersambung ke catatan 2....

Senin, 03 Agustus 2015

CURHAT PASCA YUDISIUM

Apa kabar?
Entah yang keberapa kalinya aku gagal curhat, selalu saja ada gangguan diamna akau tak bisa menulis sepuas hati. Seorang kakak, katakan, senang sekali saat bercakap-cakap, dan seringnya aku tak tega mengehntikkan obrolannya. Padahal aku bisa berkata, leave me alone, i want write something... Tetapi, tak mampu... mungkin itu karena aku sayang, benar? Saat ini ia tengah tertidur, mari kita cek dulu, mungkin ada nyamuk di pipi kiri kanannya? ---------------- Benar, ketiganya sudah lelap. Mataku pun sudah sembab, ingin ditidurkan, tetapi tak ada waktu lagi untuk curhat, selain malam-malam saat semua pembuat gaduh tertidur, hehehe-kejam nian! Lampu kamar kumatikan saja, itu baikkan buat regenerasi kulit mereka? Eli mau menulis apa? Paska yudisium tentu saja. Ada banyak sekali tawaran yang membingungkan. AKu tahu kebingungan itu sendiri tercipta karena aku tak pernah menyiapkan diriku sendiri menjadi apa. Saat ibu memint aku pulang, aku ngangguk saja, karena toh langkah sendiri pun aku tak bisa bayangkan. Mungkin di sana pointnya, saat aku memiliki mimpi untuk bekerja sesaui minatku.. ah, aku sungguh egois dalam hal ini. Tetiba di hari itu, 1 Juli 2015. Entah lah mengapa kakiku melangkah ke arah labschool, aku hanya sedang mencari Mom Desi, dan tertangkap basah masuk ruang kantor labschool, mereka sedang rapat! Pak Aan menyambut dengan sumringah... tanpa ba-bi-bu meminta kesediaan untuk jadi stap pengajar di sana? "Hah?" Tentu saja, kebingunganku tertangkap oleh seorang dosen yang sebenarnya sudah jauh-jauh hari (maksudnya) menyelamatkanku untuk tetap stay in Tasikmalaya.Waktu itu, aku melihat rautnya yang bahagia, dan aku sendiripun sebenarnya bahagia mearasa dihargai, kan sulit cari kerja? betul? Tetapi waktu itu, Pak Aan memintaku pula menghubungi Ibun, agar sama-sama masuk mengabdi di labschool. Langsung saat itu juga aku telpon Ibun dan mengabarkan keinginan Pak Aan. Ibun juga terlihat bingung, sama sepertiku. AKu meminta beberapa orang untuk melihat dengan jernih, bagaimana keputusanku selanjutnya? Tentu yang utama bagiku adalah ijin ibu.... Selain itu, ada hal yang sebenarnya tak usah aku ungkap, bagaimana peluang di labschool ternyata hanya untuk 2 orang saja. Itupun, untuk posisi yang satu harus menunggu beberapa bulan... dan saat itu juga aku tahu bahwa dosen yang bermaksud menyelamatkanku itu tengah berupaya pula memasukkan kawanku. Sekiranya aku masuk? Ah... apalagi saat kuketahui, ibun sudha menyatakan kesiapan, aku tahu apa yang akan terjadi. Seolah-olah semua menyalahkanku, karena aku lama sekali berkeputusan.. tetapi biarlah, mereka tidak ada dalam posisiku saat itu. Busa-busa dijelaskanpun tak ada gunanya... Hingga suatu malam, saat aku sedang online, dosen tersebut mengontakku, bahwa sikap diamku dinayatakn sebagai penolakan atau ketidakminatan dan sebagainya lah... Sudah diprediksi, dan untuk mempertegas diri, aku mengatakan: Maaf, bukankah aku belum memberi jawaban. Jawabanku hari senin, ini Sabtu. Haham, mungkin dengan kata itu seolah-olah aku orang penting ya? Tapi sungguh aku telah mengatakan padanya keputusanku hari Senin. Well, sebenarnya hal itu telah diduga, bahkan sebelum hari itu, aku sedikit curhat pada kakakku yang tengah tidur itu... dan sarannya memang be your self, ada banyak jalan menuju impian. Meskipun jelas-jelas seperti itu, masih saja Pak Aan bertanya kesediaan, dan kadang aku hanya bisa tersenyum. Beberapa dosen lain pun menyampaikan unek-uneknya bahwa aku memang lambat dalam membuat keputusan, tak bisa ambil peluang, dan sebagainya: lebih parah lagi mengatakan aku tak bisa terima saran. Oke Zahraa, tak usah lah sedih dengan kata-kata itu. Hihi, lebai saja, buang waktu saja. Ada banyak hal sebenarnya, menjadi alasan tersendiri: 1. Ibu, aku tahu umur siapa yang tahu. Dua hari ingin kuluangkan khusus untuk ibu dan keluarga, jadi memilih kerja full senin-sabtu bukan yang aku harapkan. 2. Free, dengan jiwa yang kumiliki, bukan tipeku untuk berada dalam kurungan waktu dan tempat. Bekerja part time selalu jadi prioritasku, tak membuatku jenuh pastinya... 3. AKu ingin kursus, kemampuan bahasa asing yang pas-pasan tentu mesti dapat daya dukung penuh. Otakku pasti tidak bodoh-bodoh amat kan? Masa iya, kursus aja gk ada peningkatan? 4. Mendidik dengan gayaku, hehehe, sebenarnya pasti banyak yang komen saat aku bilang, tak mau jadi pendidik, tak mau ngajar! Walau hidup di bimbelan yang nota bene mendidik, aku mengambil bagian kurikulum saja. Otak atik kajian materi, dan sebagainya. Entahlah... jadi saat seorang dosen merekomendasikan aku masuk bimbel lain, aku bingung. Jadi stap pengajar lagi! Biimbelnya islami? Itu daya tarik, lagian aku bosan disebut tak bisa menerima bantuan dan saran. Oke deal, akhirnya aku mnegirim CV ke mumtazaalbiruni. Dan menunggu jadwal keluar.. Wow, iam be teacher? 5. banyak waktu buat menulis. Karena entah apa, aku merasa bahwa jika kita diam saja menunggu panggilan, mana mungkin ada yang telpon. ADa juga, kita kirim lamaran, lalu dag dig dug nunggu terima atau enggak. Itu, aku hanya coba-coba kirim lamaran dan diterima... jadi apa? jadi hantu yang menulis haha(Ghost Writer), menulis setiap hari, jika dihitung 100 artikel mesti ditulis dalam sebulan. hah? Aku sendiri tak percaya aku bisa, tapi, hari tadi adalah hari pertama aku nulis artikel... entahlah bagus apa jelek, yang penting nulis, 5 artikel /hari. Artikelku harus bertema pendidikan islam. Hemmm... dunia kerja, aku seperti romusha ya? tidak juga. Sembari menunggu pengumuman PIMNAS, masih juga ngarep! aku coba-coba berbisnis madu dan fashion. well tahu sendiri aku kan gagal terus kalau bisnis, ujung-ujungnya pasti pelanggan pada gak bayar, terlalu baik dagangnya. Tapi tak kapok-kapok... Tapi semuanya mesti dilakukan dengan diam dan tidak sok sibuk, santai sajalah, nikmati hidup ini. Itu urusan dunia? CUT! Dunia untuk akhirat. Aku tahu, saat ini sbenearnya aku bisa menghidupi diriku, tidak jajan, puasa aja atau apalah, yang penting hidup dengan makanan halal. Tetapi ada soal lain, entah dari mana mulainya, aku slelau jadi tulang punggung dari kehidupan keluarga kakak. :) Jika ada sesuatu yang kurang, dan ingin meminjam, pasti hubungi adik bungsu. Well, tak bisa menolak, tapi juga tak bisa bantu, karena aku hidup cukup, cukup sehari-eun :D Oleh sebab itulah, aku berharap bisa bantu semua orang yang menghubungiku dan bilang, "Teteh boleh gak pinjam uang?" Hah? Ingin seklai bantu!!!!!! Tetapi apa daya, hanya semampunya. Makanya sering sekali berdoa, biar diberi kecukupan agar bisa bantu orang, atau cukupilah kebutuhan orang-orang yag merasa tak cukup. Bekerja, itulah salah satu usahanya! AKu tak tahu, apa yang kukerjakan akan berharga atau tidak untuk masa depanku, terus melaju, jalani dengan senyuman. AKu sering sekali mengatakan: Hidup ini penuh sandiwara, jadi untuk peran apapun yang orang lakoni kepada kita, so hadapi saja dengan senyuman! Begitulah curhatku, aku tahu aku tak bisa lagi menyakiti ibu, harus beri ibu kepastian, besok mungkin pulang dan mengatakan keputusanku... Ya Allah permudah urusanku. Biarkan aku mejadi hambaMu yang penuh syukur. :) (0:06), 4/8/15. Az.

Minggu, 02 Agustus 2015

SALMAN, MENCINTAI KARENA ALLAH

Ku ikhlaskan siang pergi, pun mentari tenggelam Karena… Malam kan datang menjelang, juga bintang bersinar membersamai Lalu hatiku akan damai dan lelap Kesepian bagiku adalah munajat. Tuhan... Memberiku janji Pagi kan hadir kembali untuk tumbuhkan harap dan cinta Salman Al-Faritsi, seorang pemuda Irak yang terlempar ke bumi Madinah. Sungguh mulanya ia putra seorang kaya terhormat, namun karena cintanya akan kebenaran dan ilmu sejak kecil ia telah terpisah dari keluarganya. Ia ikut serta dalam sekelompok pedagang yang kemudian menjualnya menjadi seorang budak pada seorang penduduk Madinah. Apakah ia hina sebagai budak belian? Tidak, sebab cintanya pada kebenaran dan ilmu itulah, ia tetap laksana teratai di permukaan kolam. Indah dimanapun ia hidup dan berbunga, entah selokan kotor nan bau atau danau biru. Sepenggal kehidupannya yang mulia karena kecintaan pada ilmu itulah ia mendapat hidayah islam hingga menjadi anshar yang berbudi. Menyambut Nabi Allah yang mulia dengan sukacita. Suatu hari ia mengundang sebuah cinta pada seorang wanita. Ia telah terbebas dari perbudakkan oleh kebaikan dan cahaya Islam. Sehingga hak baginya untuk mengkhitbah seorang wanita yang akan ia jadikan istri. Begitulah cinta, datang selalu satu paket dengan ujian, likunya tak selalu mulus sesuai yang kita inginkan. Wanita itu tidak berkenan. Bukankah Salman seorang yang salih? Kurang apa padanya hingga wanita itu menolaknya? Ia telah begitu siap, mahar ditangan, tinggal berikrar saja. Penolakan itu terasa lebih menyakitkan, ya lagi-lagi, karena wanita itu menerima sahabat seimannya Abu Darda, seorang anshar pula. Jika ia bukan seorang Salman, tentulah engkau akan merasa sangat disakiti dikhianati oleh sahabat sendiri. Oh lalu timbullah perasaan membandingkan: memperhitungkan lebih dan kurang, kelebihan dia dan kekurangan diri hingga terperosok pada kufur akan nikmat. Tapi tidak dengan Salman, ia merelakan gadis pujaannya, hasil istikharahnya itu menjadi bunga untuk sahabatnya sendiri. Kau tahu apa yang dilakukan Salman? Ia memberikan seluruh mahar yang telah ia siapkan untuk sahabatnya. “Tidak mengapa sahabatku, gunakanlah harta ini untuk maharnya,” ungkapnya begitu tulus. Luka dihatinya ia sembuhkan dengan pengakuan dan kerelaan. Terpujilah sahabat yang salih ini, semoga Allah kini membersamai Salman dengan bidadari bermata jeli yang dijanjikan di akhirat sana. Lalu, tidak sampai di sana ujian untuk Salman. Saat dilihatnya ada garis kekecewaan pada wajah wanita yang dulu ia cintai, ia begitu resah. Lantas ia bertanya, apa yang terjadi dengan rumah tanggamu wahai wanita yang tengah muram? Wanita salihah ini mengeluh tentang rumah tangga dengan Abu Darda, ia berani mengeluh karena Salman adalah sahabat suaminya, akankah Salman bisa menolong? Wanita salihah yang ia cintai mengalami kegoncangan rumah tangga, karena Abu Darda lebih memilih banyak beribadah dibandingkan menyempatkan waktu untuk keluarganya. Apakah Salman mengambil ini sebagai kesempatan? Sebentar, kita tengok kepada kenyaatan kini. Masih adakah jaman saat ini yang tiada tergoda saat pujaan hati yang dulu, kini datang menyapa dan bercerita tentang dirinya? Ia datang mengeluh tentang keluarganya, ia datang mengeluh tentang hubungan yang hampir rapuh. Ada kebiasaan buruk sekarang kini, tak kurang bodoh dari keledai. Kemungkinan itu adalah menertawakan dia hingga puas, siapa suruh kamu tak memilih aku dan bla…blaa… kemungkinan kedua adalah mencari celah untuk kembali dengan mengatakan, “Sungguh bodoh engkau mau diperlakukan demikian oleh dia, sungguh ia telah menyia-nyiakanmu, mari kembali bersamaku dan tinggalkan ia yang tak mengerti kamu…. Ah, ini keterlaluan untuk seorang sahabat. Ada kemungkinan ketiga yang lebih manusiawi tapi menyakitkan adalah mengatakan: itu masalahmu, bukan masalahku. Mengapa engkau memintaku menanggung masalah yang aku tak mau tahu bagaimana cara menanggungnya, pergilah sejauh-jauhnya. Aku berlepas darimu. Tapi ketiga kemungkinan itu tak berlaku untuk seorang Salman. Teramat baik budi pekertinya, betapa jernih cintanya pada Abu Darda dan wanita itu. Abu Darda adalah sahabatnya yang ia cintai, wanita itu pula adalah wanita salihah yang ia kasihi. Ia menunduk terpekur, apa yang harus ia lakukan agar rumah tangga mereka bahagia sentosa. Sungguh pemikiran yang bersih lagi indah. “Baiklah aku akan berusaha,” ujarnya. “Sore nanti aku akan berkunjung ke rumahmu.” Salman berusaha mencari cara. Sore itu Salman berkunjung ke rumah Abu Darda yang disambutnya dengan gembira. Dengan hati-hati Salman meminta, agar ia bisa menginap di kamar Abu Darda yang kini lebih terlihat seperti mushola dibandingkan sebuah kamar. Abu Darda keberatan, tapi sungguh hati seorang beriman, demi saudara tercintanya, ia mengijinkan permintaan Salman yang tidak biasa tersebut. Saat malam telah menjelang, dan mereka selesai menunaikan salat isya, kemudian berdiskusi tentang agama. Abu Darda meminta Salman tidur lebih dahulu karena malam mulai beranjak larut, “Tidurlah saudaraku, hari sudah malam. Biarkan aku bermunajat kepada Allah terlebih dahulu,” “Demi Allah,” jawab Salman. “Aku tak akan tidur selamanya jika engkau tidak tidur bersamaku, sekarang.” Abu Darda terkejut, “Jangan engkau berkata begitu wahai Salman sahabatku, takutlah kepada Allah.” “Aku tak akan mencabut ucapanku wahai sahabatku, hingga engkau mau sama-sama tidur bersamaku.” Akhirnya Abu Darda pun ikut tidur bersama Salman. Saat malam turun, Abu Darda bersiap bangun untuk melaksanakan salat tahajud. Namun Salman lantas mencegatnya, “Hendak kemana sahabatku, hari masih sangat malam, tidurlah lagi di sisiku, masih ingatkah engkau ucapanku tadi sebelum tidur?” Dan Abu Darda mengalah ia kembali berbaring di sisi Salman. Saat waktu subuh akan semakin dekat, Salman membangunkan Abu Darda, “Bangunlah sahabatku, sesungguhnya sisa malam masih ada. Mari salat tahajud bersamaku.” Dengan keadaan segar bugar mereka segera bersuci, dan berdiri mengangkat tangan sembari takbir, lalu rukuk dan sujud mengagungkan asma Allah. Saat pagi telah datang, Salman disuguhi hidangan yang sangat lezat oleh istri Abu Darda. Sate kambing guling, roti yang lembut nan empuk, gandum yang putih telah ditanak dengan matang dan hangat. Adalah kebiasaan bangsa Arab memuliakan tamu, bahkan ada kisah Arab miskin yang menjamu tamu dalam kegelapan. Agar yang dijamu tidak sungkan dan tidak kecewa, dan si penjamu bisa berpura-pura ikut makan padahal tidak. “Silahkan makan sahabatku,” kata Abu Darda dengan wajah yang cerah, ia tak lagi pucat. Tampak lebih bersinar, mungkin karena tidur yang cukup. “Mari,” sambut Salman. “Tapi maaf saudaraku, aku telah berniat berpuasa,” jawab Abu Darda. “Demi Allah sahabatku, aku tidak akan pernah makan lagi, jika kau tak menemaniku makan sekarang.” Abu Darda terkejut, “Jagalah ucapanmu wahai Salman.” Serunya sedikit marah. “Ayolah makan bersamaku, agar aku bisa mencabut ucapanku.” pinta Salman. Abu Darda membatalkan puasanya, ia bersama Salman makan dengan lahap. Istri Salman melihat dibalik hijab dengan senyuman yang merekah. Selesai bersantap, Salman berpamitan. Namun sebelum keluar ia berpesan dengan sangat bijak. “Wahai sahabatku, sesungguhnya ada tiga hak dalam dirimu yang harus kau tunaikan. Jagalah ia, agar semua terpenuhi. Hak itu adalah, hak untuk Tuhanmu, hak untuk keluargamu, dan hak untuk dirimu sendiri.” Kemudian Salman berlalu dengan pengharapan Allah membuka dan memahamkan Abu Darda akan pesannya. Abu Darda seorang lelaki beriman, merasa jika ia melakukan semua ini karena Allah, lantas mengadukan perbuatan sahabatnya ini kepada Rasulullah. Ya, Abu Darda bukan ingin menghakimi Salman, ia ingin mendapat penguatan dai pesan seorang sahabat itu. Kemudian Rasulullah bersabda: Benar kata Salman. Semenjak itulah keluarga itu kembali sentosa, dan cinta sejati dihati Salman terus mencari tempat untuk ia tebarkan dalam kebaikan-kebaikan yang tak henti. Apakah kau dapati secuil saja kebencian dihati seorang Salman yang merelakan wanitanya dinikahi oleh sahabatnya? Tidak. Ia simpan luka itu dan ia bungkus dengan hati-hati dengan cintanya kepada Allah. Oh, inikah cinta kerana Allah itu? Ya benar saat cinta ini menjadi jalan kebaikan untuk ia yang kita cintai, bukan melukai apalagi membenci. Saat seseorang berjiwa besar terluka, ia bangkit dengan kebesarannya dan berkata: Sesungguhnya aku tak rela engkau bersamanya, namun jika dengan itu engkau bahagia, maka aku ridha. Betapa tulus ucapan itu, ia dimulai dengan pengakuan yang agung, jujur tanpa beban. Jika sebagai seorang manusia biasa, ia memiliki perasaan tak rela cinta yang telah dijaganya berlalu begitu saja, ini sangat manusiawi! Namun tidakkah kita melihat ucapan keduanya? Atas nama Allah yang ia percayai dalam jiwanya: Ia ridha dengan ketentuan Tuhan, dengan melihat cinta yang ia jaga bisa bahagia dengan pilihannya. Inilah point beriman kepada takdir Tuhan, keiklasan. “Telah dikhiaskan kepada manusia cintanya kepada apa-apa yang diinginkan, berupa wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, pera, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah lading. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (surga),” (QS. Ali-Imran: 14). Ya Rabb, jadikan hati ini lebih-lebih-lebih condong dalam mencintaiMu dan kehidupan akhirat dibandingkan dunia. Jadikanlah cinta ini sebagai wasilah mendapat cintaMu. Himpunkan kami dalam naungan kasih dan curahan rahmat dan ampunanMu. Jangan tutup hati kami, jangan sumbat pendengaran kami, jangan butakan penglihatan kami dari memahami dan mensyukuri atas segala nikmat yang Engkau curahkan pada kami. Jangan timpakan pada kami hati yang sakit, yang kemudian Engkau tambah-tambah sakit itu menjadi dalam dan dalam di hati kami. Sesunguhnya Engkau Allah, Rabb Yang Maha Lembut, maha penjaga hati kami untuk tetap hidup. Hidupkanlah hati kami dengan cintaMu. Aamiin.

ROSELA

Aku masih percaya, menulis bisa meredakan segala gelisah dan menumbuhkan banyak sekali harapan. Rasa kehilangan, kepergian, rasa bersalah, penyesalan, keingin tahuan, kebencian, kebahagiaan, kebaikan dan kejahatan. Dalam waktu yang lama, menulis bisa menjadi semacam obat daya tahan. Diapun percaya, sama sepertiku. Menulis ibarat sebuah jalan menuju pulau kebebasan. Menulis seperti berbicara dengan diri sendiri, tentang banyak konsep kebenaran-kebaikan-kebijaksanaan-keberpihakan-kecenderungan. Dan setiap orang berkata padaku dan padanya untuk terus menulis. Ya, mungkin saja mereka khawatir, trauma masalalu membuatku dan nya gila, hilang kendali? Mengapa semua orang meminta terus menulis? Apa yang harus kutulis? Apa yang harus kutulis? Apa yang bisa kulukis dalam kertas? Aku hanya bisa bertanya “apa yang harus kutulis?” Sampai suatu masa ia baca sesuatu yang menghentakkan pikirannya, “bukan... sama sekali ini bukan soal: apa yang harus kau tulis, melainkan apa yang bisa kau bagi dan mesti dibaca orang-orang? *** “Aku tahu perpisahan kita sebentar lagi, mungkin ini saatnya kita jujur satu sama lain,” ucapku padanya. “Jadi selama ini kamu anggap aku berbohong?” bentaknya marah. Tidak terduga, ia mulai berburuk sangka. “Bukan begitu, mungkin ada sesuatu hal yang kau sulit mengatakannya padaku, aku berharap hari ini kau bisa mengatakannya, aku sudah siap.” “Maafkan aku...” ia menghela napas panjang-panjang. Aku menerka ia memiliki sebuah rahasia, dan ini waktunya aku akan mengetahui sebuah ganjalan di hatinya. Mari menyimak, ini waktunya menjadi seorang penyimak yang baik, bukan penyela. Siapkan diri, siapkan diri... aku tersenyum dan mulai meyakinkannya. “Ayolah, ini sudah saatnya, aku tak tahu mungkin tak ada lagi moment terbaik yang akan kita miliki selain hari ini.” “Baiklah, dengarkan aku,” ucapnya mulai tenang. “Kau seorang penulis, emmm ya berbakat sekali menjadi seorang penulis!” “Tidak,” bantahku. “Tapi kau... memang berbakat...” “Tidak, aku hanya bermain dengan diriku, aku bukan penulis,” “Dengarkan aku Rosela...,” ungkapnya tegas. Aku segera insyaf jika aku tak boleh menyela. Baik, diamlah wahai diri, kau tak akan tahu kebenaran jika terus menyela orang lain. “Kau berbakat menulis. Aku tahu semua orang sering kali berdecak kagum dengan tulisan yang kau buat, walau satu kalimat saja entahlah mungkin tulisan kau memang magis. Aku tahu itu, aku tahu karena kau menulisnya dengan sepenuh hati... kau menulis dengan hati, dan itu... bagus.” Aku ingin menyela, tetapi aku merasa, bukan ini yang ingin ia ungkapkan. Baikalh tetap diam. “Kau menulis dengan hati, dan semua tulisan itu pasti berasal dari hatimukan? Tapi rosela bagiku sering kali kau menyakiti. Orang-orang terdekatmu tahu semua isi tulisanmu, dan beberapa tulisanmu seolah-olahah... sudahlah, aku tak pandai berkata-kata.” Aku menggigit bibirku. Sepenuhnya aku yang menguasai aku. Jangan bereaksi apapun. Tenag dulu... tapi yang ia katakan, yang ia katakan... “Rosela, kau pandai sekali menulis, kau mampu membuat semua orang setuju dengan pikiranmu, kau mampu membuat yang salah seolah-olah jadi kebenaran dengan polesan sedikit argumentasi dan juga perasaanmu. Aku tak tahu, dari sudut orang lain kadang yang kau tulis seperti membela diri... aku hanya meminta, kau tulis semua dari hati dengan hati, tapi tolonglah jangan tulis semuanya...” Aku semakin sakit, jiwaku sakit, tapi bibirku terkatup, ada dalam pikirabku yang berkecamuk, tetapi... bukankah aku yang mengatakan telah siap? “Rosela, tulisanmu akan dibaca semua orang. Apalagi kau sangat senang sekali mempublikasikannya, bahkan yang amat pribadi sekalipun, iyakan?” Sudah cukup, aku ingin menyela. Ijinkan aku menyela... “Hanya itu saja Rosela. Apa yang aku ingin utarakan sejak dulu, kini kau sudah mendapatkannya. Aku tak bermaksud menyakitimu, aku sayang padamu.” *** Perpisahan itu tak terelakkan, aku tak tahu bagaimana bentuk perasaannya menahan gejolak atas semua tulisanku. Ya mungkin bukan hanya dia yang tersakiti saat aku menulis, aku telah menulis nama-nama dalam cerita, dan nama-nama itu menggugatku... bukan nama-nama itu menghakimiku dalam diamnya. Banyak nama itu merasa tersakiti? Bagaimana aku ingat tentang naima, nurul, tiara, laila, ilalang, john, habib, niza, dan tentu rosela.... Sejak itu, aku memutuskan untuk tidak lagi menulis. Aku tak ingin ada yang tersakiti. *** Ayo menulis lagi, aku dan nya hanya tersenyum ketika orang-orang berteriak di gendang telingaku dan nya untuk menulis. Bagaimana jika menulis membuatku menyakiti orang lain, bukan mencerahkan orang lain? Gumamku suatu malam. Siapa yang tersakiti hemm? Apakah niatmu menulis untuk menyakiti nama-nama? Tidak. Lalu jika satu kali ada satu dua orang yang merasa sakit hati dengan tulisanmu, apa kau akan langsung berhenti? Aku tak tahu, dia orang yang aku cintai, ia telah jujur padaku. Rosela, dengarlah. Pembaca itu hanya penebak-nebak, termasuk yang dekat yang jauh, kau hanya menghujamkan perasaanmu dan tulisanm mengalir, lalu apa salahnya kau menulis dan membuat pembacanya tersakiti atau terhibur atau tercerahkan? Kau tidak salah, kau berhasil, kau bisa membuat semua orang merasa terlibat! Tapi, inspirasiku memang datang dari sekelilingku, aku tak bisa menampikkan semuanya! Rosela, bukankah itu sesuatu yang pasti? Seorang pedagang pasti menulis tentang untung rugi perniagaan, seorang guru pasti menulis tentang apa yang ia kuasai, lalu kau? Sebuah kepastian kau menulis dari apa yang terdekat dan terjangkau. Jangan bela aku! Aku tak ingin menulis jika menyakiti orang lain! lLebih baik jadi batu saja, batu yang tak bisa bicara, yang tak bisa bergerak, tak mencubit hati orang lain, tapi batu masih bisa jatuh dan terpecah-belah dalam ketakutan pada Allah... aku hanya ingin jadi batu saja. Rosela! Tuhan telah karuniakan kamu akal sehat, mengapa kau menyalahi dirimu! Tidakkah engkau bersyukur dengan karunia itu? Mengapa kau menjadikan batu seperti pelarian? Tidak, maksudku bukan pelarian, batu itu hanya umpama. Aku hanya ingin seperti maryam, yang kala ia melahirkan ia bergumam, sebaiknya aku menjadi pohon lalu mati dan terlupakan... Sudahlah, susah berdialog dengan mu rosela! Kau terlalu membela diri, kau terlalu merasa benar dengan dirimu, kau terlalu menyebalkan dan keras kepala... *** Akhirnya, semua orang menyerah memintaku dan nya untuk tetap menulis. Ada dalam diriku yang hilang dan dengan sendirinya. Aku menghilangkan diri tanpa disadari. Menjelamakn diri seperti abu yang diterbangkan angin. Lalu pada ujung hayatku, rosela menjelma batu yang bisu dan tuli. Lenyaplah, 60 tahun hanya waktu singgah sebentar. Sedang beberapa helai tulisannya menjadi perbincangan, andai saja ia tak begitu... andai saja ia tak memiliki pikiran yang salah. Menulislah dengan hati, dengan kejujuran, dengan niat yang baik, pikiran yang baik, bacaan yang baik, maka akan lahir karya yang baik. Baik? Kata itu terlalu abstrak. Tapi kebaikan adalah sesuatu yang menenangkan. Jadi? Hm... Tulislah yang menenangkan. Tuhan semoga memberkati para penulis. (Az, 22/07/15).