Senin, 27 Juli 2015

SIDANG SKRIPSI (2)

Masih juga belum baikan, tapi harus tetap banyak bersyukur dan bersabar. Ketika seorang hamba sakit, satu kesakitan itu dihitungnya satu penghapus dosa. Mungkin ada dalam diri kita yang hanya bisa bersih, jika kita mengalami sakit. Aku melihat temanku rona wajahnya memerah, sangat merah. Humaira, mungkin aliran darahnya naik ke kepala, karena panik, dag-dig-dug. Ia tengah menanti giliran untuk masuk ke ruang sidang. Denga sedikit bercanda, kusapa saja, biar sedikit cair dan tak gugup, “Teh, eta pipi meuni beureum, cantik teh, kemerah-merahan, humaira....!” Dengan masih gugup ia menjawab, “Teteh oge sami, beureum, hehehe... duh kumahanya engke?” Well, temanku yang satu ini, memang parnonya lebih akut, banyak cemasnya, dan itu hanya ada dalam kepala, realitanya tidak seperti yang ia pikirkan. Bolak-balik penuh kecemasan, tapi sepertinya ia mulai mampu menguasai dirinya. Dengan langkah yang pasti, ia masuk ke ruang sidang. Dan aku menyimaknya di luar dengan hati-hati. Semua berjalan baik-baik saja... Tuh kan! Air mengalir, waktu bergulir, jalan terbentang, semua pada tempatnya, tak ada yang terjadi, selain isi kepala yang terlalu banyak menerka. Aku sendiri bolak-balik di koridor, Dr. Arli masih asyik dengan Teh Mira, Drs. Edi juga bolak-balik bertanya ke kang Indra. Tak kunjung usai, keluhku... Entah mengapa kondisi seperti itu seharusnya membuatku lebih banyak persiapan, tapi ada rasa hati ingin segera selesai saja, as soon as posible! Akhirnya yang ditunggu, kunjung selesai pula. Ibu Arli mempersilahkanku, dan meminta jeda untuk menunggu Pak Ed yang masih di ruangan sebelah. Bismillah, rasa tegang sedikit demi sedikit pudar, aku merasa bahwa ini adalah untuk belajar, untuk jujur pada proses, untuk siap hadapi apapun. Pak Din membantu Bu Arli menghadirkan Pak Ed yang sudah sumringah siap sedia dengan pertanyaan, pernyataan, dan lain sebagainya (mungkin). Menuliskan bagian ini, sedikit sulit, karena intinya berada pada titik lemah skripsi yang dibuat. Pak Ed mempersilahkan ibu Arli memimpin persidangan. Sebagai terdakwa yang sakit gigi, aku diminta menjelaskan penelitianku selama 7 menit saja. Mungkin tidak sampai 7 menit, aku sudah terdiam, dan ibu mulai bertanya kepada.... “Apa itu sastra? I not found it, saya tak menemukan definisi sastra dalam skripsi ini.” Memang beruntung, subuh tadi sempat baca buku Wellek dan Waren tentang Teori sastra, dan halaman satu itu percis sama dengan pertanyaan ibu. What the meaning of....? “Sastra adalah kegiatan kreatif, hasil seni, keindahan. Di skripsi itu ada di bab II tentang apa itu sastra anak.” Itu sastra pengertian siapa? Dan sebagainya.... Terus bergulir pertanyaan, hingga pada satu tanya ini: Apakah skripsi, termasuk sastra? “Skripsi termasuk karya ilmiah yang mesti ditulis dengan bahasa formal dan ilmiah. Bahasa sastra dan bahasa formal ilmiah tentu berbeda.” “Apakah bahasa skripsi ini sudah ilmiah?” Wew, ini jebakan bathman. Entahlah, apakah skripsiku karangan bebas atau memang ilmiah, aku tak mengerti dengan gaya penulisanku. Seharusnya seorang profesional bisa membedakan, dimana dia menulis karya ilmiah dan dimana ia menulis karya sastra yang estetis. “Peneliti masih belajar bu,” ucapku. “Ini banyak kata sambung di depan kalimat, ini misal kata “sehingga”,.. tapi tidak tahu ya, saya bukan ahli bahasa.” Pertanyaan kembali tentang latar belakang dan bab II. Ibu lalu persilakan Pak Ed. Aku tak tahu apa yang akan terjadi padaku, sebisa mungkin fokus pada sikapku, agar tidak menyebalkan. Sambil membolak-balik buku produk, Pak Ed mulai membuka persidangan babak 2. “Ketika anda membuat biografi seseorang, anda mesti hati-hati, berbagai unsur budaya dan sejarah akan bersatu padu dengan ketokohan itu. Saya jadi ragu setelah baca buku ini, apakah buku ini fiksi karangan anda atau memang fakta?” Jleb. Masih belum paham, kemana angin berlabuh, kemana arah pembicaraan Pak Ed. “Misal ini UIN, anda tahu istilah UIN ada tahun berapa? Dulu baru ada istilah IAIN. Mengapa di buku ini istilah UIN suda ada sejak Acep kecil? Saya kenal Acep, kita satu daerah, walaupun ya mungkin beliau tidak kenal saya. Dulu pernah bareng ngaji/sekolah... (kira-kira begitu redaksinya).” Ya, ini kekurang hati-hatian peneliti. Saat wawancara pak Acep menyatakan UIN dan meralat kembali dengan IAIN, tapi peneliti menuliskan di naskah lengkap dua-duanya. Transkrip wawancara tersedia di lampiran. Lanjut kembali dengan ungkapan kecewa beliau, membaca judul skripsinya saya membayangkan isi skripsinya tentang para sastrawan... kan sastrawan lokal banyak, mengapa kok isinya satu dan fokus AZN saja? Lebih baik jika anda keukeuh ingin menggunakan data-data ini, anda rubah redaksi judul skripsi. Terus saya juga terganggu dengan kata lokal, saya tahu eksistensi Pak Acep, dan beliau kalau dalam pandangan saya sudah bukan lokal lagi, tapi internasional. Lokal di sini itu kurang tepat, terlalu ambigu maknanya. Bla-bla-bla... sampai dibantai pula teori-teori di bab II, dan tentang sastra anak berserta hubungannya dengan buku cerita anak. “Intinya buku yang Anda buat itu buku cerita anak, bukan buku sastra anak! Jadi yang di BAB II fokus ke variabel yang anda teliti. Apa coba variabel penelitian anda?” “Buku cerita anak, sastrawan lokal...” jawabku. “Nah, ituh!” Bu Arli dengan sedikit tersadar, ikut menimpali, “Iya pak Ed, tadi saya ke bawa arus loh. Saya malah bertanya sastra. Padahal lihat judulnya kan buku cerita anak. Hehe...” Coba anda sebutkan variabel penelitianya, mana variabelnya, tidak ada di skripsi Anda ini. Hukhukhuk, dengan sedikit memberanikan diri, “Dalam penelitian kualitatif, variabelnya diletakkan pada definisi operasional pak,” ucapku. “Maa coba tunjukkan ke saya mana DO nya?” Tanganku bergetar, ada kok, tapi sudah saya bolak-balik kok tetep gak ada, cek di daptar isi kok gak ada, ada deh di bab II atau bab III. “Mana?” ulang bapak, seolah ingin menunjukkan kalau.... ah sudah, fokus eli, lebih tenang eli. “Ini pak, halaman 38.” Jawabku. “Variabel itu beda dong dengan DO. Coba anda jelaskan operasional itu apa?” Aku jadi inget pak prof waktu bertanya apa itu teori, ya Allah tolong hambamu... T_T “Operasional, yang dioperasikan.... yang di...” “Nah kalo ini bukan yang dioperasikan, ini mah kamus leksikal. Variabel itu nanti yang akan jadi batasan penelitian!” Sebenarnya perkataan ini sudah kutelan beberapa bulan terakhir dari Dr. Dian, tentang DO yang kubuat. DO oh DO! Dan itu memang sudah jadi batasan, dan dijadikan instrumenku. Ah sudahlah... itu tak penting hari ini, membela diri hanya akan memperlihatkan ketakberdayaan saja, semakin runyam kan. Aku membiarkan semuanya dengan berbagai tafsirnya, toh ini kesalahanku. “Oh ya, coba anda buka halaman 1, itu redaksi itu menurut siapa?” Menurut Brucher dalam Musthafa, pak? jawabku tak paham. “Coba anda bandingkan dengan yang di bawah, yang kata Huck.” Menurut Braser dalam Musthafa menyatakan bahwa.... Huck dalam Musthafa menyatakan bahwa... “Bandingkan, jadi yang benar itu yang bawah. Dan di skripsi anda ini, saya menemukan banyak seperti itu. Kalau anda teliti mungkin skripsinya tak akan setebal ini.” ucap belia sambil tertawa kecil. Aku ikut tersenyum saja, oh masa banyak yang begitu, nanti di cek ah, tak berani bertanya balik, coba tunjukkan mana saja pak? Duh kurang ajar tenan ini anak mungkin jadinya. Well setelah di cek di bab I dan bab II, hanya itu satu-satunya redaksi yang double-double... hehehe :P geli jadinya... Selama persidangan berlangsung, guru besar lainnya bolak-balik ke ruangan, beliau bagaikan kekuatan bagiku, entah... "Sudah itu dari saya, rubah redaksi judul menjadi: pengembangan buku cerita anak tentang sastrawan Acep Zamzam Noor sebagai bla bla bla.... Nilainya nanti ya!" kata Pak Ed. “Ini lembar revisinya,” Bu Arli menyerahkan secaraik kertas dengan tulisan, revisi lihat skripsi. Aku keluar dengan syukur, walau babak belur aku sudah cukup bahagia sudah melewati hari ini. ya Allah, nuhun.... Pak Ed keluar ruangan mengikutiku, “Ini lembar revisinya,” ucap beliau. Dengan santai beliau menulis revisinya dengan tersenyum-senyum: “Eta ge pami bade di turut, mangga..” Ya Allah, benar sudah kini aku teh, sungguh terlihat keras kepala dan menyebalkan. Ampun Gusti. Dibalik semua penguji itu, ada banyak hikmah dan pelajaran bukan? Aku tak ingin melewatkan satu hikmahnya, sekecil apapun. Hidup kita tak selamanya benar walau berusaha terus dalam koridor yang benar, kita membutuhkan orang lain untuk menjelaskan pada kita letak hidup yang sebenarnya, mawas diri, mengedepankan sikap, dan penghargaan, itu. Ujian sidang skripsi, hanya satu kali dalam hidupku, dan hari itu beliau-beliau telah berhasil mewarnai satu hariku dengan warna yang mencolok dan berbeda. Semoga semua guruku bahagia, dan seperti pinta beliau dulu di tahun 2012, semoga selamat di dunia dan akhirat. Semoga semua orang selalu dalam naungan berkah dan rahmat Nya. Jazakumullah. Az (11/07/15)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar