Selasa, 04 Februari 2014

Bisnis itu Bukan Masalah Untung Rugi

Bismillahirrohmanirrohim. Sekali lagi saya harus tegas pada prinsif: jika bahagia itu sederhana. Saya memberi diri saya sebuah kebebasan untuk menulis, sebuah tulisan yang saya tulis dengan cinta. Tanpa berniat untuk terkenal, dikenal atau bahkan tulisan yang menjadi uang. Bahkan ini sebuah konsep membuka diri pada dunia, yang akan sangat berbahaya untuk citra dan kepribadian saya sendiri sebenarnya. Tapi sekali lagi tidak! Inilah kesederhanaan, saya hendak membagikannya pada dunia, tentan kehidupan seorang Annisa Zahraa alias Eli Nurlela Andriani.

Tanggal 1 Pebruari 2014.
Daftar_KBG_Eli_UPI Tasikmalaya.
Klik saya tekan tombol kirim pada handphone saya.
Selamat anda telas memutuskan untuk: ikut pelatihan kewirausahaan, bathin saya berkata demikian.
Entah-lah mengapa hati saya tergerak untuk ikut pelatihan ini. Padahal saya kemarinnya baru saja pulang kampung. Ini bukan sekali saja, saya sering sekali bolak-bali Tasikmalaya - Cibalong dan merasa lelah dengan hidup di jalan seperti itu. Tentu saja ibu juga sangat khawatir dengan saya berperilaku demikian rupa. Khawatir orang jahat, kecelakaan sampai dengan kesehatan saya, terlalu banyak kesana-kemari bak istrikaan butut.

Tanpa ragu saya ketik DAFTAR dengan cepat saat ada sebua pesan masuk ke handphone saya, padahal belum minta ijin Ibu. Ijinya belakangan saja,  pikir saya, sekarang yang penting daftar dulu takut kehabisan kursi, karena tertera kuotanya untuk 50 orang saja.
Ternyata saya adalah pendaftar tercepat ke dua setelah seseorang dari Bandung sana. 
Karena melihat segudang pengalaman dan prestasi pematerinya lah, sebenarnya itu alasan yang lebih menarik minat saya untuk mengetik kata DAFTAR.
Karena selama ini yang memberi materi wirausaha kebanyakan yang usahanya juga masih macet dan banyak lubang sana-sini (memiliki banyak utang-piutang). Jadi kalau dari pematarei yang usahanya udah keren,”Siapa tahu ada ilmu yang memang sangat luar biasa, yang berbeda dari biasanya.”
Sore harinya saat saya mau minta ijin, hati saya dag dig dug tidak karuan. Padahal belum “pok” bilang apa-apa. Saya harus minta ijin ke ibu, ini  pekerjaan yang berat apalagi hal tentang binsis yang saya tahu ibu tidak suka, bismillahirrohmanirrohim.
“Bu ijin ya, besok pagi Eli mau ke Tasik, ikut seminar bisnis jam 08.20-12.20.”
Kening ibu berkerut tiba-tiba, kemudian telunjuknya langsung mengurut-ngurut kening tersebut, benar-benar terlihat letih.
“Ah ya Allah,” keluhku dalam hati.
“Ibu mendadak sakit kepala kalau Eli bilang seperti itu, terus saja kesana-kemari, bisnis-bisnis, hasilnya belum ada sampai sekarang. Availah, perpustakaan lah, tahu crispy lah, heummmh”
“Ibu…..” gumamku tidak siap dihujat.
Terjadilah sedikit perbincangan panjang antara saya dan Ibu. Inti perbincangan itu adalah ibu mengaharapkan saya tidak terlibat bisnis-bisnis yang menurutnya tidak ada bagian untuk saya. Allah tidak takdirkan saya jadi pebisnis begitu kira-kira, kata ibu.
“Eli setiap orang itu udah dikasih jatah kelebihan masing-masing, ibu melihat kamu sama sekali gak ada bakat untuk bisnis. Coba selama ini kamu bisnis itulah-inilah, ujung-ujungnya menutup hutang. Itu pun Ibu yang harus menutupnya.”
Jleb!
“Sekarang yang ibu harapkan itu satu saja, kalau Eli mau lihat Ibu bahagia. Tidak perlu pakai proposal, tidak perlu pakai modal besar, tidak perlu pakai strategi, metode, atau apapun. Cukup Eli di sini, diam dengan Ibu. Menunjukan sikap terbaik pada keluarga. Cukup itu.”
Ya Allah, ibu mengharapkan sikap saya, saya diam bersama mereka dengan menjadi putrinya yang baik. Sikap yang lebih baik. Apa yang harus saya katakan?
Akhirnya dengan sikap saya yang memang sedikit "pemberontak" saya menjawab terbata-bata sambil menangis, memohon pada ibu untuk mengijinkan saya sekali lagi saja berbisnis.
“Ibu tetap tidak mengijinkan kamu bisnis.”
Sesak sekali mendengar ibu berkata demikian.
“Ibu… mohon ijinkan,” saya memohon-mohon dengan tangisan yang berurai-urai. Saya berusaha istigfar tak henti-henti dalam hati. Betapa memaksanya diri ini untuk berbisnis.
Perbincangan dengan ibu di senja hari, di teras rumah, dan awan semakin merunduk, kilau keemasan menjelma, ibu tetap dengan pendiriannya begitupun diri saya masih tetap “keukeuh peuteukeuh.”
“Ibu, ijinkan sekali ini saja saya belajar berbisnis.” Saya memohon untuk kesekian kalinya.
Ibu terdiam, sampai pada akhirnya beliau tidak memberi jawaban apapun. Seorang tetangga datang dan melerai suasana yang tadi begitu mencekam.
“Eh kenapa menangis Neng?” tanyanya padaku. Ibu yang menjawab pertanyaannya, “Biasa bi anak muda, baru di putusin.”
Gubrak!
“Euleuh, siapa yang mutusinnya, Neng atau itu?”
Terpaksa aku ikut permainan ibu. “Emhh yang mutusin, ini-itu bi.”
Ya Allah mengapa lisan ini, putus apa putus apa? Aku tidak mengerti mengapa lisan ini begitu ringan menjawab begitu.
Percakapan selesai, saya pasrah saja jika memang ibu tak mengijinkan sudahlah, saya tidak akan hadir. Semalam itu saya menangis, ibu juga terlihat menangis di ujung salat malamnya.
Kita berdua sama-sama keras kepala. Ada banyak penyesalan dalam hati, apalagi saat lisan ini kemarin sore berkata menyakitkan pada ibu, “Ibu melarang saya bisnis karena ibu punya pengalaman gagal juga dengan bisnis ibu.”
“Ijinkan saya memilih jalan saya bu, dan membuktikan ke ibu jika saya bisa! Ijinkan saya belajar!”
“Justeru karena itu, ibu tak ingin kamu gagal seperti ibu!” bentaknya. “Cukup semua yang ibu alami sebagai sebuah pelajaran, kamu jangan menirunya untuk mau begitu.”
“Tapi saya bisa jika mau berusaha bu. Saya berbeda dengan Ibu”
Ibu benar-benar saya lukai, ya saya sendiripun dengan berkata begitu meluaki diri saya sendiri.
Diakhir percakapan kita saling meminta maaf, “Ibu maafin Eli,” kataku pahit sambil tetap berurai airmata.
“Tidak Eli tidak salah, ibu yang minta maaf.”
Betapa kuatnya ibu, beliau tidak menangis, begitu tegar. Betapa banyak luka dalam hatinya sampai ia bisa setegar itu menghadapi suasana setragis ini. Bagiku ini sangat dramatis, tapi ibu tetap kuat dan tegar. Sampai ku dengar ia terisak di ujung malam, baru kuketahui ibu menangis diam-diam. Ah benar yang dikatakan kang Nero, tak ada yang lebih diam-diam dari doa tengah malam. Ibu. Maafkan anakmu.
Pagi harinya ibu bertanya, “Mau jam berapa berangkat?”
Alhamdulillah, dengan ibu bertanya demikian itu tandanya ibu memang mengijinkan.
Dengan bahagia yang tak terbendung lagi aku menjawab , “Insyallah jam 7 Bu.” Dan meminta beliau memberikan doa terbaik.
Namun sebelum itu, saya diberi pesan, untuk selalu bangun pagi, beres-beres sebelum melakukan kegiatan apapun, dan baru boleh beraktivitas sesuka saya jika semua sudah selesai. Selesai membereskan rumah, mencuci, dan tetek bengek urusan rumah tangga lainnya.
Saya mulai menghidupkan motor untuk memanaskan, dan sebelum pergi, lagi-lagi meminta Ibu mendoakan saya.
“Tapi pulang kan? Pokoknya jam 1 siang sudah ada di rumah, antar Ibu ke Cipatujah.”
“Keluarnya jam 12.20 WBBI Bu, Insya Allah.” sahut saya pasrah.
Memang, ibu adalah salah satu motivator hidup saya yang luar biasa.

my mom

Beliau tegas dan sangat berprinsif. Sampai dengan saat ini, saya bisa begini begitu karena dorongan Ibu, salah satunya. Ibu membiasakan saya hidup focus dalam tekanan dan beban. Sewaktu-waktu saya mendengar di belakang Ibu membanggakan, tapi di depan Ibu sama sekali tidak pernah berucap jika saya kebanggaannya. Ah Ibu. Malam tadi saat sebelum tidur saya berkata, “Bu IP saya turun drastis.”
“Gak papalah, ibu saja kerja ini-itu, manfaat dengan berbuat ini-itu, nah gak ditanya IP berapa, yang ditanya lulusan mana. Tapi kamu juga mesti intropeksi, itu pasti karena kamu gak focus, ngurusin banyak hal, dan so’sibuk, sibuk kemana-mana!”
Ingin sekali memeluk Ibu, tapi rasanya malu. Saya bangga jadi anak Ibu. Ibu selalu tahu bagaimana memotivasi hidup saya, meskipun dengan kelemahan saya sering pikiran ini menerjemahkan dan  melihatnya secara negative. Ah Ibu, sekali lagi Ah Ibu!
Tiba di kampus UPI Tasikmalaya (Rumah ke dua) jam 09.00 kurang lebih. Langsung lari menuju tempat seminar. Malu kalau terus menerus terlambat.


Terlambat? Tidak apa-apa saya sudah berusaha tepat waktu, dan yang paling penting pemateri belum ada, jadi saya bisa makan terlebih dahulu. Di rumah memang  belum sempat makan, hanya minum seteguk susu.
Tak lama, saya kembali ke kelas bisnis (tempat: Micro Teaching UPI Tasikmalaya), pemateri tiba. Kesan pertama, kedua, ketiga, dan selanjutnya sangat amat mengesankan. Bagaimana tidak kata pertama yang terpampang dalam slide saja, “Selamat datang hai… SAUDAGAR!”


Pemateri luar biasa, seorang provokator sejati. Kenal?
Sampai pemateri pada bahasan ijin orang tua. IJIN adalah segalanya, dan perlu untuk membuktikan pada orang tua jika  kita bisa, kita mampu, memenuhi segala keinginan ibu dan lain-lain, air mata saya tak bisa lagi dibendung.Menangis di tempat teringat kejadian sore kemarin.
Silahkan jika mereka berkata menghalangi saya menangis, “Menangis boleh, tapi kita terlalu kuat untuk menangis!” atau pemateri berkata, “Seorang pebisnis terlalu lemah jika mudah menangis.”
Tidak! Silahkan kalian berkata apapun, saya sendiri yang mengalaminya, betapa ridho dan ijin orang tua begitu saya perlukan saat ini. Sangat amat saya perlukan, hingga airmata ini tak kuat lagi saya bendung.
Bisnis bukan lagi masalah untung rugi bagi saya.
BUKAN MASALAH UNTUNG RUGI.
Benar, ini masalah bersikap. Ini masalah sikap, saya tidak peduli lagi tentang juta miliar karena itu hanya sebuah semu yang pada akhirnya tetap akan hilang, dan tentu saja pada saat yang tepat: yakni saya sudah mendapat restu orang tua dan berusaha sekeras dan secerdas mungkin hal itu akan saya peroleh dengan mudah dan berkah.

Aku mau FREED!!!!!Insyallah dimudahkan dan diberkahkan, jika tujuannya memang baik. Bismillah. Freed meluncur membawa buku dan sakriuk serbu.
BUKAN MASALAH UNTUNG RUGI, ini masalah saya bersikap lebih baik kepada Ibu, bapak, orang lain juga masyarakat.
Hari itu saya benar-benar berinvestasi waktu, tenaga, pikiran, bahkan perasaan. Ini benar-benar perasaan!
Hingga hati kecil ini menjerit dan terus memanggil-manggil nama Tuhan untuk bisa memberi ampunannya pada diri yang penuh cela dan mohon untuk dikuatkan sekaligus dimudahkan dalam segala urusan.
Karena sebua proseslah (proses inilah) saya “menjadi”, dan kelak tulisan ini adalah sebuah kenangan yang indah tentang hidup yang saya jalani bersama keluarga, terutama ibu terbaik yang saya miliki.
Allahu Akbar!
Az, penuh cinta untuk Ibu. (5/2/14: 12:53)
Saksi: Ruangan 1 UPI Tasikmalaya dan meja papan tulis serta kursi bisu, juga lantunan nasyid “Nantikanku di batas waktu-edcoustik”.
 Saya hendak memposting tulisan ini, sampai kelompok bisnis saya berdatangan satu-satu untuk melakukan "meeting perdana". Bismillah. Ibu doakan anakmu ini.

Ibu and Me!


Bahagia dengan Cara Sederhana

Suatu malam saya diingatkan tentang sebuah konsep yang sangat mencengangkan. Sebelum konsep itu ditemukan, saya merasa betapa lelahnya hidup saya. Terus mencari-cari dimana letak kebahagiaan hidup saya selama ini.
Hingga konsep itu terlintas begitu saja, "Bahagia itu sangat sederhana" benarkah? Saya bertanya-tanya. Sesederhana apakah?
Apakah sesederhana saya menuliskan kata "bahagia" atau sesederhana saya mengedipkan mata, oh tidak! Bahkan mata ini berkedip tidaklah sesederhana itu. Mungkinkah sesederhana alasan Tuhan menciptakan makhluknya?
Ya, mungkin itu.
Sampai suatu sore saat diminta menjadi pengisi sebuah training motivasi. Tiba-tiba saja pikiran saya mengingat kembali konsep itu.
"Training  Motivasi: Seri Hidup Bahagia"
Semalam saya berpikir keras, bagaimana saya akan menyampaikan training ini, sedangkan hati saya sendiri pun belum lah menemukan secara utuh hidup bahagia itu seperti apa?
Lantas saya bertanya apakah dengan saya memiliki banyak uang saya bahagia? mungkin bisa, tapi tidak akan bertahan lama, hati saya tidak tentram.
Lalu? Apakah dengan saya menjadi pejabat atau jadi putri tercantik sedunia saya akan bahagia?
Oh tidak. Jika parameternya masih bersifat dunia semua tak akan kekal, kebahagiaan saya akan terbatas. Lalu apa?
Lalu dengan sisa iman yang ada dalam hati, saya menemukan dan mengakui bahagia itu memang sederhana, sesederhana alasan Tuhan menurunkan saya ke dunia.
Bahagia itu letaknya dalam hati, dan tidak saya ijinkan siapapun mencuri kebahagiaan saya.
Cukuplah saya melihat nikmat Tuhan dan saya mensyukurinya, dan saya melihat ujian Tuhan dengan bersabar terhadapnya. Selain itu, ada point lain yang ketika training saya lupakan yakni kita tidak membandingkan kelemahan kita dengan kelebihan orang lain.  Karena itu hanya akan membuat kita jatuh terpuruk dan tak mensyukuri nikmat. Lalu banyak mengeluh lalu banyak menyalahkan orang lain dan diri sendiri, atau bahkan menyalahkan Tuhan!
Bahagia memang teramat sederhana, seperti tulisan di blog saya sebelumnya: kita perlu menerima, sebuah penerimaan yang murni. Terimalah diri kita apa adanya, karena kebahagiaan tidak terletak seberapa banyak kita memiliki kelebihan, tapi seikhlas apa kita mensyukuri kekurangan.
Baiklah, hari ini saya sedang diuji. Hampir saja putus asa, sangat putus asa.
Ujian mental untuk diri saya, khususnya! 
Hujan di luar seolah mengerti, saya menangis di depan dosen yang memberi tugas: SAYA HARUS BERBICARA bahasa Inggris selama di Kampus.
Saya berlari kearah pendopo dan menagis sepuasnya disana, ditemani seorang sahabat saya menumpahkan semua kekesalan akan diri pribadi saya yang tak mampu berbahasa: kacau balau dalam bahasa Inggris.
Saya bahkan membenci lidah saya yang kaku, sebelum akhirnya sahabat saya mengingatkan bahwa itu sikap yang buruk-amat buruk!
Saya malu terus menjadi olok-olok banyak orang, saya ingin bisa dan ingin maju!
Perlahan Zahraa, proses, ini proses!
Akui dulu jika tak bisa, dan ayo belajar!



Hujan saja tak pernah letih turun ke bumi dan mampu membuat papinblok padepokan sedikit "legok". Masa saya harus letih, baru saja mendengar tugasnya dan belum apa-apa! Lihat langit masih luas! Boleh saja hujan tapi langit tetap terang, kau lihat itu!


Tapi jujur, ini hanya kejujuran!
Sumpah ding! Ini sangat menyakitkan buat saya. Disatu sisi sangat bahagia bertemu dengan dosen yang sedemikian hingga menekan hidup saya dan mau membuat saya maju, dan di sisi lain saya merasa sudah kalah duluan sebelum apa-apa.
Ya Allah......................
Bismillah, saya tidak tahu dua tahun ke depan saya akan menjadi apa. Tapi dalam hati kecil saya yakin, jika saya bisa istikomah dengan tugas ini saya akan jadi seseorang yang bisa lebih baik, bahkan bisa SUKSES!
Saya sudah bisa membayangkan diri saya beberapa tahun ke depan, bisa "ngomong" bahasa inggris dan berguna untuk hidup saya, bahkan bisa keluar negeri. Hingga pada akhirnya saya akan mengucapkan banyak terimakasih pada dosen yang membuat saya menangis dengan tugasnya tersebut.
"Ya Allah kuatkan diri saya, istikomahkan dalam jalan ini."
Baru aja berdoa tersebut, tiba-tiba saya pok aja pakai bahasa Indonesia, keceplosan! Heiiii astagfirulloh, INGAT saya harus ngomong pakai bahasa Inggris! plak!
Hujan masih turun saya harus bisa bahagia dan tetap bahagia dengan beban ini (jangan sebut beban-sebut sesuatu yang  akan indah pada waktunya).
Oke Zahraa. Bahagia ini sederhana, kita tetap bersyukur dan bersabar. Tetap berjuang, tetap berjuang, kamu bisa.
Buatlah tujuan, langkah-langkah, strategi, dan evaluasi. Kamu harus konsekuensi terhadap apa yang kamu tulis.
Pelangi tak selalu datang tiap hari, jika saat ini hujan badai, kilat menyambar-nyambar, tapi masih ada esok dimana mungkin pelangi kan muncul tiba-tiba :)
Keajaiban akan selalu datang untuk mereka yang percaya. Bahagia itu sederhana! Keajaiban pun datang dari Tuhan dengan cara-cara yang sederhana. Hidup ini harus hebat, harus keren. Tapi sikap tetap sederhana.
Mengapa bendera itu kita hormati? Karena ia melambai-lambai ditiang yang tinggi.
Hujan tetap turun, tapi hati tetaplah hati, ia lembut, dan hanya kamu yang bisa buat ia bahagia atau terluka.
Tulisan ini akan memacu saya untuk berjuang, speak english everyday at campus!
Spirit adn keep calm, keep smile!
Best Regard.

Az. (4/4/14: 15:02) @ Ruang Akademik.
Ada Pak Dindin, Ada Vira, ada Pak Rijal.