Aku melihat cinta
seperti pelita. Menyala tenang terangi malam, terkadang angin berhembus dan
hampir membuatnya mati, atau kadang juga angin mengobarkannya lebih nyala.
Kini pelita itu
kehilangan daya, habis kering sudah minyak yang menjadikannya sinar. Cinta itu
hampir saja padam… jika saja.. jika saja… aku tak lantas menemukan Mu…
Aku bersyukur
menemukannya dalam wujud lain yang berbeda, bukan sesuatu yang mulanya sangat
ingin kuingkari pertemuannya.
Pada mulanya engkau
adalah bagian dari malam yang menjadikan hidup ini hitam, sikap yang
ditunjukkan lebih banyak berseberangan, ideology yang hampir tak menemukan
titik temu. Namun entah, karena itukah aku merasa engkau adalah tetesan lilin
panas yang membeku di ujung jariku. Aku merasa panas dan tak mampu melepaskan
rasa itu sampai ia dingin sekalipun.
Siapakah engkau
gerangan?
Bukan sesuatu yang
mudah untuk menemukan dan memutuskan engkau menjadi sesuatu yang “special”.
Dimulai dari pengingkaran, rasa benci, dan berbagai penampikan…. Akhirnya hati
sekejap berubah menjadi rasa nyaman, menghargai, toleransi, dan sayang. Ketika
kelemahan itu muncul dihadapanku, tak ada lagi rasa ingin menunjukkan betapa
lemahnya engkau, tersisa adalah kasih yang tiada batas untuk terus memaklumi…..
Benar saja,
ketertarikan kita pada seseorang tak akan lama jika hanya didasarkan pada
kelebihan, lantas apa yang membuat rasa tertarik ini begitu lama bertahan? Ya,
menyukai karakter, menyempurnakan kekurangan dari diri masing-masing…
Jika diibaratkan
engkau seperti sosok yang berkarakter jahat, dan jiwaku melihat kejahatan itu
sebagai sebuah peluang untuk menjadi baik, begitulah aku menatapmu, engkau
manusia yang baik, dan ada banyak peluang untuk terus kita bersama melangkah
saling memperbaiki untuk terus jadi baik lagi baik dan terus memperbaiki sampai
akhir.
Tapi kini, tapi
kini… tapi kini, aku merasa telah semakin berubah, banyak yang berbeda dalam
diriku sendiri… mungkin karena uban yang terus tumbuh akhir-akhir ini, usia
renta atau pengikisan diri oleh waktu yang tak tentu…. Dalam mataku engkau pun
berubah.
“Bukan kita yang
menghendaki perubahan, namun waktu yang memaksa untuk terus bergulir dan
meciptakan perubahan-perubahan, kecil atau besar, terlihat atau tak terlihat,
diduga atau tak terduga.”
Tak pernah
berkurang perasaanku terhadap sesuatu, namun waktu memberiku pilihan, sesuai
keyakinanku dan prinsif hidup yang harus kupegang. Rasa yang kumiliki tak hanya
soal seseorang, melainkan juga tentang masa depan dan kehormatan (izzah).
“Kamu berhak
terhadap sesuatu yang disukai, tapi hak itu tidak harus lantas menjadikanmu
lemah. Hidup ini mesti realistis. Tak ada lagi Shah jahan yang membangunkan Taj
Mahal untuk istrinya, jangan terus berangan, ini kenyataan.”
Dan rekahan harapan
jadi satu-satunya hiburan, doa-doa tak boleh kering, akan selalu doa itu terus
diuntai kelangit, dan jadi tangga untuk menemukan cinta Tuhan.
Sejujurnya aku
takut menuliskan semua ini, aku sangat ketakutan, tulisan ini akan mengubah
pandangan seseorang terhadap kepribadianku. Namun menulis itu mesti jujur, tak
boleh ada yang dikurangi satu senti pun.
Belajar dari
masalalu, bahwa setiap takdir yang terjadi selalu bermula karena keputusan yang
gegabah, keputusan bersikap yang terlalu berani. Ya persis seperti menulis ini.
Sangat berani, apalagi di media yang setiap manusia bisa mengaksesnya,
membacanya, ada yang memikirkannya, ada yang mencibirnya, ada yang diam-diam
menyimpannya, ada pula yang merasa satu perasaan, atau juga ada yang tak peduli
dan bahkan tak mengerti…………….
Lalu sebaiknya
bagaimana?
Aku mendiamkan semuanya,
membiarkannya mengalir dan hanyut, lalu tak boleh ada kata::: baik berupa
pernyataan maupun pertanyaan. Kita jalani saja, perlahan-perlahan. Jangan
membuat riak diatas riak, dunia sudah cukup ricuh dan keruh…………
Adapun tentang
jiwaku yang tak pernah kehilangan harap, ada penyerahan diri yang kuat. Tentang
cinta yang mulanya kusadari sebagai sebuah fitrah, lalu kuhapuskan layaknya
sebuah kesalahan, dan rasa takut yang begitu dalam…
Diatas semua itu
ada Allah, dan satu-satunya janji yang dapat kupercayai dari dunia adalah janji
Allah. Barang siapa mengehendaki suatu kebaikan, hendaklah ia mempersiapkan
diri untuk menerima kebaikan itu.
Allah, aku
menghendaki sebuah keluarga dan keturunana yang salih yang terlahir dari rahim
pendosa sepertiku.
Adalah,
satu-satunta tumpuan: Engkau yang mengampuni kelam masalalu, yang memberi
jawaban dan menghapus keputusasaan dan kekhawatiran dari hati kami.
Biarkanlah cinta
tetap mengalir, dan muaranya adalah Allah.
Siapalah aku, mampu
mempertahankan dan menuntutmu untuk tetep menyimpan rasa?
Siapalah aku, aku
tak akan mampu membuatmu merubah pikiran, perasaan, dan hati…
Sungguh hanya Allaah
yang berhak membolak-balik, hatiku atau hati sesiapapun…
Adapun tentang hatimu.
Akan kupahami sebagai sebuah miniature impian. Yang bukan lagi tentang aku
didalamnya, melainkan tentang peradaban yang akan dibangun satu abad ke depan.
Bukan?