Menginginkanmu Bulan
Berlabuh di pangkuan malamku
Di beranda rumah mengganti hujan
mengganti denting air dan bulir embun
Menginginkanmu Bulan
Jatuh di sudut sudut gelap kota
Memeluk jiwa-jiwa yang terlukam
dan aku
Menginginkanmu Bulan
Berbicara padaku lagi
Memberi satu dua senyum nakal
dan menghiburku di tengah malam
Bulan
Teki apa yang tengah kau cipta
Langit apa yang tengah kau damba
Sedang malam gulita
dan jiwaku... entah berlari kemana?
Bulan
Jika urusan panjangmu telah usai
Berbaliklah dan katakanlah satu kata dua kata
Kita masih bisa bercengkrama di hutan-hutan tanpa tutupan.
Aku menginginkanmu, Bulan.
Aku ingin mengatakan kepadamu, kejujuran, bukan dusta. Bahagia itu Sederhana. Akan kubisikkan itu setiap pagi, dan engkau akan percaya, bahwa hati kita telah bahagia melalui cara-cara yang sederhana.
Kamis, 27 November 2014
Minggu, 23 November 2014
Menjadi seorang guru?
Pada mulanya aku membayangkan akan menjadi seorang guru yang
disenangi siswa-siswanya, yang mampu membangkitkan semangat para anak didiknya,
dan bisa menikmati keberhasilan dengan mnyaksikan siswa-siswa sukses menjadi
orang-orang yang berguna dalam hidupnya, baik untuk masyarakat maupun bangsa
serta Negara.
Namun kini, tantangan baru kuhadapi, setelah menceburkan
diri pada sebuah jurusan kuliah bernama pendidikan guru sekolah dasar,
mendapatkan rasa takut yang tak bisa dielakkan. Setelah dijejali berbagai macam
teori pembelajaran, metode, strategi, teknik, pendekatan, dan lain-lain justru
yang tumbuh bukanlah rasa ingin jadi “guru” yang semakin membara tetapi yang
muncul kini adalah “aku takut dan tidak percaya diri” untuk menjadi seorang
guru. Apalagi mendapati kenyataan, anak-anak di sekolah bagaikan
monster-monster kecil yang menyulutkan api perang setiap harinya, menguras
emosi, membuat kepala pusing, dan amarah yang hampir pecah. Dari beberapa kali
praktik mengajar yang kulakukan, tidak ada satupun kegiatan belajara yang
nampak manis dan menyenangkan, akan selalu ada rintangan yang ditimbulkan oleh
manusia kecil bernama “siswa”.
Suatu hari aku bertanya, mungkinkah ini karena praktik mengajar di perkuliahan yang kurang?
Setiap hari kami pergi ke kampus, duduk di kursi dengan manis, mendiskusikan berbagai kemungkinan pembelajaran yang terjadi di dalam kelas yang kelas dan siswa-siswanya hanya adal dalam benak kepala. Lalu mempelajarai berbagai metode, kemudian menerapkannya pada kondisi yang kita tak tahu, beginikah ketika di lapangan? Yang jelas aku hanya melihat bahwa kita terlalu banyak berpikir dalam praktik yang kosong. Melihat kelemahan bahwa perguruan tinggi hanya mengadakana pelatihan mengajar di akhir tahun, saat beberapa bulan lagi akan dinyatakan lulus.
Di belahan Negara lain, lembaga pendidikan “pabrik guru” telah menyadari betapa pentingnya sebuah praktik mengajar bagi seorang calon guru. Mengutamakan praktik berarti telah memberi kesempatan keada seluruh calon guru untuk berpikir ulang “apakah aku benar-benar ingin menjadi seorang guru?”, kenyataan dilapangan bahwa kelak engkau akan menjadi seorang guru dengan siswa yang tidak selalu manis, bahwa inilah yang akan dihadapi. Banyak masalah yang menuntut keningmu untuk mengkerut, bibirmu mengerucut, bahkan matamu meneteskan air. Inilah yang akan kau temui! Adakah masih ingin bertahan untuk menjadi guru dengan optimis dan gigih? Karena dengan menjadi guru, artinya menentukan arah masa depan bangsa. Ibaratnya peran guru adalah seseorang yang sedang lomba marathon di kegelapan, orang tidak peduli, biapun ada yang peduli ia tak menghargai, tapi seorang guru akan terus berlari dan menghargai setiap langkah usahanya, karena ia yakin janji kemenangan di depan sana.
Pelatihan mengajar diadakan di awal tahun, bahkan di setiap bulan, memberikan ruang pada calon guru untuk memahami masalah-masalah yang akan ditemui. Tidak sekedar mengawang-ngawang.
Saya hanya seorang mahasiswa tingkat akhir yang kebetulan berada di jurusan PGSD, lalu mulai meragukan ilmu yang telah dipelajari. Sudah cukupkah ilmu-ilmu ini untuk menjadi bekal saya? Akankah saya mampu menjadi seorang guru? Dengan kapasitas yang saya miliki ini? Sungguh meragukan diri sendiri adalah hal yang sangat mematikan.
Apa yang membuat saya berpikir jika saya tak bisa menjadi seorang guru? Saya mulai mencari alasan untuk setiap masalah tersebut, mencari tahu penyebabnya. Ya, apa yang saya temui ternyata adalah: pengalaman saya tidak nyaman dengan pembelajaran yang saya lakukan.
Baiklah, jika saya tidak nyaman, bagaimana membuat pembelajaran menjadi nyaman untuk diri saya?
Usaha yang paling mungkin adalah saya belajar dari pengalaman orang lain, akhirnya Tuhan menemukan saya dengan sebuah buku yang akhirnya dapat membuka kelopak mata saya untuk memandangi sebuah kejaiban bernama: “Siswa-siswa itu Menyenangkan!”
LouAnne Johnson menulis dengan detail dalam bukunya Pengajaran yang Kreatif dan Menarik, bahwa sebagai seorang guru akan dituntut dalam 3 area: interpersonal, akademik, dan kepemimpinan.
Interpersonal berhubungan dengan kecerdasan komunikasi soerang guru, akademik berhubungan dengan kecerdasan intelektual guru, dan kepemimpinan berhubungan dengan kecerdasan management guru. Bagaimana ketiga aspek tersebut menjadi mutlak untuk guru yang super, excellent, atau good. Menjadi guru yang disukai, tegas, humoris, cerdas, dan diikuti. Bagaimana bisa semua karakter yang saling bertentangan itu harus dimiliki guru? Disukai tapi juga disegani, humoris tapi tegas, bagaimana caranya?
Menghormati diri anda sendiri sebagai guru akan berimplikasi pada penghargaan Anda pada siswa, tidak dikendalikan situasi, tapi ANDALAH YANG mengendalikan SITUASI, bukan menguasai siswa-siswa, tapi anda bisa mengendalikan diri anda sendiri dan kelas anda. Jika ada seseorang yang tidak sopan menginterupsi penjelasan Anda saat sedang seriusnya mengajarkan sebuah teori, mungkin kita akan berteriak, “Zaki diam!” atau “Zaki, duduk!” atau “Zaki, dengarkan Ibu, jika tidak, Ibu keluarkan kamu dari kelas, atau ibu hukum kamu.” Dan serangkain perintah serta ancaman.
Tapi itu justru menjadi tampak menyenangkan untuk siswa, karena tandanya anda tertarik dengan situasi buruk yang diciptakan, untuk itulah kita harus tenang, coba melangkah ke arah Zaki dan memintanya dengan sopan “Zaki, ibu berharap kamu keluar kelas sebentar.” Tanpa jeda, kita bisa membukakan pintu kelas, dan mentapa Zaki dengan tatapan harapan. Ketika Zaki berkenan ia akan melangkah keluar kelas, dan kita bisa berbicara di luar kelas barang satu menit, untuk mengajaknya kerjasama, jika ia bisa belajar di kelas dan artinya bekerjasama dengan kita, ia diperbolehkan masuk, jika ia tetap ingin mengganggu kelas dan berbuat onar, ia akan dikirim ke kantor, atau ruang guru. Biarkan ia berpikir dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Beri tanda, jika ia memutuskan. Misal ketuklah pintu jika ia ingin bergabung. Dan lanjutkanlah pelajaran kita.
Nah, bukankah berat pekerjaan seorang guru? Karena ia tidak hanya memberikan palajaran akademik semata, ia kini menjadi sosok sentral dalam panggung kelas, dituntut menjadi sosok yang disukai dan menjadi inspirasi siswa-siswanya. Bukankah setiap perbuatan dan perkataan guru akan terekam di benak siswa dengan jelas?
Menjadi seorang guru?
Seperti remaja yang baru menginjak dewasa, saya tiba-tiba merasa merindukan sebuah ruangan pribadi, sebuah kamar yang bisa saya dekorasi sekeinginan hati, ya sebuah kamar bernama kelas. Ingin memiliki ruangan sendiri yang bisa saya eksplorasi tanpa campur tangan siapapun, dengan siswa yang beraneka ragam.
Saya mulai membayangkan diri saya berada ditengah-tengah mereka, sebagai sosok baru yang sama sekali tak pernah mereka kenali. Lalu saya mulai berpikir, apa yang saya inginkan? Apakah saya akan benar-benar mengajari mereka? Ilmu apa yang saya miliki sehingga saya berhak mengajari mereka?
“Apa yang saya inginkan dari siswa-siswa saya untuk mereka ketahui ketika mereka meninggalkan kelas?”
Saya ingin siswa-siswa saya memiliki kemampuan akademis yang lebih baik, memiliki rasa yang kuat akan standar-standar etis mereka sendiri, kehausan yang tak pernah puasa pada pengetahuan, hasrat menjadi sukses sesuai definisi sukses mereka, dan kekuatan karakter untuk memperlakukan manusia dengan pengormatan dan harga diri.
Begitulah jawaban Johnson.
Baiklah, kita mulai masuk pada praktik dan teknis yang harus disiapkan oleh seorang guru yang benar-benar ingin menciptakan perubahan. Ini mengingatkan saya, karena sebentar lagi saya harus PLP, dan kemungkinan sekali untuk berhadapan dengan kondisi siswa yang tidak menyenangkan.
Saya menghadiahi benak saya dengan sebuah ruangan kelas dan sejumlah murid.
Baiklah, Ibu Eli, sekarang lakukan persiapan.
Suatu hari aku bertanya, mungkinkah ini karena praktik mengajar di perkuliahan yang kurang?
Setiap hari kami pergi ke kampus, duduk di kursi dengan manis, mendiskusikan berbagai kemungkinan pembelajaran yang terjadi di dalam kelas yang kelas dan siswa-siswanya hanya adal dalam benak kepala. Lalu mempelajarai berbagai metode, kemudian menerapkannya pada kondisi yang kita tak tahu, beginikah ketika di lapangan? Yang jelas aku hanya melihat bahwa kita terlalu banyak berpikir dalam praktik yang kosong. Melihat kelemahan bahwa perguruan tinggi hanya mengadakana pelatihan mengajar di akhir tahun, saat beberapa bulan lagi akan dinyatakan lulus.
Di belahan Negara lain, lembaga pendidikan “pabrik guru” telah menyadari betapa pentingnya sebuah praktik mengajar bagi seorang calon guru. Mengutamakan praktik berarti telah memberi kesempatan keada seluruh calon guru untuk berpikir ulang “apakah aku benar-benar ingin menjadi seorang guru?”, kenyataan dilapangan bahwa kelak engkau akan menjadi seorang guru dengan siswa yang tidak selalu manis, bahwa inilah yang akan dihadapi. Banyak masalah yang menuntut keningmu untuk mengkerut, bibirmu mengerucut, bahkan matamu meneteskan air. Inilah yang akan kau temui! Adakah masih ingin bertahan untuk menjadi guru dengan optimis dan gigih? Karena dengan menjadi guru, artinya menentukan arah masa depan bangsa. Ibaratnya peran guru adalah seseorang yang sedang lomba marathon di kegelapan, orang tidak peduli, biapun ada yang peduli ia tak menghargai, tapi seorang guru akan terus berlari dan menghargai setiap langkah usahanya, karena ia yakin janji kemenangan di depan sana.
Pelatihan mengajar diadakan di awal tahun, bahkan di setiap bulan, memberikan ruang pada calon guru untuk memahami masalah-masalah yang akan ditemui. Tidak sekedar mengawang-ngawang.
Saya hanya seorang mahasiswa tingkat akhir yang kebetulan berada di jurusan PGSD, lalu mulai meragukan ilmu yang telah dipelajari. Sudah cukupkah ilmu-ilmu ini untuk menjadi bekal saya? Akankah saya mampu menjadi seorang guru? Dengan kapasitas yang saya miliki ini? Sungguh meragukan diri sendiri adalah hal yang sangat mematikan.
Apa yang membuat saya berpikir jika saya tak bisa menjadi seorang guru? Saya mulai mencari alasan untuk setiap masalah tersebut, mencari tahu penyebabnya. Ya, apa yang saya temui ternyata adalah: pengalaman saya tidak nyaman dengan pembelajaran yang saya lakukan.
Baiklah, jika saya tidak nyaman, bagaimana membuat pembelajaran menjadi nyaman untuk diri saya?
Usaha yang paling mungkin adalah saya belajar dari pengalaman orang lain, akhirnya Tuhan menemukan saya dengan sebuah buku yang akhirnya dapat membuka kelopak mata saya untuk memandangi sebuah kejaiban bernama: “Siswa-siswa itu Menyenangkan!”
LouAnne Johnson menulis dengan detail dalam bukunya Pengajaran yang Kreatif dan Menarik, bahwa sebagai seorang guru akan dituntut dalam 3 area: interpersonal, akademik, dan kepemimpinan.
Interpersonal berhubungan dengan kecerdasan komunikasi soerang guru, akademik berhubungan dengan kecerdasan intelektual guru, dan kepemimpinan berhubungan dengan kecerdasan management guru. Bagaimana ketiga aspek tersebut menjadi mutlak untuk guru yang super, excellent, atau good. Menjadi guru yang disukai, tegas, humoris, cerdas, dan diikuti. Bagaimana bisa semua karakter yang saling bertentangan itu harus dimiliki guru? Disukai tapi juga disegani, humoris tapi tegas, bagaimana caranya?
Menghormati diri anda sendiri sebagai guru akan berimplikasi pada penghargaan Anda pada siswa, tidak dikendalikan situasi, tapi ANDALAH YANG mengendalikan SITUASI, bukan menguasai siswa-siswa, tapi anda bisa mengendalikan diri anda sendiri dan kelas anda. Jika ada seseorang yang tidak sopan menginterupsi penjelasan Anda saat sedang seriusnya mengajarkan sebuah teori, mungkin kita akan berteriak, “Zaki diam!” atau “Zaki, duduk!” atau “Zaki, dengarkan Ibu, jika tidak, Ibu keluarkan kamu dari kelas, atau ibu hukum kamu.” Dan serangkain perintah serta ancaman.
Tapi itu justru menjadi tampak menyenangkan untuk siswa, karena tandanya anda tertarik dengan situasi buruk yang diciptakan, untuk itulah kita harus tenang, coba melangkah ke arah Zaki dan memintanya dengan sopan “Zaki, ibu berharap kamu keluar kelas sebentar.” Tanpa jeda, kita bisa membukakan pintu kelas, dan mentapa Zaki dengan tatapan harapan. Ketika Zaki berkenan ia akan melangkah keluar kelas, dan kita bisa berbicara di luar kelas barang satu menit, untuk mengajaknya kerjasama, jika ia bisa belajar di kelas dan artinya bekerjasama dengan kita, ia diperbolehkan masuk, jika ia tetap ingin mengganggu kelas dan berbuat onar, ia akan dikirim ke kantor, atau ruang guru. Biarkan ia berpikir dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Beri tanda, jika ia memutuskan. Misal ketuklah pintu jika ia ingin bergabung. Dan lanjutkanlah pelajaran kita.
Nah, bukankah berat pekerjaan seorang guru? Karena ia tidak hanya memberikan palajaran akademik semata, ia kini menjadi sosok sentral dalam panggung kelas, dituntut menjadi sosok yang disukai dan menjadi inspirasi siswa-siswanya. Bukankah setiap perbuatan dan perkataan guru akan terekam di benak siswa dengan jelas?
Menjadi seorang guru?
Seperti remaja yang baru menginjak dewasa, saya tiba-tiba merasa merindukan sebuah ruangan pribadi, sebuah kamar yang bisa saya dekorasi sekeinginan hati, ya sebuah kamar bernama kelas. Ingin memiliki ruangan sendiri yang bisa saya eksplorasi tanpa campur tangan siapapun, dengan siswa yang beraneka ragam.
Saya mulai membayangkan diri saya berada ditengah-tengah mereka, sebagai sosok baru yang sama sekali tak pernah mereka kenali. Lalu saya mulai berpikir, apa yang saya inginkan? Apakah saya akan benar-benar mengajari mereka? Ilmu apa yang saya miliki sehingga saya berhak mengajari mereka?
“Apa yang saya inginkan dari siswa-siswa saya untuk mereka ketahui ketika mereka meninggalkan kelas?”
Saya ingin siswa-siswa saya memiliki kemampuan akademis yang lebih baik, memiliki rasa yang kuat akan standar-standar etis mereka sendiri, kehausan yang tak pernah puasa pada pengetahuan, hasrat menjadi sukses sesuai definisi sukses mereka, dan kekuatan karakter untuk memperlakukan manusia dengan pengormatan dan harga diri.
Begitulah jawaban Johnson.
Baiklah, kita mulai masuk pada praktik dan teknis yang harus disiapkan oleh seorang guru yang benar-benar ingin menciptakan perubahan. Ini mengingatkan saya, karena sebentar lagi saya harus PLP, dan kemungkinan sekali untuk berhadapan dengan kondisi siswa yang tidak menyenangkan.
Saya menghadiahi benak saya dengan sebuah ruangan kelas dan sejumlah murid.
Baiklah, Ibu Eli, sekarang lakukan persiapan.
- Siapkan ruangan Anda, bagaimana tempat duduk Anda dan siswa, situasi ruangan, tempelkan kata-kata motivasi, dekorasi ruangan dengan cat yang menyenangkan, tanam pohon palm palsu di sudut ruangan, gelar karpet lembut di sana, dan pastikan sepatu siswa disimpan di rak di sudut ruangan. Siapkan perlengkapan belajar sampai kesehatan, kotak “alat tulis boleh pinjam”, dan jangan lupa percayakan pembagian tugas untuk menjaga apa yang telah anda susun ke beberapa siswa.
- Buatlah agenda harian yang akan anda tempelkan di papan tulis, jika perlu buatlah agenda semester. Buat kalender kelas, beri tanda, kapan ujian, kapan kuis, kapan hari libur, kapan hari special kelas, bahkan kapan ulang tahun siswa-siswa Anda. Biarkan kalender itu dipasang di dinding kelas, dan siswa Anda mampu membacanya, buatlah pengumuman atau memo, tiga hari sbeelum ujian, agar anak-anak Anda mempersiapkan dirinya.
- Pada hari pertama Anda mengajar bu Eli, tidak perlu memulai dengan aturan yang justru akan membuat siswa kecut, fokuslah dengan merengkuh siswa-siswa melalui otak interaktif mereka. Dapatkan pegangan yang kuat. Akan ada banyak waktu untuk menyampaikan aturan.
----------------------------------------------
Pastikan setelah memenuhi persiapan, jadikan minggu pertama
PLP menjadi minggu utama.
Hari pertama mulai dengan senyuman, pilihlah kegiatan sederhana namun cukup menarik, missal membuat kartu nama model tenda untuk diletakkan di meja belajar mereka. Sediakan kartu indeks dan spidol warna, biarkan siswa menulis namanya sendiri-sendiri. Atau menuliskan nama-nama mereka, lalu secara acak menyimpan nama-nama tersebut pada kursi yang harus mereka duduki. Atau meminta mereka menuliskan belajar seperti apa yang mereka inginkan, cita-citanya, dan masalahnya.
Jangan dilupakan, pakaian, cara berbicara, intonasi, volume suara, pilihan kata, dan terutama ekspresi wajah.
(Tulisan untuk siap-siapa PLP. Az.)
Hari pertama mulai dengan senyuman, pilihlah kegiatan sederhana namun cukup menarik, missal membuat kartu nama model tenda untuk diletakkan di meja belajar mereka. Sediakan kartu indeks dan spidol warna, biarkan siswa menulis namanya sendiri-sendiri. Atau menuliskan nama-nama mereka, lalu secara acak menyimpan nama-nama tersebut pada kursi yang harus mereka duduki. Atau meminta mereka menuliskan belajar seperti apa yang mereka inginkan, cita-citanya, dan masalahnya.
Jangan dilupakan, pakaian, cara berbicara, intonasi, volume suara, pilihan kata, dan terutama ekspresi wajah.
(Tulisan untuk siap-siapa PLP. Az.)
Selasa, 18 November 2014
Ikhlas...
Memang seperti kebanyakan orang, aku terbiasa berkata iklas, ikhlasin saja, aku ikhlas, ya hidup mesti ikhlas, ikhlas banget kok...
Tapi rupanya kita lupa dengan hukum belajar, bahwa ujian sesuatu materi hanya diberikan untuk mereka yang memang belum memiliki skill di materi tersebut. Misal seorang siswa belum menguasai aljabar, maka ia akan diuji dengan aljabar.
Lalu, ujian keiklasan hidup ini? Bukankah ini pertanda aku harus bisa menguasai ilmu ikhlas? Bagaimana caranya?
Ikhlas, ya. Sebuah ilmu yang perlu diperbarui setiap hari, lesensi ilmu ikhlas ini mesti dipertahankan. Sebab banyak hal pula yang dapat menyebabkan ilmu ini hilang, seperti tinggi hati, apresiasi diri berlebihan, bangga diri, merasa paling baik, merasa sempurna.... serta tentu saja karena lupa jika hidup ini hanya titipan.
Karena hidup memang titipan, jadi dijalani nyapun harus sesederhana mungkin, tidak merasa berlebihan dalam memiliki sesuatu atau mencintai sesuatu. Saat Allah percaya, ia titipkan pada kita fisik yang sempurna, harta yang cukup, orang-orang yang baik. Namun jika suatu saat Allah mengambulnya, akankah kita menyesal atau marah?
Bukankah Allah pemiliknya? Mengapa harus marah? Mengapa harus tidak terima? Semuanya milik Allah termasuk jiwa kita, dan yang tersisa dari kita adalah dosa, kita tak pernah memiliki apa-apa.
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib,
tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui
apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur
melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun
dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering,
melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)” (QS. Al An’am:59).
Lalu jika ini adalah perbuatan Allah, akankah kita menyesal? Jika penyesalan adalah karena diri kita yang teledor, wajar, itu tandanya kita berjanji untuk tidak teledor. Namun untuk berburuk sangka pada perbuatan Allah? menyesal karena perbuatan Allha?
Dan kehendak Allah tidak pernah sekalipun untuk mendzolimi hambanya.
"Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah,
dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat
gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar. (Annisa: 40)
Dua bulan lalu saya kehilangan orang yang paling berjasa, yang rela menukarkan nyawa demi melahirkan ku.
Kemarin, satu-satunya impian yang tercoret di buku mimpi, raib pula, handphone kesayangan, yang jadi pembantuku saat menyelesaikan tugas.
Ya, inti dari semua ini adalah ikhlas, nerimo. Dan tentu saja dengan berbaik sangka terhadap ketentuan Allah.
Aku tak pernah tahu, ini baik atau buruk. Tetapi, aku hanya harus berbaik sangka pada Tuhanku..
Setiap kehilangan akan tergantikan, setiap yang pergi akan kembali, setiap yang naik akan turun, setiap yang memberi akan menerima. Inilah hukum kembali.
Aku? Hanya harus bersemangat, untuk menata diriku, menata aktivitasku, untuk menjadikan pribadi yang lebih baik di mata Allah, dan berusaha mendapatkan cintaNya. Berusaha dapat bermanfaat seluas-luasnya dan sebanyak-banyaknya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah dan jangalah kamu malas! Apabila kamu tertimpa sesuatu, janganlah kamu mengatakan : ’Seaindainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan jadi begini atau begitu’, tetapi katakanlah : ‘QoddarallÄhu wa maa syÄ-a fa’ala” (HR. Muslim)
Ini semua sudah takdir Allah, ikhlas dan move on!
Az, gedung baru, 19/11/14; 10;08.
Langganan:
Postingan (Atom)