Jumat, 11 Maret 2016

Sepenggal LPDP (Catatan 3)

Bagaimana wawancara LPDP? Memakai bahasa Inggris atau tidak?
Sebenarnya tergantung PTN yang kita tuju, kalau misalkan PTN nya LN (luar Negeri) ya otomatis kita akan dijajal dengan kemampuan bahasa asing. Walau begitu, kadang yang universitas tujuannya dalam negeri (DN) sekalipun, sering ada penguji yang menggunakan bahasa asing, mungkin untuk menguji mental pelamar, atau ya untuk mengetahui kemampuan bahasanya, apakah ia siap dikirim ke LN? Jadi teringat, sebelum berangkat, lagi-lagi Mr. D memberi saran, “Kalo ada pewawancara yang bertanya siap atau tidak jika kuliah di LN, jawabnya “iya” yah!” Waktu itu masih protes? Kenapa harus iya, kan kalo gak mampu bisa repot sendiri kan? Bahasa itu bisa dipelajari, kalo sudah dicemplungkan ke sana, masa gak bisa terus menerus? Kesiapan kita menandakan kita siap belajar. Mungkin itu maksud saran beliau... Jadwal wawancara ku cek di email LPDP, jelas menunjukkan pukul 09.30, yah berarti besok minimal jam 8 sudah harus berada di lokasi. Hari ini menginap di siapa? Pertanyaan ini beberapa hari lalu sudah diantisipasi. Seorang teman di GMT mengontak adik kelasnya yang kebetulan dekat dengan lokasi wawancara, katakan Teh Selma di Turangga. Jam 17.30. Hujan rintik-rintik. Abi dan beliau salah paham, abi menuju ke kostannya, eh beliau malah menjemput abi di GKN, akhirnya gak ketemu dong. Bingung juga, harus turun di jalan Turangga. Dan ternyata turangga ada 2, barat dan timur, sebelah mana ya? Tepat ketika adzan tiba, abi menemukan petunjuknya, berhenti di jalan Turangga no sekian, dan tanyakan kosan bu popon, masuk saja ke kamar karena gak dikunci pesannya. Ternyata oh ternyata kosan bu popon pun ada 2, dan abi tersesat di kostnya bu popon yang salah, walau tak apa karena di sana malah kenalan dengan teh Selva. Teh selma mencari-cari, padahal sebelumnya kita ketemu loh, waktu beliau parkir motor dan abi menanyakan arah kiblat untuk solat magrib (solat di kamar teh selva) karena teh selva sedang ke luar sebentar. Waktu itu teh selma jawab dan anteng saja, tidak peduli abi kok nanya arah kiblat, kaya orang baru... Selesai solat teh selva datang, dan teh selma terus menghubungi via WA dengan kepanikan luar biasa, takut abi salah kosan salah kamar dan sebagainya... akhirnya kesalah pahaman terurai. Teh selma menjemput ke kosan teh selva, balik lagi.... Loh kok malah bahas orang tersesat ya, yang jelas di kamar teh selva dan teh selma abi melihat daftar buku yang abi inginkan... Dunia sofi 1 dan 2... dan sebagainya.... Alhamdulillah dapat beristirahat. Sedikit banyak cerita dengan teh Selma, sebelum tidur berbagi banyak hal, mencari solusi dari beberapa masalah sehari-hari. Beliau sebagai seorang akuntan mengamini, kesamaan harta dan ilmu = jika harta atau ilmu berada pada orang yang salah, maka ia akan membawa kerusakan yang lebih signifikan. Maka pastikan ilmu dan harta dikuasai oleh orang yang beriman. Esok harinya, abi dapat informasi dari seorang ibu yang sudah lebih dahulu di wawancara (beliau s2 entah s3 farmasi di UI), bahwa rangkaian wawancara adalah menguji kemurnian karya tulis (3 esai yang kita tulis), baiklah sambil gulutak-gulutik dibaca lagi esai-esainya, studi plan, sukses terbesar,dan kontribusi. Selesai baca karya tulis, dilihat lagi tulisan data diri, di dalami, mana yang diupdate, reviewer pasti mengenali kita lewat data diri kan? Tak lupa juga mencari tahu lebih banyak tentang jurusan S2 yang akan kita ambil, semisal dosennya siapa, mata kuliahnya, jumlah SKSnya, sampai thesis yang akan dilaksanakan apa? Wah pokoknya parno setengah aneh. Dengan iseng teh selma mengajukan pertanyaan. Jawab ya teh: Apa alasan terkuat teteh ingin melanjutkan S2? Abi menghuleng sementara, mungkin ini pertanyaan utama, abi sendiri bingung, “iya kenapa ingin S2 ya?” jadi ingat pertanyaan pernah abi renungkan, kenapa ingin S2, buat apa? Ya karena Allah... (sambil bingung), abi merasa tidak memiliki ilmu... abi harus bermanfaat untuk orang lain, tapi ilmu abi kok gak ada, bagaimana bisa bermanfaat? Terus tantangan mendidik anak sangat beragam, tapi kemampuan yang ada pada kita terbatas.... S2 ya untuk menmabah ilmu... ehhhh, apalagi ya teh? Abi gak tahu, ucapku putus asa. Tidak ada sedikitpun jawaban ilmiah yang logis yang bisa abi tuturkan, itu malah semacam curhat atas ketidak-mampuan abi.... Teh selma tersenyum, suka jawabannya teh: 1. Merasa belum cukup ilmu pendidikan (anak), 2, ingin menjadi salah seorang kontributor dlm perbaikan pendidikan anak, ya sesuai passion teteh... 3. Menambah keilmuan dan networking, dan 4. Membahagiakan orang tua.... Abi merasa tercerahkan... mungkin harus meluruskan niat dan memperjelas alasan lagi. Pertanyaan ke 2 ya teh, kata teh selma... 2. Apa energi terbesar yang teteh miliki jika S2 teteh mengalami hambatan (tantangan) luar biasa? Abi bengong, gak tahu masa depan studi abi gimana, yang penting jalani, nikmati, da ada Allah yang Maha Besar. Ucapku polos-polos saja. Teh selma tersenyum lagi-lagi, “Bagus teh!” ucapnya, “tapi lebih baik lagi kalo ada alasan teteh yang berhubungan dengan jawaban ke 1 tadi tentang mimpi teteh tentang pendidikan,” ucapnya. “Misal?” ucapku tak paham. “Ya misal, saya akan teringat wajah anak-anak yang sedang menunggu saya. Maka saya harus segera menyelesaikan studi dan pulang menemui mereka, dan mengaplikasikan apa yang saya ketahui dalam mendidik mereka dengan sepenuh hati...” Abi terbengong dengan kalimatnya... membayangkan wajah anak-anak yang mungkin sedang menunggu abi pulang dan selesai S2 tepat waktu? Allahu Akbar, malu.. abi malah sering memikirkan diri sendiri saja. Ingat kawan GMT yang berseloroh, kalo di asramanya ada yang lagi malas maka tegurannya adalah, “Ingat ummat sedang menunggu antum!” Ummati, ummati, ummati.... Teh selma menjelma jadi seorang viewer plus memberi jawaban alternatifnya. Siap teh, abi siap di wawancara hari ini, apa adanya! Trettt tidak terasa kita melakukan audiens cukup lama, jam 07.00 teh selma sudah mau berangkat, kita keluar kostan, jalan kaki, sebelum berpisah kita sepakat untuk berfoto bareng.... dan itu akhir dari pertemuan kita sampai saat ini. selalu menyisakan pedih, ada satu hal yang tidak ingin abi lewati, meminta nasihat terakhir sebelum berpisah... beliau menceritakan pengalamannya dan intinya adalah: Kalo kita merasa lemah, sakit, dsbnya, yakinlah teteh, kalo Allah itu maha kuat, dan Allah akan menguatkan kita. Jika kita lelah dan lemas karena saum, yakinlah kita tak akan mati karena saum karena Allah langsung yang menguatkan tubh kita walau tanpa makan dan minum. Abi jadi ingin nagis #baper kalo sudah begini..... Kita berpisah, jam 08.30 abi tiba di GKN. Melakukan absensi dengan deteksi kartu peserta. Satu jam menunggu dengan ditemani buku EREBOS karya Ursula P. Mata sudah kesemutan, ketika nama sendiri disebut mesin pengumuman. Bismillah, terasa panas dingin, beberapa WA masuk, kujawab saja, mohon doa, ini detik-detik mau wawancara... Sliingng, riviewer memanggil namaku... abi masuk ke ruangan dengan perasaan yang tidak tahu bagaimana rupanya. Ya Allah plis jangan pakai bahasa Inggris ya Allah... Tiga orang penguji duduk di hadapanku, dua orang ibu, dan satu orang bapak. Seorang ibu menyodorkan alat perekam, berkedip merah. “Ibu Eli?” tanya bapak itu. “Ya, betul.” Ucapku, mudah-mudahan tidak kentara kalau sedang panas dingin. “Perkenalkan, saya Mr. X dari Universitas Brawijaya, Ini Ibu Y dari IPB, dan itu Ibu Z dari UI.” Saya mengangguk. “Boleh saya ajukan pertanyaan pertama? Eli ya, kamu dari PGSD ya, melanjutkan pendas, apa motivasi kamu ikut LPDP?” Abi merasa lupa dengan semua jawaban yang sudah disusun sedemikian rupa dengan teh selma, yang terbayang di kepala adalah pendidikan, entahlah kenapa abi jadi merasa lebih bisu dari apapun. Abi bingung menemukan kalimat pertama.... yang keluar malah problematika pendidikan anak sd, abi melihat pendidikan ada yang harus dibenahi (sambil merutuk diri mengapa malah tema ini yang muncul, Allahu akbar, apa abi ini seorang eli mau membenahi pendidikan, waduhhhh!!!!) “Lho emang pendidikan dasar ada masalah apa?” Tanya ibu Y. “Anak-anak terlahir dengan firah dan potensi masing-masing, tapi pendidikan sekarang terkesan di sama ratakan dan kurang menghargai fitrah tersebut.” “Tapi itukan tuntutan kurikulum?” “Di sana pointnya, hal tersebut akan jadi tantangan, (ujarku semakin kurang ajar, astagfirullah.....), bagaimana mengemas kurikulum itu agar sesuai dengan fitrah atau potensi masing-masing anak? Oh gitu ya... Ibu Y melanjutkan pertanyaannya. “Eli sejak kapan Eli yatim piatu?” Allahu Rabbi... Sejak mula saja, perasaan abi sudah tak karuan, tak bisa lagi menyembunyikan, kebahagiaan, kesedihan, cape, lelah, haru, nelangsa dan sebagainya datang memutar banyak kenangan masa kecil, masa lalu, masa-masa yang terus memaksa diceritakan dengan detail... Mungkin ini sesi wawancara terkacau... jika mendengar lagi rekamannya abi kayanya mau menghilang saja dari peredaran, atau membuat liang saja, terbata-bata, suara bangau serak dan cengeng... menjawab setiap pertanyaan yang terus menggali hal-hal yang sudah tak ingin diungkit lagi... Jika ayah meninggal sejak usia 4 tahun siapa yang menanggung nafkah keluarga? Jumlah kakak? Bagaimana nasib kakak sekarang? Siapa yang membiayai sampai bisa sekolah sekarang? Perubahan apa yang sudah Eli lakukan di sekitar? Berapa orang yang sudah terinspirasi? Allah... Pertanyaan jebakan semua... :’( Dan disesi pertanyaan terakhir, ibu Z yang dikenalkan Mr. X, sebagai psikolog memberi pertanyaan: Dari hati eli yang paling dalam, ingin menjadi apa eli ini? Ingin jadi apa? Ingin jadi Ibu Rumah Tangga. Hahahha.... Ibu Rumah Tangga yang bisa menginspirasi para ibu lain, jika pendidikan dalam rumah adalah pondasi dan AMAT SANGAT penting (efek ikut grup HEBAT di WA), ditularkan melalui/oleh abah fikri. Hah? Menjadi inspirasi para ibu? Gugulitikan da sigana itu reviewer.... “Baik Eli, kamu tahu gak simbol laki-laki dan perempuan? Coba gambar di sini.” Ibu Z menyodorkan sehelai kertas di hadapanku. “Pelajaran IPA ya? Kalo gak salah begini...” aku menggambarkan tanda feminim dengan lambang O dikasih pita seperti tambah, dan maskulin dengan O yang diberi tanda panah di atasnya. Ya benar seperti itu, tapi itu bukan pelajaran IPA, tahu maknanya? Enggak tahu... ucapku terang saja tak tahu maknanya apa siapa pembuatnya kapan tercetusnya lambang tersebut... tidak tahu. Lihat ini lambang laki-laki, panah ini diibaratkan panah atau tombak untuk berburu, tugas alaki-laki adalah mencari nafkah berburu... lalu ini lambang perempuan, kamu tahu ini gambar apa? Pita! Tebakku asal. Bukan, ini adalah cermin, tugas perempuan adalah mempercantik diri di depan cermin. Jadi klop, selesai suaminya berburu, keadaan cape setelah cari nafkah, dan datang ke rumah di sambut istri yang cantik, yang rajin dan pandai berdandan untuk suaminya. Begitulah peran perempuan dan peran laki-laki secara fitroh. “Sekarang banyak tertukar ya bu? Desus LGBT, menyalahi fitroh berarti.” “Ya sekarang kebalik, laki-laki bawa cermin, perempuan bawa panah. Dunia sudah terbalik-balik...” Aku ikut berkomentar, “Mungkin perempuan bawa panah saat ini sudah banyak bu, tapi laki-laki bawa cermin masih jarang sepertinya.” “Walah Eli, kamu sekarang tinggal di mana say? Kalo di kota besar kaya Bandung Jakarta, laki bawa cermin itu buanyaaakkk, ke salon dandan lah, perawatan lah....” “Di Rancabango Bu, hehhee” Ibu Y nimbrung, “Oh jadi sekarang tinggal di Racabango? Saya ada saudara di sana, eli tahu pesantren jjdjdbjsbcjksy gak?” “Enggak tahu bu!” “Oke terimakasih ya, Mr. X ada yang mau ditanyakan lagi?” ucap Mrs. Z. “Enggak, udah tadi, cukup.” Oke, kata Mr. X, semoga sukses ya!” Aamiin, ucapku sambil pamitan, suaraku masih serak bangau. Walau dengan ingsrek-ingsreukan, lega sudah selesai... dan para calon yang mau diwawancara pada shock lihat aku, “kenapa mbak? Are you okey?” Gak diapa-apakan? Gimana di sana, baik-baik saja? Dengan anggukan aku jawab, baik, gak ada apa-apa. Mereka masih saja tak percaya, sampai abi jawab lagi, “serius, gak kenapa-kenapa...” Entah nanti bagaimana hasilnya, Allah tahu yang terbaik, kita tunggu tanggal 10 Maret 16. Lulus tidak lulus, Allah tahu yang terbaik untuk hambanya, sejauh ini tetaplah berbagi, tetaplah belajar, tetaplah belajar, tetaplah belajar.... Jangan ingin terus sempurna, jangan ingin terus benar dan takut salah, jangan menuntut diri untuk hal-hal yang fantastik, belajarlah dari segala hal yang telah dilewati... sederhanakan sikap, akui kekurangan, hargai kelebihan, minta nasihat, minta maaf, memaafkan, melapangkan seluas-luasnya... mendoakan yang terbaik untuk semua orang dan segalanya. Allahumma auji’ni an askuro ni’matakallati an’amta alayya walidayya, wa’an ‘amala solihang tardo wa adkhilni birohmatika fi ibadikas sholihiiin.... Ya Allah, pangeran abdi, ilhamkankan kpadaku untuk sennatiasa mensyukuri nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orangtuaku, dan agar aku dapat beramal dengan amal yang Engkau ridhoi, dan dengan rahmatmu masukan aku ke dalam golongan orang-orang yang shalih... Alhamdulillah bi ni’matillah... Az. (25/02/16)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar