Senin, 03 Agustus 2015

CURHAT PASCA YUDISIUM

Apa kabar?
Entah yang keberapa kalinya aku gagal curhat, selalu saja ada gangguan diamna akau tak bisa menulis sepuas hati. Seorang kakak, katakan, senang sekali saat bercakap-cakap, dan seringnya aku tak tega mengehntikkan obrolannya. Padahal aku bisa berkata, leave me alone, i want write something... Tetapi, tak mampu... mungkin itu karena aku sayang, benar? Saat ini ia tengah tertidur, mari kita cek dulu, mungkin ada nyamuk di pipi kiri kanannya? ---------------- Benar, ketiganya sudah lelap. Mataku pun sudah sembab, ingin ditidurkan, tetapi tak ada waktu lagi untuk curhat, selain malam-malam saat semua pembuat gaduh tertidur, hehehe-kejam nian! Lampu kamar kumatikan saja, itu baikkan buat regenerasi kulit mereka? Eli mau menulis apa? Paska yudisium tentu saja. Ada banyak sekali tawaran yang membingungkan. AKu tahu kebingungan itu sendiri tercipta karena aku tak pernah menyiapkan diriku sendiri menjadi apa. Saat ibu memint aku pulang, aku ngangguk saja, karena toh langkah sendiri pun aku tak bisa bayangkan. Mungkin di sana pointnya, saat aku memiliki mimpi untuk bekerja sesaui minatku.. ah, aku sungguh egois dalam hal ini. Tetiba di hari itu, 1 Juli 2015. Entah lah mengapa kakiku melangkah ke arah labschool, aku hanya sedang mencari Mom Desi, dan tertangkap basah masuk ruang kantor labschool, mereka sedang rapat! Pak Aan menyambut dengan sumringah... tanpa ba-bi-bu meminta kesediaan untuk jadi stap pengajar di sana? "Hah?" Tentu saja, kebingunganku tertangkap oleh seorang dosen yang sebenarnya sudah jauh-jauh hari (maksudnya) menyelamatkanku untuk tetap stay in Tasikmalaya.Waktu itu, aku melihat rautnya yang bahagia, dan aku sendiripun sebenarnya bahagia mearasa dihargai, kan sulit cari kerja? betul? Tetapi waktu itu, Pak Aan memintaku pula menghubungi Ibun, agar sama-sama masuk mengabdi di labschool. Langsung saat itu juga aku telpon Ibun dan mengabarkan keinginan Pak Aan. Ibun juga terlihat bingung, sama sepertiku. AKu meminta beberapa orang untuk melihat dengan jernih, bagaimana keputusanku selanjutnya? Tentu yang utama bagiku adalah ijin ibu.... Selain itu, ada hal yang sebenarnya tak usah aku ungkap, bagaimana peluang di labschool ternyata hanya untuk 2 orang saja. Itupun, untuk posisi yang satu harus menunggu beberapa bulan... dan saat itu juga aku tahu bahwa dosen yang bermaksud menyelamatkanku itu tengah berupaya pula memasukkan kawanku. Sekiranya aku masuk? Ah... apalagi saat kuketahui, ibun sudha menyatakan kesiapan, aku tahu apa yang akan terjadi. Seolah-olah semua menyalahkanku, karena aku lama sekali berkeputusan.. tetapi biarlah, mereka tidak ada dalam posisiku saat itu. Busa-busa dijelaskanpun tak ada gunanya... Hingga suatu malam, saat aku sedang online, dosen tersebut mengontakku, bahwa sikap diamku dinayatakn sebagai penolakan atau ketidakminatan dan sebagainya lah... Sudah diprediksi, dan untuk mempertegas diri, aku mengatakan: Maaf, bukankah aku belum memberi jawaban. Jawabanku hari senin, ini Sabtu. Haham, mungkin dengan kata itu seolah-olah aku orang penting ya? Tapi sungguh aku telah mengatakan padanya keputusanku hari Senin. Well, sebenarnya hal itu telah diduga, bahkan sebelum hari itu, aku sedikit curhat pada kakakku yang tengah tidur itu... dan sarannya memang be your self, ada banyak jalan menuju impian. Meskipun jelas-jelas seperti itu, masih saja Pak Aan bertanya kesediaan, dan kadang aku hanya bisa tersenyum. Beberapa dosen lain pun menyampaikan unek-uneknya bahwa aku memang lambat dalam membuat keputusan, tak bisa ambil peluang, dan sebagainya: lebih parah lagi mengatakan aku tak bisa terima saran. Oke Zahraa, tak usah lah sedih dengan kata-kata itu. Hihi, lebai saja, buang waktu saja. Ada banyak hal sebenarnya, menjadi alasan tersendiri: 1. Ibu, aku tahu umur siapa yang tahu. Dua hari ingin kuluangkan khusus untuk ibu dan keluarga, jadi memilih kerja full senin-sabtu bukan yang aku harapkan. 2. Free, dengan jiwa yang kumiliki, bukan tipeku untuk berada dalam kurungan waktu dan tempat. Bekerja part time selalu jadi prioritasku, tak membuatku jenuh pastinya... 3. AKu ingin kursus, kemampuan bahasa asing yang pas-pasan tentu mesti dapat daya dukung penuh. Otakku pasti tidak bodoh-bodoh amat kan? Masa iya, kursus aja gk ada peningkatan? 4. Mendidik dengan gayaku, hehehe, sebenarnya pasti banyak yang komen saat aku bilang, tak mau jadi pendidik, tak mau ngajar! Walau hidup di bimbelan yang nota bene mendidik, aku mengambil bagian kurikulum saja. Otak atik kajian materi, dan sebagainya. Entahlah... jadi saat seorang dosen merekomendasikan aku masuk bimbel lain, aku bingung. Jadi stap pengajar lagi! Biimbelnya islami? Itu daya tarik, lagian aku bosan disebut tak bisa menerima bantuan dan saran. Oke deal, akhirnya aku mnegirim CV ke mumtazaalbiruni. Dan menunggu jadwal keluar.. Wow, iam be teacher? 5. banyak waktu buat menulis. Karena entah apa, aku merasa bahwa jika kita diam saja menunggu panggilan, mana mungkin ada yang telpon. ADa juga, kita kirim lamaran, lalu dag dig dug nunggu terima atau enggak. Itu, aku hanya coba-coba kirim lamaran dan diterima... jadi apa? jadi hantu yang menulis haha(Ghost Writer), menulis setiap hari, jika dihitung 100 artikel mesti ditulis dalam sebulan. hah? Aku sendiri tak percaya aku bisa, tapi, hari tadi adalah hari pertama aku nulis artikel... entahlah bagus apa jelek, yang penting nulis, 5 artikel /hari. Artikelku harus bertema pendidikan islam. Hemmm... dunia kerja, aku seperti romusha ya? tidak juga. Sembari menunggu pengumuman PIMNAS, masih juga ngarep! aku coba-coba berbisnis madu dan fashion. well tahu sendiri aku kan gagal terus kalau bisnis, ujung-ujungnya pasti pelanggan pada gak bayar, terlalu baik dagangnya. Tapi tak kapok-kapok... Tapi semuanya mesti dilakukan dengan diam dan tidak sok sibuk, santai sajalah, nikmati hidup ini. Itu urusan dunia? CUT! Dunia untuk akhirat. Aku tahu, saat ini sbenearnya aku bisa menghidupi diriku, tidak jajan, puasa aja atau apalah, yang penting hidup dengan makanan halal. Tetapi ada soal lain, entah dari mana mulainya, aku slelau jadi tulang punggung dari kehidupan keluarga kakak. :) Jika ada sesuatu yang kurang, dan ingin meminjam, pasti hubungi adik bungsu. Well, tak bisa menolak, tapi juga tak bisa bantu, karena aku hidup cukup, cukup sehari-eun :D Oleh sebab itulah, aku berharap bisa bantu semua orang yang menghubungiku dan bilang, "Teteh boleh gak pinjam uang?" Hah? Ingin seklai bantu!!!!!! Tetapi apa daya, hanya semampunya. Makanya sering sekali berdoa, biar diberi kecukupan agar bisa bantu orang, atau cukupilah kebutuhan orang-orang yag merasa tak cukup. Bekerja, itulah salah satu usahanya! AKu tak tahu, apa yang kukerjakan akan berharga atau tidak untuk masa depanku, terus melaju, jalani dengan senyuman. AKu sering sekali mengatakan: Hidup ini penuh sandiwara, jadi untuk peran apapun yang orang lakoni kepada kita, so hadapi saja dengan senyuman! Begitulah curhatku, aku tahu aku tak bisa lagi menyakiti ibu, harus beri ibu kepastian, besok mungkin pulang dan mengatakan keputusanku... Ya Allah permudah urusanku. Biarkan aku mejadi hambaMu yang penuh syukur. :) (0:06), 4/8/15. Az.

Minggu, 02 Agustus 2015

SALMAN, MENCINTAI KARENA ALLAH

Ku ikhlaskan siang pergi, pun mentari tenggelam Karena… Malam kan datang menjelang, juga bintang bersinar membersamai Lalu hatiku akan damai dan lelap Kesepian bagiku adalah munajat. Tuhan... Memberiku janji Pagi kan hadir kembali untuk tumbuhkan harap dan cinta Salman Al-Faritsi, seorang pemuda Irak yang terlempar ke bumi Madinah. Sungguh mulanya ia putra seorang kaya terhormat, namun karena cintanya akan kebenaran dan ilmu sejak kecil ia telah terpisah dari keluarganya. Ia ikut serta dalam sekelompok pedagang yang kemudian menjualnya menjadi seorang budak pada seorang penduduk Madinah. Apakah ia hina sebagai budak belian? Tidak, sebab cintanya pada kebenaran dan ilmu itulah, ia tetap laksana teratai di permukaan kolam. Indah dimanapun ia hidup dan berbunga, entah selokan kotor nan bau atau danau biru. Sepenggal kehidupannya yang mulia karena kecintaan pada ilmu itulah ia mendapat hidayah islam hingga menjadi anshar yang berbudi. Menyambut Nabi Allah yang mulia dengan sukacita. Suatu hari ia mengundang sebuah cinta pada seorang wanita. Ia telah terbebas dari perbudakkan oleh kebaikan dan cahaya Islam. Sehingga hak baginya untuk mengkhitbah seorang wanita yang akan ia jadikan istri. Begitulah cinta, datang selalu satu paket dengan ujian, likunya tak selalu mulus sesuai yang kita inginkan. Wanita itu tidak berkenan. Bukankah Salman seorang yang salih? Kurang apa padanya hingga wanita itu menolaknya? Ia telah begitu siap, mahar ditangan, tinggal berikrar saja. Penolakan itu terasa lebih menyakitkan, ya lagi-lagi, karena wanita itu menerima sahabat seimannya Abu Darda, seorang anshar pula. Jika ia bukan seorang Salman, tentulah engkau akan merasa sangat disakiti dikhianati oleh sahabat sendiri. Oh lalu timbullah perasaan membandingkan: memperhitungkan lebih dan kurang, kelebihan dia dan kekurangan diri hingga terperosok pada kufur akan nikmat. Tapi tidak dengan Salman, ia merelakan gadis pujaannya, hasil istikharahnya itu menjadi bunga untuk sahabatnya sendiri. Kau tahu apa yang dilakukan Salman? Ia memberikan seluruh mahar yang telah ia siapkan untuk sahabatnya. “Tidak mengapa sahabatku, gunakanlah harta ini untuk maharnya,” ungkapnya begitu tulus. Luka dihatinya ia sembuhkan dengan pengakuan dan kerelaan. Terpujilah sahabat yang salih ini, semoga Allah kini membersamai Salman dengan bidadari bermata jeli yang dijanjikan di akhirat sana. Lalu, tidak sampai di sana ujian untuk Salman. Saat dilihatnya ada garis kekecewaan pada wajah wanita yang dulu ia cintai, ia begitu resah. Lantas ia bertanya, apa yang terjadi dengan rumah tanggamu wahai wanita yang tengah muram? Wanita salihah ini mengeluh tentang rumah tangga dengan Abu Darda, ia berani mengeluh karena Salman adalah sahabat suaminya, akankah Salman bisa menolong? Wanita salihah yang ia cintai mengalami kegoncangan rumah tangga, karena Abu Darda lebih memilih banyak beribadah dibandingkan menyempatkan waktu untuk keluarganya. Apakah Salman mengambil ini sebagai kesempatan? Sebentar, kita tengok kepada kenyaatan kini. Masih adakah jaman saat ini yang tiada tergoda saat pujaan hati yang dulu, kini datang menyapa dan bercerita tentang dirinya? Ia datang mengeluh tentang keluarganya, ia datang mengeluh tentang hubungan yang hampir rapuh. Ada kebiasaan buruk sekarang kini, tak kurang bodoh dari keledai. Kemungkinan itu adalah menertawakan dia hingga puas, siapa suruh kamu tak memilih aku dan bla…blaa… kemungkinan kedua adalah mencari celah untuk kembali dengan mengatakan, “Sungguh bodoh engkau mau diperlakukan demikian oleh dia, sungguh ia telah menyia-nyiakanmu, mari kembali bersamaku dan tinggalkan ia yang tak mengerti kamu…. Ah, ini keterlaluan untuk seorang sahabat. Ada kemungkinan ketiga yang lebih manusiawi tapi menyakitkan adalah mengatakan: itu masalahmu, bukan masalahku. Mengapa engkau memintaku menanggung masalah yang aku tak mau tahu bagaimana cara menanggungnya, pergilah sejauh-jauhnya. Aku berlepas darimu. Tapi ketiga kemungkinan itu tak berlaku untuk seorang Salman. Teramat baik budi pekertinya, betapa jernih cintanya pada Abu Darda dan wanita itu. Abu Darda adalah sahabatnya yang ia cintai, wanita itu pula adalah wanita salihah yang ia kasihi. Ia menunduk terpekur, apa yang harus ia lakukan agar rumah tangga mereka bahagia sentosa. Sungguh pemikiran yang bersih lagi indah. “Baiklah aku akan berusaha,” ujarnya. “Sore nanti aku akan berkunjung ke rumahmu.” Salman berusaha mencari cara. Sore itu Salman berkunjung ke rumah Abu Darda yang disambutnya dengan gembira. Dengan hati-hati Salman meminta, agar ia bisa menginap di kamar Abu Darda yang kini lebih terlihat seperti mushola dibandingkan sebuah kamar. Abu Darda keberatan, tapi sungguh hati seorang beriman, demi saudara tercintanya, ia mengijinkan permintaan Salman yang tidak biasa tersebut. Saat malam telah menjelang, dan mereka selesai menunaikan salat isya, kemudian berdiskusi tentang agama. Abu Darda meminta Salman tidur lebih dahulu karena malam mulai beranjak larut, “Tidurlah saudaraku, hari sudah malam. Biarkan aku bermunajat kepada Allah terlebih dahulu,” “Demi Allah,” jawab Salman. “Aku tak akan tidur selamanya jika engkau tidak tidur bersamaku, sekarang.” Abu Darda terkejut, “Jangan engkau berkata begitu wahai Salman sahabatku, takutlah kepada Allah.” “Aku tak akan mencabut ucapanku wahai sahabatku, hingga engkau mau sama-sama tidur bersamaku.” Akhirnya Abu Darda pun ikut tidur bersama Salman. Saat malam turun, Abu Darda bersiap bangun untuk melaksanakan salat tahajud. Namun Salman lantas mencegatnya, “Hendak kemana sahabatku, hari masih sangat malam, tidurlah lagi di sisiku, masih ingatkah engkau ucapanku tadi sebelum tidur?” Dan Abu Darda mengalah ia kembali berbaring di sisi Salman. Saat waktu subuh akan semakin dekat, Salman membangunkan Abu Darda, “Bangunlah sahabatku, sesungguhnya sisa malam masih ada. Mari salat tahajud bersamaku.” Dengan keadaan segar bugar mereka segera bersuci, dan berdiri mengangkat tangan sembari takbir, lalu rukuk dan sujud mengagungkan asma Allah. Saat pagi telah datang, Salman disuguhi hidangan yang sangat lezat oleh istri Abu Darda. Sate kambing guling, roti yang lembut nan empuk, gandum yang putih telah ditanak dengan matang dan hangat. Adalah kebiasaan bangsa Arab memuliakan tamu, bahkan ada kisah Arab miskin yang menjamu tamu dalam kegelapan. Agar yang dijamu tidak sungkan dan tidak kecewa, dan si penjamu bisa berpura-pura ikut makan padahal tidak. “Silahkan makan sahabatku,” kata Abu Darda dengan wajah yang cerah, ia tak lagi pucat. Tampak lebih bersinar, mungkin karena tidur yang cukup. “Mari,” sambut Salman. “Tapi maaf saudaraku, aku telah berniat berpuasa,” jawab Abu Darda. “Demi Allah sahabatku, aku tidak akan pernah makan lagi, jika kau tak menemaniku makan sekarang.” Abu Darda terkejut, “Jagalah ucapanmu wahai Salman.” Serunya sedikit marah. “Ayolah makan bersamaku, agar aku bisa mencabut ucapanku.” pinta Salman. Abu Darda membatalkan puasanya, ia bersama Salman makan dengan lahap. Istri Salman melihat dibalik hijab dengan senyuman yang merekah. Selesai bersantap, Salman berpamitan. Namun sebelum keluar ia berpesan dengan sangat bijak. “Wahai sahabatku, sesungguhnya ada tiga hak dalam dirimu yang harus kau tunaikan. Jagalah ia, agar semua terpenuhi. Hak itu adalah, hak untuk Tuhanmu, hak untuk keluargamu, dan hak untuk dirimu sendiri.” Kemudian Salman berlalu dengan pengharapan Allah membuka dan memahamkan Abu Darda akan pesannya. Abu Darda seorang lelaki beriman, merasa jika ia melakukan semua ini karena Allah, lantas mengadukan perbuatan sahabatnya ini kepada Rasulullah. Ya, Abu Darda bukan ingin menghakimi Salman, ia ingin mendapat penguatan dai pesan seorang sahabat itu. Kemudian Rasulullah bersabda: Benar kata Salman. Semenjak itulah keluarga itu kembali sentosa, dan cinta sejati dihati Salman terus mencari tempat untuk ia tebarkan dalam kebaikan-kebaikan yang tak henti. Apakah kau dapati secuil saja kebencian dihati seorang Salman yang merelakan wanitanya dinikahi oleh sahabatnya? Tidak. Ia simpan luka itu dan ia bungkus dengan hati-hati dengan cintanya kepada Allah. Oh, inikah cinta kerana Allah itu? Ya benar saat cinta ini menjadi jalan kebaikan untuk ia yang kita cintai, bukan melukai apalagi membenci. Saat seseorang berjiwa besar terluka, ia bangkit dengan kebesarannya dan berkata: Sesungguhnya aku tak rela engkau bersamanya, namun jika dengan itu engkau bahagia, maka aku ridha. Betapa tulus ucapan itu, ia dimulai dengan pengakuan yang agung, jujur tanpa beban. Jika sebagai seorang manusia biasa, ia memiliki perasaan tak rela cinta yang telah dijaganya berlalu begitu saja, ini sangat manusiawi! Namun tidakkah kita melihat ucapan keduanya? Atas nama Allah yang ia percayai dalam jiwanya: Ia ridha dengan ketentuan Tuhan, dengan melihat cinta yang ia jaga bisa bahagia dengan pilihannya. Inilah point beriman kepada takdir Tuhan, keiklasan. “Telah dikhiaskan kepada manusia cintanya kepada apa-apa yang diinginkan, berupa wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, pera, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah lading. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (surga),” (QS. Ali-Imran: 14). Ya Rabb, jadikan hati ini lebih-lebih-lebih condong dalam mencintaiMu dan kehidupan akhirat dibandingkan dunia. Jadikanlah cinta ini sebagai wasilah mendapat cintaMu. Himpunkan kami dalam naungan kasih dan curahan rahmat dan ampunanMu. Jangan tutup hati kami, jangan sumbat pendengaran kami, jangan butakan penglihatan kami dari memahami dan mensyukuri atas segala nikmat yang Engkau curahkan pada kami. Jangan timpakan pada kami hati yang sakit, yang kemudian Engkau tambah-tambah sakit itu menjadi dalam dan dalam di hati kami. Sesunguhnya Engkau Allah, Rabb Yang Maha Lembut, maha penjaga hati kami untuk tetap hidup. Hidupkanlah hati kami dengan cintaMu. Aamiin.

ROSELA

Aku masih percaya, menulis bisa meredakan segala gelisah dan menumbuhkan banyak sekali harapan. Rasa kehilangan, kepergian, rasa bersalah, penyesalan, keingin tahuan, kebencian, kebahagiaan, kebaikan dan kejahatan. Dalam waktu yang lama, menulis bisa menjadi semacam obat daya tahan. Diapun percaya, sama sepertiku. Menulis ibarat sebuah jalan menuju pulau kebebasan. Menulis seperti berbicara dengan diri sendiri, tentang banyak konsep kebenaran-kebaikan-kebijaksanaan-keberpihakan-kecenderungan. Dan setiap orang berkata padaku dan padanya untuk terus menulis. Ya, mungkin saja mereka khawatir, trauma masalalu membuatku dan nya gila, hilang kendali? Mengapa semua orang meminta terus menulis? Apa yang harus kutulis? Apa yang harus kutulis? Apa yang bisa kulukis dalam kertas? Aku hanya bisa bertanya “apa yang harus kutulis?” Sampai suatu masa ia baca sesuatu yang menghentakkan pikirannya, “bukan... sama sekali ini bukan soal: apa yang harus kau tulis, melainkan apa yang bisa kau bagi dan mesti dibaca orang-orang? *** “Aku tahu perpisahan kita sebentar lagi, mungkin ini saatnya kita jujur satu sama lain,” ucapku padanya. “Jadi selama ini kamu anggap aku berbohong?” bentaknya marah. Tidak terduga, ia mulai berburuk sangka. “Bukan begitu, mungkin ada sesuatu hal yang kau sulit mengatakannya padaku, aku berharap hari ini kau bisa mengatakannya, aku sudah siap.” “Maafkan aku...” ia menghela napas panjang-panjang. Aku menerka ia memiliki sebuah rahasia, dan ini waktunya aku akan mengetahui sebuah ganjalan di hatinya. Mari menyimak, ini waktunya menjadi seorang penyimak yang baik, bukan penyela. Siapkan diri, siapkan diri... aku tersenyum dan mulai meyakinkannya. “Ayolah, ini sudah saatnya, aku tak tahu mungkin tak ada lagi moment terbaik yang akan kita miliki selain hari ini.” “Baiklah, dengarkan aku,” ucapnya mulai tenang. “Kau seorang penulis, emmm ya berbakat sekali menjadi seorang penulis!” “Tidak,” bantahku. “Tapi kau... memang berbakat...” “Tidak, aku hanya bermain dengan diriku, aku bukan penulis,” “Dengarkan aku Rosela...,” ungkapnya tegas. Aku segera insyaf jika aku tak boleh menyela. Baik, diamlah wahai diri, kau tak akan tahu kebenaran jika terus menyela orang lain. “Kau berbakat menulis. Aku tahu semua orang sering kali berdecak kagum dengan tulisan yang kau buat, walau satu kalimat saja entahlah mungkin tulisan kau memang magis. Aku tahu itu, aku tahu karena kau menulisnya dengan sepenuh hati... kau menulis dengan hati, dan itu... bagus.” Aku ingin menyela, tetapi aku merasa, bukan ini yang ingin ia ungkapkan. Baikalh tetap diam. “Kau menulis dengan hati, dan semua tulisan itu pasti berasal dari hatimukan? Tapi rosela bagiku sering kali kau menyakiti. Orang-orang terdekatmu tahu semua isi tulisanmu, dan beberapa tulisanmu seolah-olahah... sudahlah, aku tak pandai berkata-kata.” Aku menggigit bibirku. Sepenuhnya aku yang menguasai aku. Jangan bereaksi apapun. Tenag dulu... tapi yang ia katakan, yang ia katakan... “Rosela, kau pandai sekali menulis, kau mampu membuat semua orang setuju dengan pikiranmu, kau mampu membuat yang salah seolah-olah jadi kebenaran dengan polesan sedikit argumentasi dan juga perasaanmu. Aku tak tahu, dari sudut orang lain kadang yang kau tulis seperti membela diri... aku hanya meminta, kau tulis semua dari hati dengan hati, tapi tolonglah jangan tulis semuanya...” Aku semakin sakit, jiwaku sakit, tapi bibirku terkatup, ada dalam pikirabku yang berkecamuk, tetapi... bukankah aku yang mengatakan telah siap? “Rosela, tulisanmu akan dibaca semua orang. Apalagi kau sangat senang sekali mempublikasikannya, bahkan yang amat pribadi sekalipun, iyakan?” Sudah cukup, aku ingin menyela. Ijinkan aku menyela... “Hanya itu saja Rosela. Apa yang aku ingin utarakan sejak dulu, kini kau sudah mendapatkannya. Aku tak bermaksud menyakitimu, aku sayang padamu.” *** Perpisahan itu tak terelakkan, aku tak tahu bagaimana bentuk perasaannya menahan gejolak atas semua tulisanku. Ya mungkin bukan hanya dia yang tersakiti saat aku menulis, aku telah menulis nama-nama dalam cerita, dan nama-nama itu menggugatku... bukan nama-nama itu menghakimiku dalam diamnya. Banyak nama itu merasa tersakiti? Bagaimana aku ingat tentang naima, nurul, tiara, laila, ilalang, john, habib, niza, dan tentu rosela.... Sejak itu, aku memutuskan untuk tidak lagi menulis. Aku tak ingin ada yang tersakiti. *** Ayo menulis lagi, aku dan nya hanya tersenyum ketika orang-orang berteriak di gendang telingaku dan nya untuk menulis. Bagaimana jika menulis membuatku menyakiti orang lain, bukan mencerahkan orang lain? Gumamku suatu malam. Siapa yang tersakiti hemm? Apakah niatmu menulis untuk menyakiti nama-nama? Tidak. Lalu jika satu kali ada satu dua orang yang merasa sakit hati dengan tulisanmu, apa kau akan langsung berhenti? Aku tak tahu, dia orang yang aku cintai, ia telah jujur padaku. Rosela, dengarlah. Pembaca itu hanya penebak-nebak, termasuk yang dekat yang jauh, kau hanya menghujamkan perasaanmu dan tulisanm mengalir, lalu apa salahnya kau menulis dan membuat pembacanya tersakiti atau terhibur atau tercerahkan? Kau tidak salah, kau berhasil, kau bisa membuat semua orang merasa terlibat! Tapi, inspirasiku memang datang dari sekelilingku, aku tak bisa menampikkan semuanya! Rosela, bukankah itu sesuatu yang pasti? Seorang pedagang pasti menulis tentang untung rugi perniagaan, seorang guru pasti menulis tentang apa yang ia kuasai, lalu kau? Sebuah kepastian kau menulis dari apa yang terdekat dan terjangkau. Jangan bela aku! Aku tak ingin menulis jika menyakiti orang lain! lLebih baik jadi batu saja, batu yang tak bisa bicara, yang tak bisa bergerak, tak mencubit hati orang lain, tapi batu masih bisa jatuh dan terpecah-belah dalam ketakutan pada Allah... aku hanya ingin jadi batu saja. Rosela! Tuhan telah karuniakan kamu akal sehat, mengapa kau menyalahi dirimu! Tidakkah engkau bersyukur dengan karunia itu? Mengapa kau menjadikan batu seperti pelarian? Tidak, maksudku bukan pelarian, batu itu hanya umpama. Aku hanya ingin seperti maryam, yang kala ia melahirkan ia bergumam, sebaiknya aku menjadi pohon lalu mati dan terlupakan... Sudahlah, susah berdialog dengan mu rosela! Kau terlalu membela diri, kau terlalu merasa benar dengan dirimu, kau terlalu menyebalkan dan keras kepala... *** Akhirnya, semua orang menyerah memintaku dan nya untuk tetap menulis. Ada dalam diriku yang hilang dan dengan sendirinya. Aku menghilangkan diri tanpa disadari. Menjelamakn diri seperti abu yang diterbangkan angin. Lalu pada ujung hayatku, rosela menjelma batu yang bisu dan tuli. Lenyaplah, 60 tahun hanya waktu singgah sebentar. Sedang beberapa helai tulisannya menjadi perbincangan, andai saja ia tak begitu... andai saja ia tak memiliki pikiran yang salah. Menulislah dengan hati, dengan kejujuran, dengan niat yang baik, pikiran yang baik, bacaan yang baik, maka akan lahir karya yang baik. Baik? Kata itu terlalu abstrak. Tapi kebaikan adalah sesuatu yang menenangkan. Jadi? Hm... Tulislah yang menenangkan. Tuhan semoga memberkati para penulis. (Az, 22/07/15).

ONE DAY, 2017

Seorang wanita dari sebuah bandara kota T, Lanud Wiriadinata, turun tanpa penyambutan siapapun, tanpa dijemput siapapun. Bandara ini sudah cukup sesak. Taksi berbagai perusahaan menawarkan jasanya. Wanita itu menjawab setiap tawaran dengan senyuman saja, sebuah basa-basi untuk menolak. Ia hanya ingin menyusuri kenangan. Kota T adalah kampung halamannya. Dua setengah tahun adalah waktu yang cukup lama untuk meninggalkan semuanya. Pergi menenangkan diri, niatnya waktu itu. Dan satu-satunya alasan adalah menuntut ilmu. Ia berjalan cukup lama, koper berisi beberapa helai baju dan buku-buku ia sorong. Di stopnya angkot 01. Jalanan cukup basah, hujan turun perlahan. Ia buka kaca jendela, agar satu dua rintik bisa menyentuh jemari mungilnya yang gigil. Sepanjang perjalanan itu, tiada percakapan. Ia sibuk menelusuri pikirannya sendiri. Diangkot ini dulu waktu tingkat 1, pelbagai kehidupn telah dilalui. Saat pertama mencari kostan, berteman dengan sebuah geng, geng yang aneh dan lalu berpisah, lalu jatuh cinta, terluka, menjadi mahasiswa yang sok sibuk dan sok kritis, skripsinya yang lama dan tak kunjung usai karena ditengah pata hati, terlambat lulus, dan ah semua kenangan itu... dan orang-orang itu. “Turun dimana Neng?” Dia terkejut dengan penyambutan kata “neng”, hanya ada beberapa orang yang memanggilnya “neng”... itu pun beberapa lainnya memutuskan kembali memanggil nama setelah melewati beberapa kejadian. Mang angkot ini, telah mengembalikan satu dari sekian kenangan, melalui kata... “Neng, hei?” “Iya mang, emmmm Dadaha!” Dulu, seorang dosen sering mengejeknya, bukan mengejek tapi “mungkin” hanya bercanda tentang “Cinta di atas langit Dadaha”, bukan 99 cahaya di langit erofa? Sore ini memang waktu yang pas untuk sekedar duduk di taman Dadaha yang konon katanya sudah dibangun dengan desain yang wah. Berita yang selalu ia ikuti di luar sana, yang lebih menarik dari berita menikahnya princess, atau revolusi dalam negeri, ya itu perkembangan kota ini. Aku membayangkan air mancur yang tinggi, sekelilinggnya koi berenang dengan indah, bunga merah hijau kuning orange atau putih bermekaran. Ini musim semi jika di Jepang, apakah di kota T bisa pula bersemi. Aku berharap yang bersemi bukan hanya bunga, juga hatiku yang lama mati. Ah, aku ini lebai saja... Handphone di saku mantel panjangku bergetar, sebuah pesan masuk, “Selamat datang kembali di kota T, ditunggu di kampus kebanggaan ya.” Aku tahu orang ini salah satunya yang sering memaksaku untuk berbagi cerita, semuanya. Bahkan ia masuk ke daftar orang menyebalkan di beberapa tulisanku, tapi penyambutannya hari ini amat kusukai. Seolah-olah ia membuka pintu rumah saat aku berada di halamannya, seakan-akan ia membuka kedua lengannya saat aku tak tahu harus bersuara ke siapa, ia membuka dunia lama dengan baik. Bagiku sekarang dunia baru. Angkot 01 berhenti, aku dulu sering naik becak di sini. “Neng sudah sampai.” Aku tersenyum, sepatu tinggiku memaksaku membungkuk keluar dari angkot. “Awww,” aku merasakan sakit sekali dibagian kepalaku. Rupanya rambut lurusku menyangkut dikaca-kaca jendela yang tadi sengaja kubuka. “Kenapa neng?” Mang angkot kaget melihat aku meringis, menahan sakit. Sejak kepergianku dua tahun lalu, dan semua luka yang kubawa pergi. Aku memutuskan membuka jilbabku, menjadi orang lain di tempat baru, dengan jeans ketat yang kugunakan, dibalik mantel yang hampir menyentuh lututku, juga hihghills membuatku 10 cm lebih tinggi. “Tidak apa-apa Mang.” Aku menyodorkan uang pecahan sepuluh ribu, entahlah ongkos sekarang berapa. Sejak krisis ekonomi tanah air naik turun, aku tak peduli lagi tentang harga-harga, bagiku yang penting aku masih bisa beli, mungkin itu pikiran yang amat berbahaya? Mang angkot siap mengembalikan lebih uangku, tapi melihat kebaikan dan kenangan itu, aku memutuskan tersenyum saja. “No Mang, gak usah, buat Mamang aja.” “Enggak Neng, ini buka haknya.” “Buat Mang aja, sedkit kok.” “Enggak Neng, ambil saja.” Ia menyorongkan uang itu, “Buat Neng yang baru sampai di kota ini, berhati-hati ya...” Aku tertegun, entah apa yang terjadi dengan kota ini, mungkin kembali jadi kota santri? Atau justeru pesan mang angkot ini memberiku tanda untuk hati-hati karena situasi kota yang rawan? Entahlah. Hawa dingin menusukku, sore hari meniupkan angin yang dingin sampai sumsum belakang. Aku menyorong kembali koper, rintik hujan menemaniku. Dramatis! Aku berharap ada seseorang dari masa dulu yang bisa kukenal dan kuajak diskusi tentang “apa kabarnya?” “Neng, beca?” Mang ini, memanggilku, ah masih juga dengan kata: neng... Mungkinkah hanya orang baru yang memanggilku neng? Aku menangguk, syal yang menutup leher dan mulutku menahan pandanggannya dari melihat sungging senyumanku melihat mamang ini. Mamang ini dulu sering mengantarku ke pusat belanja, sewaktu tingkat 1, mahasiswa baru yang tak tahu arah. “Mang, antar ke taman ini ya.” Mang beca mengerutkan keningnya, “Neng taman ini sedang ditutup.” “Kenapa lho kok?” “Ada pembunuhan dua hari lalu.” Aku membayangkan seorang perempuan tergeletak bersimbah darah. “Seorang anggota geng motor dikoyak-koyak, mengerikan.” Bayanganku rapuh dan pudar, bukan perempuan luka yang mati, tapi seorang geng motor? Entahlah anganku kembali plong, hatiku merasa lebih ridho jika orang seperti itu yang meninggal. “Pemuda itu baik, tapi entahlah mengapa ia gabung di geng motor itu... ia seorang dosen muda, semua orang tidak menyangka.” Aku diam, dan membayangkan seseorang yang mungkin kukenal. Seorang dosen muda, apakah seorang penyair? “Dia penyair, musisi, pelukis, budayawan... hidupnya diabdikan untuk seni dan budaya, sampai-sampai lupa menikah. Tetapi sayang ia meninggal di usia muda, ah bahkan sebelum ia genapkan...” “Mang tahu dekat?” “Minggu ini minggu yang menyedihkan buat Mamang, dia baik, sekali lagi baik, tiap minggu ia akan mampir di warung susu murni di dekat pangkalan. Memesan satu dua surabi, dan bercerita banyak hal kepada kita yang tak tahu apa-apa tentang pendidikan dan negara. Tapi sudahlah, itu takdirnya.” Aku tertekan, dosen muda, belum menikah, penyair, musisi, pelukis? Apakah dia yang dulu juga pernah mampir di warung dekat organ jantungku? Hah! Tidak mungkin, jika iya berita itu pasti sudah sampai. Aku melirik hp canggihku, oh aku lupa belum mengaktifkannya sejak tiba di tanah air. “Mang belok dulu Mang, warung cell.” Aku membeli kartu data, dan memastikan hp canggihku, penghubung seluruh isi dunia, menyala kembali dengan rentetan bunyi notif. “Jadi mau kemana Neng?” Aku tertegun sesaat ketika duduk di jok beca. Kemana ya? Aku ingin singgah di sini sebnetar sebelum memutuskan pulang ke rumah. “Hem.... Warung lesehan saja mang!” Perutku lapar, dan gerimis sore telah membuatnya terasa sempurna, lapar akut. Aku rindu makanan tanah kelahiranku, rasa pedas yang memanggang lidah, atau lalaban yang hijau dan sambal yang segar. Tapi rasa penasaranku tentang si terbunuh membuat semuanya terasa tidak enak algi... Aplikasi line ku berbunyi, aku lirik, teman semasa kuliah. Mengabarkan berita duka cita... tentang sahabat kami yang terbunuh. Aku terhenyak. Dugaanku? Dua tahun setengah, aku pergi mengejar impian masterku di negeri jiran. Sembari mengobati luka hati yang kuderita. Kini kembali dengan hati yang lebih siap, dengan harapan yang masih menggunung, juga sepucuk rindu yang tak pernah diperlihatkan... namun, apalah artinya itu? Jika selama itu aku membohongi jiwaku? Dan takdirku terus bergerak, mengambil semua yang kucintai? Dugaanku? Bukan berita itu yang melukaiku sampai berpikir ulang tentang sesalnya niat kepergianku, tapi satunya lagi. Aku bersyukur saat terbunuh itu adalah A, dan bukan B. Hah, benar orang-orang baik selalu meninggal lebih cepat. Berita selanjutnya, masih dari teman semasa kuliah. “...dalam walimatul ursy B dan C...” Aku mengatupkan bibirku, menggitnya erat, menyibak rambutku yang mulai basah. Aku keluar dari becak, meninggalkan koperku, dan berjalan jauh ke tengah-tengah kota. Menjadi orang lain, bukanlah pilihan, cinta takkan kembali dengan menjadi orang lain. Rambutku merah? Mungkin Tuhan tak suka. Aku master dengan lulusan terbaik, menjadi hilang akal sehatku cukup dalam 1 menit? *** Rupanya yang berlari hanya pikiranku saja, aku masih mengotak-atik tuts keyboard notebookku. Guncangan pesawat tak menyurutkanku untuk tetap menulis, dasar kepala keras! Aku sering mengataiku sendiri dengan itu, bukan keras kepala. Hehehe. Ah! Keluargaku pasti sudah menunggu di bandara yang baru saja dibuka itu, bukan saja keluarga, kabar kepulanganku membuat si idaman hati, yang dua bulan lalu mengkhitbahku menyempatkan diri menyambut pula. Padahal ia sendiri sedang sibuk menyiapkan diri untuk turnamen di Sentul, Bogor. Dasar! Membuatku malu saja. Ia pasti datang dengan gayanya yang kontoversi. Rambut cueknya, mata tajamnya, dan pakaian koboi sekenanya, jauh sekali dari formalitas. Tapi entahlah, justeru nyaman melihatnya demikian. Seperkian menit lagi lepas landas, suara peringatan mengencangkan sabuk pengaman sudah berlalu. Aku berkemas, diluar sana titik hitam kepala (mungkin salah satunya kepala ibu), aku merindukan kota ini, kota yang segera memelukku dengan penerimaan seperti penerimaan ibu akan kembalinya seorang anak yang lebih memilih terus belajar daripada bekerja dan bersuami. Ah ibu, pilihan ibu, seorang pembalap ya bu. Az. (20/07/15)