Katakan dia
seorang kakak. Aku? Seorang yang intens berkunjung ke dinding fesbuknya. Apalagi yang ia tulis kali
ini, ah tentu saja tentang anak didiknya, tentang sekolahnya yang penuh
inspirasi. Sejujurnya, aku adalah mahasiswa PGSD, Pendidikan Guru Sekolah Dasar,
yang sudah semestinya mengerti ilmu memahami dan mendidik anak. Tetapi, aroma
mendidik anak seolah jauh dari keseharianku, aku lebih sering jengkel terhadap perilaku
mereka, tapi sejak hobi stalking itu,
aku mulai mengerti, siswaku adalah heart-warmerku….
Tulisan di
dindingnya kali ini apa? Aku tergerak dan mencari nama Risa Wismaliya. Tertera
paling atas di dindingnya sebuah judul yang ia tulis panjang “Sayang melalui
Perjuangan (Banjir Hadiah)”, apa pula ini? Aku mencoba menerka apa isi tulisan
ini, rasanya jari tak sabar untuk menekan read
complete.
“Minggu pagi kemarin,”
tulisnya memulai cerita, aku dikejutkan
dengan kedatangan tiga orang siswa…. Begitu terus kubaca sampai akhir,
sampai titik. Aku berusaha mencari kelanjutannya, tapi tidak ada lagi, habis. Habis
dengan tulisan: Bukan hanya dengan
barangnya tetapi perjuangan mereka untukku, artinya mereka sayang.
Tulisannya
tentang tiga anak didiknya yang datang jauh-jauh untuk memberinya hadiah di
hari Minggu pagi, ah hadiah? Hadiah yang banyak, tidak hanya satu bahkan lebih,
benar-benar banjir, aku tahu kesimpulannya adalah banjir kebahagiaan, banjir
kasih sayang dari siswanya.
Apa yang telah
ia lakukan sampai-sampai tiga orang anak itu nekad datang jauh-jauh hanya untuk
memberi kejutan? Dengan diantar seorang ojek jalanan, mereka bertiga
berdempetan menuju pasar, mencari badcover,
sepatu dan kerudung untuk ibu gurunya. Lalu dengan senang hati mengantarkannya pula
dengan penuh suka cita. Apa yang menggerakkan hatinya. Aku terus mencari alasan
itu. Mengapa anak-anak yang biasanya nakal begitu murah hati dan bertindak
inspiratif demikian, apa yang telah meracuninya? Oh bukan meracuni, siapa yang
telah merubahnya? Aih tentu saja gurunya. Pertanyaannya jelas: Apa yang telah
dilakukan seorang Risa terhadap siswanya?
Aku menelusuri
mungkin ada catatan atau status yang terlewat dari dinding fesbuknya. Tertanggal 05 Januari 2015 dia menulis sebuah status, “Bunda hanya ingin kalian menjadi anak-anak
yang sholeh, itu pun sudah cukup… tetapi Bunda juga bahagia dengan cenderamata
ini, makasih ya, Dafa-Dafi.” Aku yakin benar Dafa-Dafi adalah nama siswanya
di sekolah, distatus itu nampak pula sebuah gambar gantungan kunci dan jam
weker.
Benar, aku
semakin iri… bagaimana, bagaimana, bagaimana caranya agar anak-anak itu
mencintaiku?
Sampailah
pertanyaanku pada catatannya yang lain, ada tentang ketika ia dalam kelas,
ketika membuat ranting mimpi, sering kali ia dan siswanya duduk lesehan untuk
belajar, botram (makan nasi bersama
siswa), ketika ia meminta ijin tidak masuk karena harus ke Malaysia, catatan
ketika anak-anak merangkulnya saat pulang dari Malaysia, catatan ketika ia
meminta anak-anak membuat surat terimakasih untuk ibu dan bapaknya, catatan
ketika ia menangis bersama siswanya sebelum ia pergi lagi ke Malaysia yang
seolah tidak akan bertemu lagi, catatan ketika ia menjadi coach lomba futsal dan volley putri, catatannya ketika siswanya
menang sebagai juara umum, catatannya ketika memandikan siswa, dan catatannya
ketika ia membagikan raport, ketika semua murid maju ke depan sebagai juara
dari setiap kategori.
Rupanya ini yang
membuatnya sangat dicintai murid, ia mengerti dan memahami muridnya lebih dari
ia memahami dirinya. Tulisnya lebih mengagetkan, ketika ia menangis bersama
siswa sebelum berangkat ke Malaysia, ia mendelegasikan tugas kelas ke muridnya
yang bahkan masih kecil, lagi-lagi semua mengerti dan siap. “A tuliskan
anak-anak yang nakal, B ingatkan jadwal piket, C bla…bla… sampai semua siswanya
mendapat amanah,” lalu dengan itulah mereka belajar bertanggung jawab.
Konsekuensi yang nakal tidak dapat oleh-oleh, dan lain-lain.
Ketika itu,
setelah semua mendapat amanah. Ia duduk tenang melingkar, lalu dimulailah
percakapan yang mengharukan, saat ia meminta maaf pada muridnya. Jarang bukan
ada guru yang memint maaf? Apalagi dengan cara yang mengharukan, sampai
muridnya berkaca-kaca. Murid perempuan yang lebih sensitive langsung
memeluknya, guru yang selama ini ia sebut “Bunda”, tetapi murid laki-laki berbeda,
mereka terbengong-bengong, bingung, dan sebagainya. Lebih mengharukan saat
siswa perempuan menjawab permintaan maaf dengan tangisan, “Bunda, maafkan kami.
Kami yang nakal, jangan menangis Bunda.” Tentu saja Bunda Risa selalu memiliki
ide yang tak akan pernah bisa dilupakan seumur hidup oleh siswanya. Ia berkata,
“Bunda akan berhenti menangis, tetapi ada syaratnya, tolong hapus air mata Bunda
tapi langsung oleh tangan siswa laki-laki.” Inilah uji mental. Ia begitu berani
mengajukan sesuatu yang seolah remeh, tapi besar sekali akibatnya. Bagaimana
jika tidak ada yang berani? Di sana ia menulis, ia memejamkan matanya, setelah
beberapa menit kelas tetap sepi tidak ada yang berani, anak perempuan meminta anak
laki-laki, anak laki-laki justru gelisah, ada yang lari tak jelas, ada yang
mengegrak-gerak tangan kaki, semua salah tingkah. Bertambahlah air mata Bunda Risa,
kemudian seorang anak laki-laki keluar kelas, entah kemana. Satu menit kemudian
dia datang, mendekati Bunda Risa. Bunda Risa yang masih duduk, bertanya, “Tadi
dari mana?”
Dengan malu dan
segan, anak laki-laki menjawab, “Maaf ibu tadi cuci tangan dulu, tangannya
kotor, maaf….” Bertambah deraslah air mata Bunda Risa, ia menangis, benar-benar
terharu dengan anak didiknya. Dengan tangan gemetar anak itu menghapus air mata
Bunda Risa.
Aku ikut menangis membaca catatan itu, siswa yang selama ini membuatku pening, naik darah, dan sebagainya, terasa berubah tingkah dihadapan Bunda Risa.
Suatu hari ingin kubertanya padanya, bagaimana ia bisa dicintai?
Tulisannya lagi lah yang menjawab, perlakukan anak didik seperti anak sendiri, jadikan ia inspirasi, bukan hanya siswa yang belajar dari kita, sejujurnya kitalah yang belajar dari mereka. Mereka memiliki pengalamna yang kaya, seringkali mereka lebih cerdas dari yang kita bayangkan. Kepolosannya adalah kejujuran, ungkapannya tak dibuat-buat, mereka adalah inspirasiku. Anak-anakku kalianlah, inspirasi Bunda.
Aku terdiam malu, dan memikirkan apa yang telah kulakukan selama ini. Apa yang akan kulakukan terhadap anak didikku? Ah aku merasa mencintainya dan ingin segera bertemu dengannya, siapapun mereka, siswaku.