Senin, 27 Juli 2015

SIDANG SKRIPSI (2)

Masih juga belum baikan, tapi harus tetap banyak bersyukur dan bersabar. Ketika seorang hamba sakit, satu kesakitan itu dihitungnya satu penghapus dosa. Mungkin ada dalam diri kita yang hanya bisa bersih, jika kita mengalami sakit. Aku melihat temanku rona wajahnya memerah, sangat merah. Humaira, mungkin aliran darahnya naik ke kepala, karena panik, dag-dig-dug. Ia tengah menanti giliran untuk masuk ke ruang sidang. Denga sedikit bercanda, kusapa saja, biar sedikit cair dan tak gugup, “Teh, eta pipi meuni beureum, cantik teh, kemerah-merahan, humaira....!” Dengan masih gugup ia menjawab, “Teteh oge sami, beureum, hehehe... duh kumahanya engke?” Well, temanku yang satu ini, memang parnonya lebih akut, banyak cemasnya, dan itu hanya ada dalam kepala, realitanya tidak seperti yang ia pikirkan. Bolak-balik penuh kecemasan, tapi sepertinya ia mulai mampu menguasai dirinya. Dengan langkah yang pasti, ia masuk ke ruang sidang. Dan aku menyimaknya di luar dengan hati-hati. Semua berjalan baik-baik saja... Tuh kan! Air mengalir, waktu bergulir, jalan terbentang, semua pada tempatnya, tak ada yang terjadi, selain isi kepala yang terlalu banyak menerka. Aku sendiri bolak-balik di koridor, Dr. Arli masih asyik dengan Teh Mira, Drs. Edi juga bolak-balik bertanya ke kang Indra. Tak kunjung usai, keluhku... Entah mengapa kondisi seperti itu seharusnya membuatku lebih banyak persiapan, tapi ada rasa hati ingin segera selesai saja, as soon as posible! Akhirnya yang ditunggu, kunjung selesai pula. Ibu Arli mempersilahkanku, dan meminta jeda untuk menunggu Pak Ed yang masih di ruangan sebelah. Bismillah, rasa tegang sedikit demi sedikit pudar, aku merasa bahwa ini adalah untuk belajar, untuk jujur pada proses, untuk siap hadapi apapun. Pak Din membantu Bu Arli menghadirkan Pak Ed yang sudah sumringah siap sedia dengan pertanyaan, pernyataan, dan lain sebagainya (mungkin). Menuliskan bagian ini, sedikit sulit, karena intinya berada pada titik lemah skripsi yang dibuat. Pak Ed mempersilahkan ibu Arli memimpin persidangan. Sebagai terdakwa yang sakit gigi, aku diminta menjelaskan penelitianku selama 7 menit saja. Mungkin tidak sampai 7 menit, aku sudah terdiam, dan ibu mulai bertanya kepada.... “Apa itu sastra? I not found it, saya tak menemukan definisi sastra dalam skripsi ini.” Memang beruntung, subuh tadi sempat baca buku Wellek dan Waren tentang Teori sastra, dan halaman satu itu percis sama dengan pertanyaan ibu. What the meaning of....? “Sastra adalah kegiatan kreatif, hasil seni, keindahan. Di skripsi itu ada di bab II tentang apa itu sastra anak.” Itu sastra pengertian siapa? Dan sebagainya.... Terus bergulir pertanyaan, hingga pada satu tanya ini: Apakah skripsi, termasuk sastra? “Skripsi termasuk karya ilmiah yang mesti ditulis dengan bahasa formal dan ilmiah. Bahasa sastra dan bahasa formal ilmiah tentu berbeda.” “Apakah bahasa skripsi ini sudah ilmiah?” Wew, ini jebakan bathman. Entahlah, apakah skripsiku karangan bebas atau memang ilmiah, aku tak mengerti dengan gaya penulisanku. Seharusnya seorang profesional bisa membedakan, dimana dia menulis karya ilmiah dan dimana ia menulis karya sastra yang estetis. “Peneliti masih belajar bu,” ucapku. “Ini banyak kata sambung di depan kalimat, ini misal kata “sehingga”,.. tapi tidak tahu ya, saya bukan ahli bahasa.” Pertanyaan kembali tentang latar belakang dan bab II. Ibu lalu persilakan Pak Ed. Aku tak tahu apa yang akan terjadi padaku, sebisa mungkin fokus pada sikapku, agar tidak menyebalkan. Sambil membolak-balik buku produk, Pak Ed mulai membuka persidangan babak 2. “Ketika anda membuat biografi seseorang, anda mesti hati-hati, berbagai unsur budaya dan sejarah akan bersatu padu dengan ketokohan itu. Saya jadi ragu setelah baca buku ini, apakah buku ini fiksi karangan anda atau memang fakta?” Jleb. Masih belum paham, kemana angin berlabuh, kemana arah pembicaraan Pak Ed. “Misal ini UIN, anda tahu istilah UIN ada tahun berapa? Dulu baru ada istilah IAIN. Mengapa di buku ini istilah UIN suda ada sejak Acep kecil? Saya kenal Acep, kita satu daerah, walaupun ya mungkin beliau tidak kenal saya. Dulu pernah bareng ngaji/sekolah... (kira-kira begitu redaksinya).” Ya, ini kekurang hati-hatian peneliti. Saat wawancara pak Acep menyatakan UIN dan meralat kembali dengan IAIN, tapi peneliti menuliskan di naskah lengkap dua-duanya. Transkrip wawancara tersedia di lampiran. Lanjut kembali dengan ungkapan kecewa beliau, membaca judul skripsinya saya membayangkan isi skripsinya tentang para sastrawan... kan sastrawan lokal banyak, mengapa kok isinya satu dan fokus AZN saja? Lebih baik jika anda keukeuh ingin menggunakan data-data ini, anda rubah redaksi judul skripsi. Terus saya juga terganggu dengan kata lokal, saya tahu eksistensi Pak Acep, dan beliau kalau dalam pandangan saya sudah bukan lokal lagi, tapi internasional. Lokal di sini itu kurang tepat, terlalu ambigu maknanya. Bla-bla-bla... sampai dibantai pula teori-teori di bab II, dan tentang sastra anak berserta hubungannya dengan buku cerita anak. “Intinya buku yang Anda buat itu buku cerita anak, bukan buku sastra anak! Jadi yang di BAB II fokus ke variabel yang anda teliti. Apa coba variabel penelitian anda?” “Buku cerita anak, sastrawan lokal...” jawabku. “Nah, ituh!” Bu Arli dengan sedikit tersadar, ikut menimpali, “Iya pak Ed, tadi saya ke bawa arus loh. Saya malah bertanya sastra. Padahal lihat judulnya kan buku cerita anak. Hehe...” Coba anda sebutkan variabel penelitianya, mana variabelnya, tidak ada di skripsi Anda ini. Hukhukhuk, dengan sedikit memberanikan diri, “Dalam penelitian kualitatif, variabelnya diletakkan pada definisi operasional pak,” ucapku. “Maa coba tunjukkan ke saya mana DO nya?” Tanganku bergetar, ada kok, tapi sudah saya bolak-balik kok tetep gak ada, cek di daptar isi kok gak ada, ada deh di bab II atau bab III. “Mana?” ulang bapak, seolah ingin menunjukkan kalau.... ah sudah, fokus eli, lebih tenang eli. “Ini pak, halaman 38.” Jawabku. “Variabel itu beda dong dengan DO. Coba anda jelaskan operasional itu apa?” Aku jadi inget pak prof waktu bertanya apa itu teori, ya Allah tolong hambamu... T_T “Operasional, yang dioperasikan.... yang di...” “Nah kalo ini bukan yang dioperasikan, ini mah kamus leksikal. Variabel itu nanti yang akan jadi batasan penelitian!” Sebenarnya perkataan ini sudah kutelan beberapa bulan terakhir dari Dr. Dian, tentang DO yang kubuat. DO oh DO! Dan itu memang sudah jadi batasan, dan dijadikan instrumenku. Ah sudahlah... itu tak penting hari ini, membela diri hanya akan memperlihatkan ketakberdayaan saja, semakin runyam kan. Aku membiarkan semuanya dengan berbagai tafsirnya, toh ini kesalahanku. “Oh ya, coba anda buka halaman 1, itu redaksi itu menurut siapa?” Menurut Brucher dalam Musthafa, pak? jawabku tak paham. “Coba anda bandingkan dengan yang di bawah, yang kata Huck.” Menurut Braser dalam Musthafa menyatakan bahwa.... Huck dalam Musthafa menyatakan bahwa... “Bandingkan, jadi yang benar itu yang bawah. Dan di skripsi anda ini, saya menemukan banyak seperti itu. Kalau anda teliti mungkin skripsinya tak akan setebal ini.” ucap belia sambil tertawa kecil. Aku ikut tersenyum saja, oh masa banyak yang begitu, nanti di cek ah, tak berani bertanya balik, coba tunjukkan mana saja pak? Duh kurang ajar tenan ini anak mungkin jadinya. Well setelah di cek di bab I dan bab II, hanya itu satu-satunya redaksi yang double-double... hehehe :P geli jadinya... Selama persidangan berlangsung, guru besar lainnya bolak-balik ke ruangan, beliau bagaikan kekuatan bagiku, entah... "Sudah itu dari saya, rubah redaksi judul menjadi: pengembangan buku cerita anak tentang sastrawan Acep Zamzam Noor sebagai bla bla bla.... Nilainya nanti ya!" kata Pak Ed. “Ini lembar revisinya,” Bu Arli menyerahkan secaraik kertas dengan tulisan, revisi lihat skripsi. Aku keluar dengan syukur, walau babak belur aku sudah cukup bahagia sudah melewati hari ini. ya Allah, nuhun.... Pak Ed keluar ruangan mengikutiku, “Ini lembar revisinya,” ucap beliau. Dengan santai beliau menulis revisinya dengan tersenyum-senyum: “Eta ge pami bade di turut, mangga..” Ya Allah, benar sudah kini aku teh, sungguh terlihat keras kepala dan menyebalkan. Ampun Gusti. Dibalik semua penguji itu, ada banyak hikmah dan pelajaran bukan? Aku tak ingin melewatkan satu hikmahnya, sekecil apapun. Hidup kita tak selamanya benar walau berusaha terus dalam koridor yang benar, kita membutuhkan orang lain untuk menjelaskan pada kita letak hidup yang sebenarnya, mawas diri, mengedepankan sikap, dan penghargaan, itu. Ujian sidang skripsi, hanya satu kali dalam hidupku, dan hari itu beliau-beliau telah berhasil mewarnai satu hariku dengan warna yang mencolok dan berbeda. Semoga semua guruku bahagia, dan seperti pinta beliau dulu di tahun 2012, semoga selamat di dunia dan akhirat. Semoga semua orang selalu dalam naungan berkah dan rahmat Nya. Jazakumullah. Az (11/07/15)

MARYAM

“Aduhai celaka, alangkah baik seandainya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tak berarti, lagi dilupakan.” (QS Maryam: 23) Untuk Maryam yang tak akan dilupakan oleh Tuhan bahkan saat dirinya ingin dilupakan. Untuk juang yang menyisakan perih dalam pelajaran yang agung, Tuhan mengabadikan namanya dalam satu surat kitab suci mulia. Untuk Maryam, yang cintanya menghaluskan semesta, menundukkan langit, dan menjadikan dirinya rendah tunduk pada ketentuan Rabbnya. Adalah hakikat angin untuk pergi lalu dan lalang. Adalah hakikat daun untuk busuk, tua dan jatuh. Adalah kematian, sebagai hakikat tinggi semua yang hidup. Adalah keberadaan sebagai hakikat dari penciptaan. Sedang aku lupa, hakikatku sendiri..... Bukan aku yang Maryam. Dia adalah seseorang bernama Maryam, perempuan tentu saja, aku laki-laki. Bukan maryam yang itu, ini adalah Maryam lain. Sedang ceritanya selalu mengikutiku, kemanapun aku pergi, ada suara-suara memanggil, pilu. Apa sebab ia memangil? Mungkin ini tentang kepergiannya yang tak kuketahui, di sana ada separuh dosa dan sesal yang kusembunyikan. *** Suatu hari dengan menangis Maryam menemuiku, memintaku melakukan sesuatu yang tak bisa kulakukan saat itu. “Tolong lah aku, Ndra,” ia sering memanggilku Ndra, padahal namaku bukan itu. Sejak kali pertama kita berpapasan, dan ia mengikutiku dan memanggil-manggilku dengan “Ndra” sementara namaku bukan itu. “Kenapa? Minta tolong kok ke aku? Aku bukan dewa loh...,” seperti biasa aku bercanda dengan antusias kepadanya. Entah ada sebagian dari hatiku yang cenderung kepadanya. Cenderung sayang. Dia menggigit bibirnya kuat. Setelah lama kutunggu, yang keluar bukanlah kata. Ada seorang perempuan menangis dihadapanku, itu serba salah. “Hei kok nangis?” ujarku tidak enak. Airmata itu ia usap, dan mulai menenangkan diri, bibirnya yang mengatup kini bergerak-gerak lambat ingin mengucap sesuatu yang berat. “Aku mengandung, Ndra.” Kabar ini bagiku seperti sayatan yang diberi garam. Perih! Maryam mungkin bisa melihat bagaimana aku begitu terpukul. Kecenderungan hati itu, tak menyisakan lagi harapan. “Setahun lalu aku menikah dengan pemuda bernama Andra. Kami menikah diam-diam, hanya keluargaku yang tahu,” perempuan itu berkata lirih. “Lalu? Mengapa kau bersedih? Apakah suamimu meninggalkanmu?” Maryam, perempuan itu menangis lebih hebat lagi. Ia menggelengkan kepalanya. “Andra tak mungkin meninggalkan kami.” Ucapnya seolah berteriak. “Tentu saja, karena kau begitu baik hati dan tak bisa bedakan mana lelaki yang culas!” ujarku geram. Maryam tak lagi menjawab. Kesimpulannya membuatku menyesal telah berkata demikian keras, “Kamu tentu tak bisa menolongku.” Perempuan ternyata memang sulit ditebak, ia tak lagi menjelaskan “apa yang bisa kulakukan” untuknya, kemudian pergi meninggalkanku yang diliputi rasa bersalah. Esok harinya aku berusaha menemuinya dengan niat minta maaf, tapi dua jam aku berdiri di depan rumahnya tak menghasilkan apa-apa, selain desau bambu dan gonggongan anjing kampung. “Mencari Maryam?” Aku mengangguk. Senang ada seseorang yang bisa menjelaskan kepadaku perihal perempuan yang entah mengapa aku begitu mengkhawatirkannya. “Dua hari lalu pergi, entah kemana. Mungkin nanti siang atau sore kembali. Mungkin pulang ke rumah orang tuanya di kota T.” Semua serba mungkin, aku tak bisa percaya. “Apakah Maryam sering keluar begini?” Aku berpendapat jika sudah kebiasaannya, kata “mungkin” bisa saja menjadi “kebenaran”. “Tidak, biasanya ia senang tinggal di rumah. Dan orang tuanya yang akan mengunjunginya.” Aku tahu, jika kata “mungkin” itu terlalu abstrak. Dengan masigul kutatap lagi daun pintu rumahnya, siapa tahu, tiba-tiba saja ada yang menggerakannya dari dalam. Rupanya itu hanyalah inginku, tidak akan pernah ada pintu yang terbuka jika penghuninya pun tak ada. Tapi siapa tahu? Angin bisa saja menggerakannya bukan? Sesampainya di kosanku, aku berusaha mencari tulisan-tulisan Maryam yang berserakan dimana-mana. Benarkah aku Andra? Ternyata Andra itu suaminya? Apakah aku suaminya? Sering dalam tulisan itu Maryam berkata panjang-panjang, jika aku adalah Andra, bukan namaku sekarang. Sikapku mengingatkannya pada Andra, bahkan kebiasaanku berpakaian adalah jelmaan Andra, bahwa caraku berjalan, berbicara, dan manatapnya adalah milik Andra. Apakah aku Andra? Sungguh, aku lupa. Siapakah aku? Kepalaku oh berputar! Pusing tujuh keliling. Aku membiarkan diriku tenggelam, lalu mata terpejam lelap karena rasa mual pun menyeruak. Semenjak itu, aku tak berani lagi bertanya, siapakah aku? Kepalaku oh berputar. Tak ada lagi pertanyaan. Mungkin saja aku lupa, dan akan selalu lupa. Juga maryam yang telah pergi dengan sisakan sesak dadaku. Sedang benci dari keluarganya tak lagi dapat kuhapuskan, aku yang telah meinggalkannya? Benarkah? Aku kebingungan, tentang diriku, akan selamanya menjadi manusia yang tak tahu asal-usul. Jika saja, aku tak temukan jawaban. Tentang kejadian di masa itu. Apakah lupa itu hanya dapat terjadi karena benturan keras? Apakah lupa bentuk amnesia itu hanya karena kecelakaan? Sedang aku baik-baik saja, tak ada yang kurang, tak ada yang sakit, tak ada kecelakaan. Sebuah handphone namak di bawah kertas-kertas. Apakah ini handphoneku? Tentu saja, karena ada di dalam lemariku. Lemariku, ini daerah terlarang. Aku berusaha mencari-cari jawaban di sana, apakah aku melupakan sesuatu, atau meninggalkan sesuatu. Setahun ini, aku lupa bahwa dunia telah maju, dan handphone adalah kebutuhan yang telah menjadi primer. Lalu dimana nomor handphone keluargaku? Tak pernah ada kecuali satu nama di daftar panggilan: Maryam. Nama yang tak pernah kutambahkan sebagai kontak, tapi ia telah ada. Apakah ini tanda? Aku dan maryam adalah (pernah) dekat? “Mengapa aku tak menghubunginya sekarang?” “Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau..........” *** Jika semua telah sampai pada hakikatnya, lalu apa yang tersisa? Apakah lupa, jika Tuhan adalah satu-satunya yang menciptakan hakikat? Itukah sisa dari segala hakikat? Kau lupa? Ah Tuhan. Bukankah tak pernah lupa, tak melupakan, tak mungkin dapat dilupakan? Bulan berlalu dan aku melakukan semua rutinitas sebagai seorang perantau yang bekerja penuh waktu di sebuah lembaga swasta. Lembaga dengan cabang dimana-mana. Suatu hari nama Maryam berkedip masuk ke kotak masuk, rupanya itu pemberitahuan dari operator saja, bahwa panggilanku beberapa kali di minggu ini sampai ke nomor Maryam. Itu tandanya: sudah aktif! “Maryam!” aku kegirangan. Lambat suara itu hadir, tersedak oleh perasaan yang campur aduk. Suara berat memulai percakapan itu. “Ini Bapak, Ndra..” Dengan kegamangan aku menerima dipanggil sedemikian. Dengan masih terguguk suara berat itu melanjutkan kata-kata, singkat saja. Isinya beruapa kenyataan bahwa Maryam tak akan dapat lagi kutemui, selamanya dalam wujud yang bisa terindrai. “Bukankah engkau suaminya? Mengapa kau tidak bertanggung jawab!” bentaknya diujung berita. Aku suaminya? Aku sendiri lupa bagaimana caranya aku menjadi seorang suami dari perempuan yang meluluh lantakkan kecenderungan itu. “Aku bukan Andra Pak. Aku Nurdin!” “Ya, jelas persis kau Andra. Lihat ini nomor siapa, hah?” Aku tercekik, dari mana nama Nurdin kuperoleh? Aku hanya menerka-nerka, saat bekerja orang-orang memanggilku Nurdin. *** Adalah Maryam, istriku, yang telah membawa semuanya pergi. Juga Imran, bayi kecil kami yang juga ia bawa pergi. Kenangan itu kabur, entah sejak kapan dan mengapa aku terkena penyakit lupa ini. Sedang Maryam adalah istriku, tak mungkin aku lupa. Tak mungkin! Tetapi itulah manusia. Aku pun manusia. Hanya Tuhan yang tak pernah melupa. Tasikmalaya, 15 April 2015

Kamis, 09 Juli 2015

SIDANG SKRIPSI

sedang tidak enak badan, tapi ingin menuliskan sesuatu tentang skripsi. buakn lagi tentang bagaimana menyusunnya, tentang bagaimana proses sidang itu berlangsung. Jika aku mesin, ini cerita akan kuulang-ulang diceritakan... kepada sesiapa yang ingin tahu. Enam hari sebelum sidang skripsi, aku bersama teman iseng-iseng membayangkan proses persidangan. maklum, kita terlalu parno.. dan dari obrolan itu sepakat dengan tips-tipas menghadapi penguji: 1. Pura-pura sakit, bleh meriang flu, sakit gigi, atau batuk-batuk. Mana ada penguji yang tega nahan tersangka sampai 1 jam 2 jam, kan tersangka mau ke dokter segera gituloh, walaupun gak ke dokter ya kan harus istirahat. 2. Tips 2 ini cukup manusiawi, bagaimana kalau pas sahur kita makan jengkol atau pete, terus jangan gosok gigi, nah nah kan berhadapan, penguji gak mau dong bau terus menerus, alhasil sidang akan cepat berlalu. Bisa sih, tapi bisa dipastikan nilai atittude kita C, hehehe.. 3. Tips ketiga adalah menjawab pertanyaan dengan semanis mungkin tanpa pembelaan untuk hal-hal teknis, dan pantang menyerah untuk masalah yang bisa ganggu kontent, misal mempertahanakan rumusan masalah :D kan kalo masalah penomoran halaman mah, bukan esensi. Harus manis nih, kalo bisa angguk-angguk kepala dan mencatat semua perkataan penguji. hahaha... 4. Tips ke empat, menjawab sebelum dikasih pertanyaan. begini, coba anda.... langsung kita jawab, "saya bersedia pak." haham tips ini apasih gaje. Begitulah kita menciptakan tips menghadapi ujian sidang skripsi. Entah karena kualat atau apalah, setelah percakapan malam itu, dinding mulutku bengkak, sariawan, dan sariawannya suhbanallah sebesar naudzubillah, kalo kesentuh gigi samping, rasanya ingin teriak sekuat-kuatnya............. sakitttttt banget! Seumur hidup baru mengalami sariawan separah ini. Dan kata orang ini bisa disebabkan: 1. Setres 2. Kurang tidur 3. Kurang minum 4. Kurang makan buah dan sayur... Pokoknya gitu lah, berbagai cara dilakukan. Sempat terbesit, apakah ini karena efek menggunakan akawa gigi juga ya? Sejak Juni saya berniat merapihkan gigi, dan benar saja, setiap mau bicara saya harus buka mulut hati-hati, kalu tidak kawat gigi bisa nyangkut di lubang naudzubillah itu... Ibu bilang, ke dokter, buka lagi saja kawatnya! Ada 4 hari tiap mau buka saum, bangun tidur, atau mau sahur pasti nangis dulu, apalagi pas gosok gigi, cireumbay.... Sakitnya gak ketulungan, sampai suatu hari berdiri di depan cermin dan berkata, aku gak sakit, kamu sakit ge aku kuat, tapi tetep we bari ceurik... da sakit. LOL. Bapak bilang, coba pakai harangasu, harangasu abu hitam dari sisi-sisi hawu... yeuh kolot jaman baheula mah pake harangasu. Oke... dengan mata terpejam, kuoleskan harangasu ke dinding mulut tepat ke lubangnya, dengan air mata bercucuran akhirnya si harangasu menempel tepat. jedad jedud berkurang, setelah itu tetep sakit lagi... Ibu bilang aku salah memakinya, harusnya pas mau tidur, terus biar sama kapasnya saja. oke, demi sidang lancar, saya coba lagi, walau tahu sakitnya kaya gimana... oles harangasu pakai kapas, ditempel di lubang sebelum tidur bari cireumbay! Pas bangun tidur, memang enak dingin, dan pipiku chubby kan, nah nah sebelum makan tentu kapas di lepas dong, lalu satu dua.. tiga.. kapas di tarik.. "AWWWWWWWWWWWWWWWWWWWWWWWWwwwwwwwwwwwwwwwwwwww!" seperti dicubit didaerah yang luka. menjerit sekuat tenaga, sakit broh! Ibu kaget, kenapa? kulihat lubang di dinding mulutku semakin dalam dan merah. Kata ibu, atuh da kapasnya di bawa tidur! Ibu!!!!! kan ibu yang bilang... Dengan santai ibu bilang, 5 menit saja, kapasnya ambil lagi.. Ah sudahlah... Hari selas sidang, tapi sariawanku tak kunjung menunjukkan tanda sembuh, aku tak bisa berkata, meminta atu berbicara dengan isyarat, atau menulis. dan sebalnya orang-orang malah ketawa, atau ngajak bercanada yang bikin posisis mulut pipi dan wajah berkerut, itu sakit loh. jadinya sering menyepi dan nangis sendiri deh... Hari Senin kembali ke tasik, ibu menyelipkan harangasu di balik tasku, anggo nya kata ibu. Senin itu aku mau ketemu OM Pidi, mau simulais sidang, dan memang walau terbata-bata aku bisa ngomong dan menjawab pertanyaan om pidi. Om Pidi bilang, itu sih kamu pakai kawat segala ih, buka kali lah Li... duh! Akhirnya pulang dari Om Pidi, karena tak kuat dengan sakit, dan harangasu tak mempan, oh ya sempat juga pakai osari yang dari madu dan kurma itu loh, GAK MEMPAN, ngajeletot tapi terus aja nyut nyut.. memutuskan ke dokter gigi, dokter gigi yang biasa merawat tak bisa datang ya sudah datang ke dokter gigi lain, dan alhasil dibuka lah dua kawat yang dekat dengan lubang naudzubillah itu. Apakah jadi plong? Mendingan, tapi tetap sakitnya tak bisa dihilangkan terutama ketika berbicara. Besok sidang tapi aku gak bisa bicara? bagaimana bisa, ya ALlah sebuhkan abi ya Allah.. itu doa yang tak henti-henti. Tahu gak? Selama sakit sariawan, saking panasnya mulut kalo tidur ingin sekali dikipasin, sampai selalu nyiapin kain khusus jika aku posisinya ke kanan atau kiri, siapain buat ngeces! Hahaha jorokkan, but that true! Hari H tiba... ini tulah kayanya, aku beneran sakit, sariawanku jedud-jedud, mungkin ini puncaknya. Dengan masker pink, aku siap di sidang... penyidangnya: 1. Prof. Cece 2. Dr. Karlimah 3. Drs. Edi Hendri Tahu kan ketiganya, guru-guru besar idealis yang aku akan mendadak ciut, dan bisa membuat berat badanku turun drastis. Ya Allah, abi ingin hari ini lancar dan abi bisa bicara kalo ditanya ituh ya Allah plis ya Allah... itulah nikmat bisa bicara itu, jaga lisan makanya sist bro! Ternyata prof Cece memsiahkan diri, ia menyidangku sendirian, eh dibantu dua asdosnya Pak Opik dan Om Pidi. ENtah karena situasi yang dibuat merinding, parnoku kambuh, dan jawabanku entah apa, menguap kemana semua isi skripsiku, dan yang pasti aku merasa suaraku bergetar hahahha,, sampai ketika akan berkata olehnya.. kok aku malah bilang olehna, aku berpikir huruf Y nya kemana ini? Aku ulangi katana, aduhhh kok ngilang sih.. hahaha. akhirnya aku diam, sambil pengen nangis gitu juga, hahaha, maklum gigi juga sakit karena kawatku membuat formasi baru pasca dibuka 2 biji... lah kompleks we, hari itu :D teori apa yang anda gunakan? tanya pak Prof. Tarigan pak dan wellek dan Waren. mengapa bukan teori anda? Anda tahu apa itu teori? Sist bro, aku diam loh ditanya gituh beberapa detik, aku tak mau dong asal bunyi, sambil mikir masa perkuliahan dulu tahun 2011, pak didi yang bilang apa bedanya asumsi sama teori. AKu jawab sambil dagdigdug, "Asumsi yang sudah terbukti kebenarannya pak." "Iya itu teori, tepatnya teori itu itu sesutau yang bisa menjelaskan, menerangkan, terus apalagi ayo? aku melongo.... "Menemukan.." bukan itu, "memprediksi!" ucap prof, mungkin jengkel padaku yang belet.. :( Apa yang anda ketahui tentang kebenaran? Hah? Ini apa pula? Jika berjata tentang kebenaran, maka sumber kebenaran yang bersifat postulat adalah kebenaran Tuhan, ucapku datar dan sok tahu, hahahha... iya itu, benar, dan sumber itu apa? setelah itu adalah hadist ucapku lagi hahaha.. iya apa itu sumbernya? aku masih aja loading. "Alquran dong!" ucap prof gereget, hehe peace Pak. Panjang dan lebar lagi pertanyaan, tentang narasumber skripsiku sastrawan Acep Zamzam Noor, mengapa anda memilihnya? apakah anda memilih be,iau karena anda merasa harus memperkenalkan beliau atay karena masalah? Karena masalah dilapangan pak, jelasku datar. bagus, ucap prof lagi. Ya ALlah untung mulutku gak salah jawabm ya Allah, terima kasih. Kenapa tidak membuat biografi ANda saja? Aku tercekat, biografi diriku sendiri? Siapalah aku mah pak, apalah-apalah, jawabku. Pak Prof marah. Kamu ya, tidak bersyukur, kamu itu.... (bahasa pak prof asalnya anda jadi kamu?) kamu harus syukuran! Jangan pesimis, jangan down, potensi kamu bla... bla... kamu itu pasti banyak yang suka ke kamu... sudahlah skripsi kamu sudah oke, saya mau pesan ke kamu, tanggal 25 Juli saya juga pergi dari kampus, begitu juga kamu, anggap ini petuah ya, kalau jodoh itu jangan standar tinggi.. bla-bla-bla... Hidup ini mana tahu, nih dua orang ini, mereka gak tahu mulanya akan jadi dosen, ujarnya melirik pak opik dan om P, dia liriknya pada pak Opik, hanya seorang mahasiswa yang suka di masjid ngawurukkan barudak, gak tahau hati saya tersentuh saja dan nawarin dia ngajar di kampus. Tuh hati saya yang bergerak saya gak tahu, itu kehendak Allah... kamu juga... saya jadi meleleh mendengarnya, banyak yang diceritakan beliau tentang jodohnya, ibu. Dan itu berujung pada pertanyaan penutup, jadi kesimpulan yang tadi saya omongkan apa? "jangan mencari yang sempurna pak! ucapku polos dan bingung. Ah kamu, bukan itu... kamu Pidi, apa? Om Pidi tersenyum sama-sama bingung wajahnya, "Harus saling melengkapi pak, ucapnya mantap. nah itu: SALING MELENGKAPI! Sampai saat ini, itu yang aku ingat dari sidangku dengan beliau. Sok ada yang mau nanya, tawar pak prof pada dua asistennya. Pak Opik mengambil buku produkku, ini puisi siapa? karya peneliti pak, karya siapa tanya pak prof ingin tahu juga? Annisa Zahraa pak. jawabku. Dan om Pidi meledak tawanya, begitu juga pak prof yang memandangku dengan aneh. Coba bacakan! perintah Pak Opik. Guys, bayangkan gigiku yang sakit ngomong aja, mesti baca puisi, sumpeh itu mau nangis saja, sambil minta ampun, takut-takut air liurku yang panas keluar bak lahar tak tertahan. Ya Allah........... Akhirnya kubacakan puisi, dan diujung sesi tepuk tangan untuk tangisku yang tak bisa ditahan, sakit bro! bukan menghayati puisi :( Setelah ditanya bertubi oleh Pak Opik, gak bertubi juga ketang, pak prof memperlihatkan nilai yang kuperoleh, nih buat kamu, saya berani nagsih dan memperlihatkan ke kamu, sudah tanpa revisi! Aku melongo dan setenagh bahagia juga... sidang itu tak semenyeramkan awalnya. Saat pak prof mempersialkan duduk, dan bertanya, siapa nama Anda? hah, ini serius nih ucapku sambil degdegan. Semua aman pada akhirnya. Keluar dari ruangan sidang, mencari WC, pakai masker lagi.. siap diuji lagi dengan dr. arli dan drs. edi. ______________bersambung dulu ya_______________-