Aku ingin mengatakan kepadamu, kejujuran, bukan dusta. Bahagia itu Sederhana. Akan kubisikkan itu setiap pagi, dan engkau akan percaya, bahwa hati kita telah bahagia melalui cara-cara yang sederhana.
Senin, 27 Juli 2015
MARYAM
“Aduhai celaka, alangkah baik seandainya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tak berarti, lagi dilupakan.” (QS Maryam: 23)
Untuk Maryam yang tak akan dilupakan oleh Tuhan bahkan saat dirinya ingin dilupakan. Untuk juang yang menyisakan perih dalam pelajaran yang agung, Tuhan mengabadikan namanya dalam satu surat kitab suci mulia. Untuk Maryam, yang cintanya menghaluskan semesta, menundukkan langit, dan menjadikan dirinya rendah tunduk pada ketentuan Rabbnya.
Adalah hakikat angin untuk pergi lalu dan lalang. Adalah hakikat daun untuk busuk, tua dan jatuh. Adalah kematian, sebagai hakikat tinggi semua yang hidup. Adalah keberadaan sebagai hakikat dari penciptaan. Sedang aku lupa, hakikatku sendiri.....
Bukan aku yang Maryam. Dia adalah seseorang bernama Maryam, perempuan tentu saja, aku laki-laki. Bukan maryam yang itu, ini adalah Maryam lain. Sedang ceritanya selalu mengikutiku, kemanapun aku pergi, ada suara-suara memanggil, pilu. Apa sebab ia memangil? Mungkin ini tentang kepergiannya yang tak kuketahui, di sana ada separuh dosa dan sesal yang kusembunyikan.
***
Suatu hari dengan menangis Maryam menemuiku, memintaku melakukan sesuatu yang tak bisa kulakukan saat itu.
“Tolong lah aku, Ndra,” ia sering memanggilku Ndra, padahal namaku bukan itu. Sejak kali pertama kita berpapasan, dan ia mengikutiku dan memanggil-manggilku dengan “Ndra” sementara namaku bukan itu.
“Kenapa? Minta tolong kok ke aku? Aku bukan dewa loh...,” seperti biasa aku bercanda dengan antusias kepadanya. Entah ada sebagian dari hatiku yang cenderung kepadanya. Cenderung sayang.
Dia menggigit bibirnya kuat. Setelah lama kutunggu, yang keluar bukanlah kata. Ada seorang perempuan menangis dihadapanku, itu serba salah.
“Hei kok nangis?” ujarku tidak enak. Airmata itu ia usap, dan mulai menenangkan diri, bibirnya yang mengatup kini bergerak-gerak lambat ingin mengucap sesuatu yang berat.
“Aku mengandung, Ndra.”
Kabar ini bagiku seperti sayatan yang diberi garam. Perih! Maryam mungkin bisa melihat bagaimana aku begitu terpukul. Kecenderungan hati itu, tak menyisakan lagi harapan.
“Setahun lalu aku menikah dengan pemuda bernama Andra. Kami menikah diam-diam, hanya keluargaku yang tahu,” perempuan itu berkata lirih.
“Lalu? Mengapa kau bersedih? Apakah suamimu meninggalkanmu?”
Maryam, perempuan itu menangis lebih hebat lagi. Ia menggelengkan kepalanya. “Andra tak mungkin meninggalkan kami.” Ucapnya seolah berteriak.
“Tentu saja, karena kau begitu baik hati dan tak bisa bedakan mana lelaki yang culas!” ujarku geram.
Maryam tak lagi menjawab. Kesimpulannya membuatku menyesal telah berkata demikian keras, “Kamu tentu tak bisa menolongku.”
Perempuan ternyata memang sulit ditebak, ia tak lagi menjelaskan “apa yang bisa kulakukan” untuknya, kemudian pergi meninggalkanku yang diliputi rasa bersalah.
Esok harinya aku berusaha menemuinya dengan niat minta maaf, tapi dua jam aku berdiri di depan rumahnya tak menghasilkan apa-apa, selain desau bambu dan gonggongan anjing kampung.
“Mencari Maryam?”
Aku mengangguk. Senang ada seseorang yang bisa menjelaskan kepadaku perihal perempuan yang entah mengapa aku begitu mengkhawatirkannya.
“Dua hari lalu pergi, entah kemana. Mungkin nanti siang atau sore kembali. Mungkin pulang ke rumah orang tuanya di kota T.”
Semua serba mungkin, aku tak bisa percaya.
“Apakah Maryam sering keluar begini?” Aku berpendapat jika sudah kebiasaannya, kata “mungkin” bisa saja menjadi “kebenaran”.
“Tidak, biasanya ia senang tinggal di rumah. Dan orang tuanya yang akan mengunjunginya.”
Aku tahu, jika kata “mungkin” itu terlalu abstrak. Dengan masigul kutatap lagi daun pintu rumahnya, siapa tahu, tiba-tiba saja ada yang menggerakannya dari dalam. Rupanya itu hanyalah inginku, tidak akan pernah ada pintu yang terbuka jika penghuninya pun tak ada. Tapi siapa tahu? Angin bisa saja menggerakannya bukan?
Sesampainya di kosanku, aku berusaha mencari tulisan-tulisan Maryam yang berserakan dimana-mana. Benarkah aku Andra? Ternyata Andra itu suaminya? Apakah aku suaminya? Sering dalam tulisan itu Maryam berkata panjang-panjang, jika aku adalah Andra, bukan namaku sekarang. Sikapku mengingatkannya pada Andra, bahkan kebiasaanku berpakaian adalah jelmaan Andra, bahwa caraku berjalan, berbicara, dan manatapnya adalah milik Andra. Apakah aku Andra? Sungguh, aku lupa. Siapakah aku?
Kepalaku oh berputar! Pusing tujuh keliling. Aku membiarkan diriku tenggelam, lalu mata terpejam lelap karena rasa mual pun menyeruak. Semenjak itu, aku tak berani lagi bertanya, siapakah aku? Kepalaku oh berputar. Tak ada lagi pertanyaan.
Mungkin saja aku lupa, dan akan selalu lupa. Juga maryam yang telah pergi dengan sisakan sesak dadaku. Sedang benci dari keluarganya tak lagi dapat kuhapuskan, aku yang telah meinggalkannya? Benarkah?
Aku kebingungan, tentang diriku, akan selamanya menjadi manusia yang tak tahu asal-usul. Jika saja, aku tak temukan jawaban. Tentang kejadian di masa itu.
Apakah lupa itu hanya dapat terjadi karena benturan keras? Apakah lupa bentuk amnesia itu hanya karena kecelakaan? Sedang aku baik-baik saja, tak ada yang kurang, tak ada yang sakit, tak ada kecelakaan.
Sebuah handphone namak di bawah kertas-kertas. Apakah ini handphoneku? Tentu saja, karena ada di dalam lemariku. Lemariku, ini daerah terlarang. Aku berusaha mencari-cari jawaban di sana, apakah aku melupakan sesuatu, atau meninggalkan sesuatu. Setahun ini, aku lupa bahwa dunia telah maju, dan handphone adalah kebutuhan yang telah menjadi primer. Lalu dimana nomor handphone keluargaku? Tak pernah ada kecuali satu nama di daftar panggilan: Maryam. Nama yang tak pernah kutambahkan sebagai kontak, tapi ia telah ada.
Apakah ini tanda? Aku dan maryam adalah (pernah) dekat?
“Mengapa aku tak menghubunginya sekarang?”
“Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau..........”
***
Jika semua telah sampai pada hakikatnya, lalu apa yang tersisa?
Apakah lupa, jika Tuhan adalah satu-satunya yang menciptakan hakikat?
Itukah sisa dari segala hakikat?
Kau lupa?
Ah Tuhan. Bukankah tak pernah lupa, tak melupakan, tak mungkin dapat dilupakan?
Bulan berlalu dan aku melakukan semua rutinitas sebagai seorang perantau yang bekerja penuh waktu di sebuah lembaga swasta. Lembaga dengan cabang dimana-mana. Suatu hari nama Maryam berkedip masuk ke kotak masuk, rupanya itu pemberitahuan dari operator saja, bahwa panggilanku beberapa kali di minggu ini sampai ke nomor Maryam. Itu tandanya: sudah aktif!
“Maryam!” aku kegirangan.
Lambat suara itu hadir, tersedak oleh perasaan yang campur aduk. Suara berat memulai percakapan itu.
“Ini Bapak, Ndra..”
Dengan kegamangan aku menerima dipanggil sedemikian. Dengan masih terguguk suara berat itu melanjutkan kata-kata, singkat saja. Isinya beruapa kenyataan bahwa Maryam tak akan dapat lagi kutemui, selamanya dalam wujud yang bisa terindrai.
“Bukankah engkau suaminya? Mengapa kau tidak bertanggung jawab!” bentaknya diujung berita.
Aku suaminya? Aku sendiri lupa bagaimana caranya aku menjadi seorang suami dari perempuan yang meluluh lantakkan kecenderungan itu.
“Aku bukan Andra Pak. Aku Nurdin!”
“Ya, jelas persis kau Andra. Lihat ini nomor siapa, hah?”
Aku tercekik, dari mana nama Nurdin kuperoleh? Aku hanya menerka-nerka, saat bekerja orang-orang memanggilku Nurdin.
***
Adalah Maryam, istriku, yang telah membawa semuanya pergi. Juga Imran, bayi kecil kami yang juga ia bawa pergi. Kenangan itu kabur, entah sejak kapan dan mengapa aku terkena penyakit lupa ini. Sedang Maryam adalah istriku, tak mungkin aku lupa. Tak mungkin! Tetapi itulah manusia. Aku pun manusia. Hanya Tuhan yang tak pernah melupa.
Tasikmalaya, 15 April 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar