Minggu, 31 Mei 2015

Welcome Juni 2015

Di bulan ini...
Berapa hari lagi daftar sidang...
Berapa hari lagi sidang...
Berapa hari lagi...
Dan bulan depannya...bulan Juli..
Apa kah yang akan Tuhan Kehendaki akan diri ini...

Wahai Juni, seperti isi surat Umar terhadap Nil. Jika engkau bukan ciptaan Allah maka janganlah kau bergerak, namun jika engkau menggulirkan hari-harimu karena kehendak dan perintahNya, maka bergeraklah dengan mudah dan lancar.

Masih tahun lalu, Juni lalu, saat KKN, dan kenangan lalu, telah jadi latar belakang dari sebuah proposal kehidupan. Kini, hendak kujalani, dan yang kini adalah latar belakang pula untuk depan yang mungkin masih berupa misteri.

Adakah Juni kini, saat semuanya telah jauh lebih berubah. Aku memutuskan menari saja dengan laurnya, merasa nyaman dengan zonanya, ada masanya muda harus berkarya, tak boleh lagi begini.
Baru saja kemarin memimpikan ingin mengunjungi ITB, tanggal 4 Nanti Allah jalankan takdirku mengunjunginya. Jika saja impian itu sudah begitu ingin dialami, begitu jelas tergambar... semuanya manjadda wajada...

Termasuk dengan hal satu itu yang aku inginkan, mandiri dan bisa berdiri dengan kaki sendiri.

Oh Tuhan Juni, rahasiakanlah apa yang membuatku malu..
Oh Tuhan Juli, lindungilah diriku, dan tuntunlah diri ini menemukan kebenaran dan keridhoanMu...
Oh Allahku, sekiranya jatah usiaku di dunia ini masih ada, sebelum sampai nafas ini terhenti, perbaikilah akhlakku, perbaikilah Rabbku berilah aku kesempatan membahagiakan hati saudariku tanpa menyakitinya... jadikan diri ini cukup atas dunia dan hak-hak manusia.

Jauhkan mataku dari memandang yang tak mesti, jauhkan telingaku dari mendengar berita yang mengusik imanku, jauhkan kaki tanganku dan tubuhku dari melakukan sesuatu yang tak Kau sukai.

Jika saja Juni ini tak ada bedanya dengan mei, april, maret, ....

Biarkan sekali ini, aku jadikan juni sebagai satu penanda.

Dengan perantara Musa, kumohonkan pada Mu sebuah kebaikan padaku bulan ini.
Dengan perantara Yunus, sungguh kuakui diri ini telah menganiaya diri sendiri.
Dengan perantara saudara-saudara Yusuf, bahwa kuakui pula aku telah melakukan kesalahan, dan aku ridho terhadap apa yang akan diputuskan atas takdirku.

Karena engkau maha pengampun lagi penyayang....

Selasa, 12 Mei 2015

Tamu Masa Depan

"Saat usia ibu 22 tahun 8 bulan, ibu memutuskan untuk berdiri," ucapku memulai cerita.
"Apakah selama ini ibu hanya duduk-duduk?" tanyanya heran.
"tentu saja, ibu tidak duduk jika Allah tak hendaki, nak. Ibu duduk karena belum siap. Di usia itu ibu merasa siap, karena kuliah hampir selesai, dan tuntutan untuk lain hal telah tuntas."
"bagaimana ibu berdiri dan ayah dapat melihat ibu?"

Aku tersenyum, anakku terlahir sebagai anak yang kritis dan jenius. Tentu kekritisan ini dari Ayahnya.
"Apakah kamu dapat melihat cahaya dengan jelas di siang hari? Tat kala ada matahari?"
"Tentu tidak, apalah artinya.."
"Begitulah, ayah menemukan ibu saat malam itu ada satu cahaya saja."
"Apakah cahaya itu milik ibu?"

Aku lagi-lagi tersenyum.
Mengingat rangkaian masalalu, yang mungkin saja saat ini terasa misterius.
"Ayahmu orang yang baik, pekerja keras, bisa melihat masa depan dengan jelas, walau pun saat itu posisi ia tak jelas."

"Ibu, apakah ayah pun adalah cahaya. Dan ibu bisa menyambutnya waktu itu?"
 Aku ingin tertawa. Tapi niatku diurungkan, tentu saja karena anakku ini bertanya dengan mata serius.
"Tentu. Ayahmu seperti bulannya saat malam, sedang ibu hanya kunang-kunang betina, yang cahayanya hanya cukup untuk menerangi diri sendiri."
"Aku ingin seperti ayah." uacapnya semangat.

Aku memeluknya, terharu. Ya, tiada kebahagiaan yang Allah karuniakan sebagai penghapus duka selain buah hati dan keluarga yang mencintai.

Tetiba. Anakku melepaskan pelukannya, berlari, dan berteriak"Abbu...!"

dari kejauhan pula kulihat samar-samar, seorang lelaki yang dipanggil abu oleh seorang putra yang tadi memelukku, dan mengaku sebagai anakku, berdiri tegak sempurna.

Mataku yang kabur, dan pendengaranku yang terbatas, tak sampai menerka dengan tepat. Mereka menjauh dan masuk kekehidupanku masa kini. Aku semakin samar, dan bayangan mereka gelap.

Ia adalah suami terbaik.  Entah siapa.