Selasa, 31 Maret 2015

Catatan Yang Ceritanya Calon Guru (@_#)

Katakan dia seorang kakak. Aku? Seorang yang intens berkunjung ke dinding fesbuknya. Apalagi yang ia tulis kali ini, ah tentu saja tentang anak didiknya, tentang sekolahnya yang penuh inspirasi. Sejujurnya, aku adalah mahasiswa PGSD, Pendidikan Guru Sekolah Dasar, yang sudah semestinya mengerti ilmu memahami dan mendidik anak. Tetapi, aroma mendidik anak seolah jauh dari keseharianku, aku lebih sering jengkel terhadap perilaku mereka, tapi sejak hobi stalking itu, aku mulai mengerti, siswaku adalah heart-warmerku…. 

Tulisan di dindingnya kali ini apa? Aku tergerak dan mencari nama Risa Wismaliya. Tertera paling atas di dindingnya sebuah judul yang ia tulis panjang “Sayang melalui Perjuangan (Banjir Hadiah)”, apa pula ini? Aku mencoba menerka apa isi tulisan ini, rasanya jari tak sabar untuk menekan read complete. 

“Minggu pagi kemarin,” tulisnya memulai cerita, aku dikejutkan dengan kedatangan tiga orang siswa…. Begitu terus kubaca sampai akhir, sampai titik. Aku berusaha mencari kelanjutannya, tapi tidak ada lagi, habis. Habis dengan tulisan: Bukan hanya dengan barangnya tetapi perjuangan mereka untukku, artinya mereka sayang. 

Tulisannya tentang tiga anak didiknya yang datang jauh-jauh untuk memberinya hadiah di hari Minggu pagi, ah hadiah? Hadiah yang banyak, tidak hanya satu bahkan lebih, benar-benar banjir, aku tahu kesimpulannya adalah banjir kebahagiaan, banjir kasih sayang dari siswanya.

Apa yang telah ia lakukan sampai-sampai tiga orang anak itu nekad datang jauh-jauh hanya untuk memberi kejutan? Dengan diantar seorang ojek jalanan, mereka bertiga berdempetan menuju pasar, mencari badcover, sepatu dan kerudung untuk ibu gurunya. Lalu dengan senang hati mengantarkannya pula dengan penuh suka cita. Apa yang menggerakkan hatinya. Aku terus mencari alasan itu. Mengapa anak-anak yang biasanya nakal begitu murah hati dan bertindak inspiratif demikian, apa yang telah meracuninya? Oh bukan meracuni, siapa yang telah merubahnya? Aih tentu saja gurunya. Pertanyaannya jelas: Apa yang telah dilakukan seorang Risa terhadap siswanya?

Aku menelusuri mungkin ada catatan atau status yang terlewat dari dinding fesbuknya. Tertanggal 05 Januari 2015 dia menulis sebuah status, “Bunda hanya ingin kalian menjadi anak-anak yang sholeh, itu pun sudah cukup… tetapi Bunda juga bahagia dengan cenderamata ini, makasih ya, Dafa-Dafi.” Aku yakin benar Dafa-Dafi adalah nama siswanya di sekolah, distatus itu nampak pula sebuah gambar gantungan kunci dan jam weker.

Benar, aku semakin iri… bagaimana, bagaimana, bagaimana caranya agar anak-anak itu mencintaiku?

Sampailah pertanyaanku pada catatannya yang lain, ada tentang ketika ia dalam kelas, ketika membuat ranting mimpi, sering kali ia dan siswanya duduk lesehan untuk belajar, botram (makan nasi bersama siswa), ketika ia meminta ijin tidak masuk karena harus ke Malaysia, catatan ketika anak-anak merangkulnya saat pulang dari Malaysia, catatan ketika ia meminta anak-anak membuat surat terimakasih untuk ibu dan bapaknya, catatan ketika ia menangis bersama siswanya sebelum ia pergi lagi ke Malaysia yang seolah tidak akan bertemu lagi, catatan ketika ia menjadi coach lomba futsal dan volley putri, catatannya ketika siswanya menang sebagai juara umum, catatannya ketika memandikan siswa, dan catatannya ketika ia membagikan raport, ketika semua murid maju ke depan sebagai juara dari setiap kategori.

Rupanya ini yang membuatnya sangat dicintai murid, ia mengerti dan memahami muridnya lebih dari ia memahami dirinya. Tulisnya lebih mengagetkan, ketika ia menangis bersama siswa sebelum berangkat ke Malaysia, ia mendelegasikan tugas kelas ke muridnya yang bahkan masih kecil, lagi-lagi semua mengerti dan siap. “A tuliskan anak-anak yang nakal, B ingatkan jadwal piket, C bla…bla… sampai semua siswanya mendapat amanah,” lalu dengan itulah mereka belajar bertanggung jawab. Konsekuensi yang nakal tidak dapat oleh-oleh, dan lain-lain.

Ketika itu, setelah semua mendapat amanah. Ia duduk tenang melingkar, lalu dimulailah percakapan yang mengharukan, saat ia meminta maaf pada muridnya. Jarang bukan ada guru yang memint maaf? Apalagi dengan cara yang mengharukan, sampai muridnya berkaca-kaca. Murid perempuan yang lebih sensitive langsung memeluknya, guru yang selama ini ia sebut “Bunda”, tetapi murid laki-laki berbeda, mereka terbengong-bengong, bingung, dan sebagainya. Lebih mengharukan saat siswa perempuan menjawab permintaan maaf dengan tangisan, “Bunda, maafkan kami. Kami yang nakal, jangan menangis Bunda.” Tentu saja Bunda Risa selalu memiliki ide yang tak akan pernah bisa dilupakan seumur hidup oleh siswanya. Ia berkata, “Bunda akan berhenti menangis, tetapi ada syaratnya, tolong hapus air mata Bunda tapi langsung oleh tangan siswa laki-laki.” Inilah uji mental. Ia begitu berani mengajukan sesuatu yang seolah remeh, tapi besar sekali akibatnya. Bagaimana jika tidak ada yang berani? Di sana ia menulis, ia memejamkan matanya, setelah beberapa menit kelas tetap sepi tidak ada yang berani, anak perempuan meminta anak laki-laki, anak laki-laki justru gelisah, ada yang lari tak jelas, ada yang mengegrak-gerak tangan kaki, semua salah tingkah. Bertambahlah air mata Bunda Risa, kemudian seorang anak laki-laki keluar kelas, entah kemana. Satu menit kemudian dia datang, mendekati Bunda Risa. Bunda Risa yang masih duduk, bertanya, “Tadi dari mana?”

Dengan malu dan segan, anak laki-laki menjawab, “Maaf ibu tadi cuci tangan dulu, tangannya kotor, maaf….” Bertambah deraslah air mata Bunda Risa, ia menangis, benar-benar terharu dengan anak didiknya. Dengan tangan gemetar anak itu menghapus air mata Bunda Risa.

Aku ikut menangis membaca catatan itu, siswa yang selama ini membuatku pening, naik darah, dan sebagainya, terasa berubah tingkah dihadapan Bunda Risa.

Suatu hari ingin kubertanya padanya, bagaimana ia bisa dicintai?

Tulisannya lagi lah yang menjawab, perlakukan anak didik seperti anak sendiri, jadikan ia inspirasi, bukan hanya siswa yang belajar dari kita, sejujurnya kitalah yang belajar dari mereka. Mereka memiliki pengalamna yang kaya, seringkali mereka lebih cerdas dari yang kita bayangkan. Kepolosannya adalah kejujuran, ungkapannya tak dibuat-buat, mereka adalah inspirasiku. Anak-anakku kalianlah, inspirasi Bunda.

Aku terdiam malu, dan memikirkan apa yang telah kulakukan selama ini. Apa yang akan kulakukan terhadap anak didikku? Ah aku merasa mencintainya dan ingin segera bertemu dengannya, siapapun mereka, siswaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar